Share

Kebohongan

Bab 2


"Nis, titip Yuka, yaa! Katakan kalau nanti mamanya pulang agak malam. Kalau sudah bangun, segera kamu ajak mandi, terus sarapan. Jangan lupa vitaminnya. Jaga dia baik-baik. Jangan lengah!" Aku berpesan kepada Nisa--asisten rumah tanggaku, yang juga merangkap untuk menjaga Yuka--anak semata wayangku.

"Nggak sarapan dulu, Mbak?"

"Nggak usah, nanti aku makan di kedai aja."

Dari mimik wajahnya, aku tahu, Nisa tengah bertanya-tanya saat sekilas melihat mataku yang bengkak segede telor rebus. 

"Baik, Mbak...." jawabnya pelan seraya berlalu dari hadapanku menuju kamar Yuka.

Dengan mata sembap karena menangis semalaman, aku berniat untuk berangkat menuju tempat usahaku. Badan masih lemas dan kepala terasa berat. Bahkan untuk membuka pintu garasi saja aku terpaksa menggunakan badanku untuk mendorongnya agar bisa bergeser. 

"Sampai kapan aku bisa bertahan, ya, Allah...?" Air mataku kembali menetes.

Kusenderkan tubuhku di dinding garasi. Tak kuhiraukan aroma bensin yang menusuk hidung. Tempat ini memang sering digunakan Mas Haris untuk mengotak-atik mesin motor antiknya. Pantas jika banyak tumpahan bensin dan oli di lantai.

Aku lihat motor Mas Haris tidak ada, artinya dari semalam dia belum pulang. Mungkin ke rumah ibunya. Aku masih sangat geram. Kalau ingat dia, darahku seperti mendidih.

Aku masuk ke mobil dan bergegas berangkat kerja. Kedai sedang butuh aku. Pandemi yang tak kunjung usai membuat omset semakin menurun. Aku harus memutar otak agar produkku tetap mampu menarik hati pelanggan. Sudah berbagai cara kami lakukan untuk bisa tetap bertahan.

Selama perjalanan, berbagai hal berseliweran di kepalaku. Tentang uang yang dimaling Mas Haris. Tentang kondisi kedai yang diambang kebangkrutan. Tentang gaji karyawan. Tentang tagihan bulanan, dan tentang utang seratus juta yang mau dipinjam Mas Haris dari temannya itu. Dia bukan tipe orang yang ulet dalam berusaha. Itulah mengapa sudah beberapa jenis usaha dia coba, namun lagi-lagi gagal.

Dulu dia tidak seperti ini. Mas Haris yang aku kenal adalah orang yang sangat menjunjung tinggi harga diri. Baru setahun belakangan ini dia sering ngutang sana sini dengan alasan untuk mendirikan usaha. Nyatanya amblas juga. Modal habis, usaha kempas-kempis. 

Mulai awal pandemi, Mas Haris dipecat dari perusahaan karena pengurangan karyawan. Sejak itu dia enggan melamar pekerjaan lagi. Dia memang punya relasi orang bank yang lumayan banyak, jadi bisa dengan mudah memperoleh pinjaman tanpa syarat yang rumit. Dengan bermodalkan uang pinjaman itu, dia memulai usaha--yang katanya join dengan partnernya--entah siapa.

Cerai?

Sering terbersit keinginan seperti itu. Tapi apa kata kedua orang tuaku? Dulu aku yang bersikeras untuk menikah dengan Mas Haris, sampai-sampai aku berani minggat dari rumah. Ya, Tuhaaaann.... 

Tiba-tiba aku tersentak.

"Astaga!"

"Jangan-jangan sertifikat rumah dia ambil buat jaminan?!"

Di tengah perjalanan, aku tersadar. Aku segera berputar arah, kembali ke rumah untuk mengeceknya. "Semoga aku salah!" 

Aku menginjak pedal gas sedikit lebih dalam untuk menambah kecepatan. Pikiranku sudah tak keruan. Selama ini aku memang tidak pernah menyembunyikan apapun dari Mas Haris. Masalah keuangan, aku selalu terbuka. Tempat menyimpan semua dokumen juga dia tahu. Tapi sejak kejadian dia mengambil uangku tanpa ijin, kepercayaanku padanya sirna sudah. Dia sudah berjanji untuk tidak ngutang lagi. Nyatanya apa?

Aku memarkir mobil tepat di depan rumah. Motor Mas Haris tampak berada di depan pintu garasi yang masih tertutup.

Aku segera masuk. Suasana rumah sepi. Yuka masih tidur. Aku bisa melihatnya dari pintu kamarnya yang terbuka. Mungkin Nisa sedang memasak di dapur.

Dimana Mas Haris?

Aku celingukan. Pintu kamarku masih tertutup. Apakah dia sedang tidur?

Aku menarik napas panjang sebelum memutar gagang pintu. Mengumpulkan energi untuk mencaci maki laki-laki yang kusebut suami itu.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status