Share

Bab 6. Tunjukkan dirimu yang sebenarnya

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 6

Aku menelan ludah, menatap wajahnya yang membara. Oh, sungguh. Pernikahan ini benar benar salah. Lelaki ini sangat manipulatif. Dia bersikap wajar di depan semua orang, tapi di hadapanku, sifat aslinya keluar. Aku curiga kalau ini belumlah seluruhnya. Melihat begitu pandainya dia bersandiwara, aku menduga, dia bahkan lebih mengerikan dari ini.

Tentu saja, aku harus mulai berhati-hati.

Aku melangkah ke dapur tanpa menjawab kata-katanya. Kurasakan dia melangkah di belakangku tanpa suara. Aku mulai mencuci beras yang masih berada di dalam baskom sambil menjerang air dalam panci di atas kompor. Dari sudut mataku, aku tahu dia memperhatikan semua gerak gerikku. Setelah air mendidih, aku memindahkannya di pot untuk menanak nasi, menggoncang nya secara perlahan dan menyeluruh baru membuang airnya. Setelah itu, pot nasi tadi dikeringkan dengan tisu dapur hingga tak ada sedikitpun jejak air. Barulah kutuang beras ke atasnya, menambahkan air dan memasukkannya ke dalam alat penanak nasi.

Ku lihat Mas Haris menyunggingkan senyum miring. Dia bertepuk tangan.

"Kau belajar dengan baik. Jangan lupa, lakukan semua seperti tadi, dan bersihkan ulang semua perabot dengan tisu basah. Dan ingat, aku tak mentolerir kesalahan."

Suaranya, entah mengapa terdengar mengerikan di telingaku, membuat jantungku berdetak kencang. Ada rasa takut yang mulai menjalari hatiku. Namun sebisa mungkin tak ku tampakkan di hadapannya.

Mas Haris lalu beranjak. Kudengar langkah kakinya kali ini menaiki tangga ke lantai atas. Sepertinya dia memasuki ruang kerja. Aku terdiam, masih dengan jantung berdetak kencang.

Diam diam, kusingkirkan pisau dan peralatan dapur yang tajam di bawah meja kompor. Tempat yang aku kira tak akan dia sentuh karena kerap kali kotor terciprat minyak. Namun aku terkejut mendapati bahwa tempat itu pun bersih sekali.

Freak. Suamiku, penggila kebersihan, manipulatif, penuh sandiwara dan terindikasi selingkuh. Bagaimana mungkin aku bisa bertahan sendirian? Namun aku tahu bahwa tak mungkin bagiku pergi begitu saja atau meminta cerai tanpa bukti yang kuat. Di titik ini aku tak peduli lagi apakah Mama akan membenciku atau tidak.

Aku harus bertahan, setidaknya sampai aku punya alasan kuat untuk berpisah dengannya.

***

Jam sepuluh pagi, Mang supri sopir Papa datang mengantarkan mobil honda jazz hitam milikku. Ada sedikit rasa senang di hatiku, aku berencana akan pergi ke suatu tempat, menemui Intan. Aku butuh menghibur diri dan berhenti memikirkan pernikahanku yang aneh ini.

"Kau mau kemana?"

Aku terkejut mendapati Mas Haris turun dari lantai atas. Kupikir tadinya dia pergi karena tak kulihat mobilnya di halaman. Dia menatapku intens meski tetap menjaga jarak. Matanya memindai kepalaku yang berbalut jilbab berwarna salem, lalu pada outer hitam yang menutupi dress panjang berpotongan lurus sewarna jilbab. Dan berhenti pada shoulder bag di bahu kananku.

"Aku ada janji dengan teman."

"Kau tidak izin dulu?"

"Aku pikir kau tidak di rumah. Mobilmu tak ada."

Mas Haris melangkah mendekat, memangkas jarak di antara kami dan berhenti setengah meter di hadapanmu.

"Aku tidak mengizinkanmu pergi."

"Apa?" Aku terkejut.

"Aku tidak mengizinkanmu pergi. Oh Nadya, aku tak suka jika harus mengulangi kata kataku."

Aku mundur selangkah. "Aku sudah berjanji dengan temanku Mas."

"Batalkan. Sebaiknya kau masuk ke kamarmu dan mulai mempersiapkan diri. Memakai lulur dan sebagainya karena nanti malam, aku akan mengajakmu menemui teman-temanku."

Aku terdiam sejenak. Di satu sisi, aku merasa kesal karena dia melarangku pergi. Tapi disisi lain, secercah harapan muncul di hatiku. Bukan, aku bukan berharap bisa memperbaiki hubungan pernikahanku dengannya. Aku hanya ingin tahu siapa teman-teman Mas Haris sehingga aku dapat meraba siapa dia sesungguhnya.

Dan mungkin jika aku beruntung, aku bisa bertemu wanita pemilik aroma parfum semalam.

"Ingat. Jam tujuh malam tepat. Tidak lebih satu detik pun, aku menunggumu disini. Di ruang tengah ini. Sebaiknya kau catat baik-baik."

Aku mengangguk, dan kembali ke kamarku tanpa kata-kata. Setelah mengunci pintu, aku duduk di depan meja rias, menatap wajahku yang terpantul di sana. Cantik, meski terlihat kurang berseri. Masalah yang menimpaku akhir akhir ini membuatku lupa caranya tersenyum.

(Intan, maaf kita nggak bisa ketemu dulu. Mas Haris melarangku pergi.)

(Wow, apakah dia akhirnya akan mengajakmu bulan madu?)

Aku tersenyum getir. Tadinya aku ingin menceritakan pada Intan semua yang terjadi. Aku butuh tempat bicara dan tak mungkin bagiku bercerita melalui telepon. Aku tak mau Mas Haris mendengar.

(Do'akan saja ya. Emm, sebetulnya banyak hal yang perlu aku bicarakan denganmu. Tapi tidak di telepon.)

(Oke. I'll be waiting. Have fun ya Nadya.)

Aku melirik jam di atas nakas. Sudah jam sebelas siang. Sepertinya aku harus menyiapkan makan siang.

Setelah berganti pakaian, aku melangkah ke kamarnya, bermaksud bertanya barangkali ada sesuatu yang ingin dia makan siang ini. Namun langkahku terhenti mendengar suaranya dari dalam kamar. Sepertinya dia sedang bicara dengan seseorang.

"Iya sayang. Aku akan datang bersamanya. Kau tidak apa-apa kan?"

"Kau tahu untuk apa aku menikah. Bersabarlah. Ini hanya sementara."

Aku mengerutkan kening. Apa maksudnya? Siapa yang dia panggil sayang? Belum sempat aku berpikir, suaranya terdengar mendekat ke pintu. Tanpa pikir panjang, aku berlari lagi masuk ke dalam kamar dengan jatung berdebar kencang. Ya Tuhan, tolong tunjukkan padaku siapa sebenarnya lelaki yang terlanjur kunikahi ini?

Suara ketukan di pintu membuatku terkejut. Dan ketika membuka pintu, matanya yang langsung mengujamku.

"Apa kau sedang bersiap-siap?"

Aku menggeleng. "Belum. Ini masih siang."

"Kalau begitu, tolong buatkan aku telur dadar spesial untuk makan siang, Nadya."

Aneh, kini suaranya lembut dan terdengar sangat ramah. Meski dia masih tak mau menyentuhku, tapi setidaknya suaranya terasa menenangkan.

Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Aku tahu dia mengikutiku, pasti hendak memastikan semua yang kubuat untuknya bersih dan steril. Aku meracik dan memasak makanan yang dia pesan dibawah tatapannya. Dan karena tak sekalipun dia menyela, sepertinya tak ada kesalahan yang kulakukan.

"Silahkan Mas."

Aku meletakkan piring berisi telur dadar spesial dengan isian sosis dan daun bawang yang melimpah. Aromanya semerbak memenuhi dapur. Mas Haris tersenyum melihat piring itu. Senyum yang jarang sekali kutemui. Namun tiba-tiba, ketika aku berbalik, ujung jilbab panjangku yang melambai rupanya menyentuh pinggir piringnya sekilas. Dan itu tidak luput dari pandangan Mas Haris.

Lalu, Prang!!

Mas Haris membanting piring berisi telur dadar itu hingga pecah dan isinya berhamburan.

"Menjijikan!"

***

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Solichah Rosidin
hmmm ketiduran lg,tetep bayar
goodnovel comment avatar
Hasnimar A. Umar
semua serba duit
goodnovel comment avatar
Hauzan
ok cerita nya....
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status