Share

Bab 5. Hari keempat

Author: Yazmin Aisyah
last update Huling Na-update: 2022-06-25 01:56:41

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 5

Aroma parfum itu menyentak kesadaranku, bahwa ada wanita lain yang telah ditemui suamiku. Mereka berinteraksi cukup dekat sehingga bahkan parfumnya menempel di pakaian Mas Haris. Dan itu juga berarti menepis kecurigaan bahwa suamiku seorang gay. Ah, betapa melelahkannya hidup bersama seseorang yang tak kau kenal, yang bersikap misterius dan selalu menjaga jarak. Padahal kami diikat oleh pernikahan. Mau seperti apa rumah tangga kami jika bersentuhan saja tak boleh?

Dan pertanyaan yang lebih mengganggu adalah, aroma parfum siapa yang dibawa pulang oleh suamiku?

Malam ini, aku kembali tidur sendiri. Iseng kubuka akun i*******m, dimana aku sempat mengunggah foto-foto pernikahanku dengannya. Kugigit bibir kuat-kuat, menahan nyeri di hati kala membaca komentar teman temanku yang menggoda.

(Nadya, jangan lupa baca doa sebelum di unboxing wey)

(Bilang pak dosen, jangan kerja mulu sampe istri cantik dianggurin)

Dan komentar terakhir, yang ditulis tiga jam yang lalu dari Intan sahabatku

(Selamat berbulan madu sayang aku, ditunggu garis duanya bulan depan)

Aku menutup aplikasi I*******m dengan hati nelangsa. Tak akan ada garis dua. Aku yakin itu.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan menyibukkan diri di dapur. Sebersit rasa sesal singgah di hati, mengingat aku terlanjur mengambil cuti sepuluh hari. Aku bahkan mengambil jatah cuti tahunan. Kupikir aku butuh waktu lama untuk berbulan madu sambil mengenal lebih jauh lelaki yang menjadi suamiku. Aku tersenyum getir, ternyata semua sia sia. Seperti inikah menjalani pernikahan karena perjodohan?

Aku menghela nafas dan berusaha melupakan semuanya. Aku yakin, apapun yang disembunyikan Mas Haris, cepat atau lambat akan segera terbongkar.

Usai membuat nasi goreng spesial dan membiarkannya tetap di atas wajan agar tetap hangat, aku kembali ke depan. Mengingat berapa resiknya Mas Haris, aku mulai menyapu dan mengepel seluruh rumah. Meski pinggangku pegal karena rumahnya cukup luas, aku meneruskannya dengan mengelap seluruh lemari lemari, sofa dan meja sampai mengkilap.

Ceklek.

Suara pintu dibuka terdengar, lalu suara langkah kaki perlahan mendekat. Aku menoleh. Mas Haris tampak terkejut melihat rumah yang sangat rapi dan menguarkan aroma pinus dari pembersih lantai. Dia menyeka ujung lemari, mencari sisa sisa debu. Aku menahan nafas melihatnya.

"Nadya!"

Mas Haris berjalan ke dapur mencariku. Dia tak melihat bahwa aku ada di ruang tamu, tengah menyeka pot bunga hias dengan lap basah. Aku berjalan mengejarnya.

"Ada apa Mas?"

Mas Haris tampak terkejut melihatku muncul justru dari arah ruang tamu. Dia menatap dapur berkeliling, wastafel yang bersih tanpa ada satupun piring kotor. Lantai dapur mengkilap, tak meninggalkan setitik pun kotoran.

"Kau yang membersihkan semua ini?"

Aku tertawa getir. "Tentu saja. Memangnya ada orang lain?"

Lalu pandangan matanya jatuh pada kanebo yang kupakai mengelap perabotan. Matanya terbelalak.

"Kau menggunakan satu lap itu untuk seluruh perabot?"

Aku menatap lap tak berdosa yang dia pelototi.

"Iya. Memangnya kenapa? Aku selalu membilasnya kok."

Mas Haris berjalan dengan cepat menuju lemari penyimpanan dan mengambil satu pak besar tisu basah. Dia membanting tisu itu di atas meja.

"Pakai ini. Dan langsung buang setiap kali selesai."

"Hah? Itu lemari dan sofa besar Mas. Perlu berapa lembar mengelap semuanya?"

"Aku tidak peduli. Yang lelas aku tak mau ada pertukaran debu dan kuman akibat kecerobohanmu."

Kini giliranku membanting kanebo di tanganku ke lantai dengan kesal.

"Aku tidak mengerti ada apa dengan dirimu. Kau pikir mudah membersihkan rumah sebesar ini beserta semua perabotnya?"

"Kau kan bisa tanya dulu."

"Kau selalu meributkan hal sepele tapi menyembunyikan hal besar dariku."

Mata Mas Haris menyipit. "Apa maksudmu?"

"Kau lebih tahu apa maksudku Mas?"

Aku sengaja tak mau bertanya tentang aroma parfum semalam sebelum menyelidikinya sendiri.

Aku menghela nafas keras, berusaha menepis sesak di dada. Lalu berjalan ke watafel dan mencuci tangan tanpa memungut kembali kanebo di lantai yang kini dia pandangi dengan tatapan jijik. Aku berjalan ke lemari, mengambil piring dan mulai menyendok nasi goreng di atas wajan untukku sendiri. Dari sudut mata dapat kulihat dia memperhatikanku.

"Kau tidak menawariku makan?"

"Tidak. Aku takut nasi goreng ini meracunimu." Ujarku sambil mulai makan.

Mas Haris berjalan ke tempat magicom berada dan menggeram.

"Kau tidak masak nasi? Aku tak suka nasi goreng."

Aku meletakkan sendok di atas piring dan tanpa kata kata mengambil pot tempat menanak nasi, lalu mencucinya. Aku lalu mencuci beras menggunakan dua baskom dan menuangkannya ke dalam pot magicom. Namun tanpa kuduga, Mas Haris merebut pot itu.

"Bilas dulu dengan air mendidih. Aku tak mau kuman dari spon cuci piring ikut termasak."

Oh, ini sudah keterlaluan. Aku meletakkan baskom berisi beras itu dengan gerakan agak menghentak.

"Kalau begitu kerjakanlah sendiri."

"Kau mau membantahku Nadya? Aku ini suamimu."

Aku tertawa keras.

"Suami? Bagian mana dari dirimu yang pantas disebut suami? Apakah sikapmu yang menolak bersentuhan denganku itu wajar?"

"Nadya!"

"Apa? Kau mau menceraikanku, lagi? Lakukan Mas! Aku akan menerimanya dengan senang hati. Dan kupastikan tak akan ada kesempatan kedua untukmu."

Dengan dada yang terasa sesak, aku berjalan dengan langkah cepat menuju kamar. Terserah apa yang akan dia lakukan dengan beras dan makanan di dapur. Rasa laparku langsung lenyap.

Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di atas nakas. Membuka pesan W*, deretan pesan Papa muncul paling atas.

(Nadya, kau baik baik saja kan?)

(Haris tidak mengulangi nya kan?)

Aku mendesah, teringat Papa yang tak pernah menolak kehendak Mama, lalu pada sosok Mama yang memaksaku menerima Mas Haris lagi.

(Pa, bisa tolong Mang Supri antar mobilku ke rumah?)

Balasan Papa langsung kuterima detik berikutnya.

(Tentu saja Nak. Tunggu saja ya, siang ini mobilmu sudah ada di rumah.)

(Terimakasih Pa.)

Baru saja menutup ponsel ketika suara gedoran di pintu kamarku terdengar. Dan ketika membuka pintu, kudapati suamiku berdiri dengan raut wajah dingin.

"Pergi ke dapur dan bereskan kekacauan yang kau buat Nadya. Sekarang!"

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ma E
laki"egois ih
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 102 (ENDING)

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 20 (ENDING)Dengan perasaan ngeri, aku melihat Surya menggenggam revolver itu, menelitinya sesaat dan tersenyum. Dengan wajah menggila, dia menciumi senjata itu. Aku memandangnya dengan benci. Ternyata, dia tak pernah berubah. Dia masih menjadi budak Sindy."Tembak mereka berdua. Farrel lebih dulu. Aku ingin menikmati saat-saat Intan menjadi gila karena kehilangan suaminya.""Kalian memang pasangan gila." Aku lalu menatap Surya, pada matanya yang kini fokus padaku."Aku tak pernah menyangka. Ku pikir penjara akhirnya akan membuatmu sadar. Permintaan maafmu itu palsu belaka. Dan kau pernah memohon padaku untuk melihat anakmu. Lihat itu!" Aku menunjuk Axel yang berada dalam bekapan tangan Anis, "Itu anakmu, Surya. Anak yang ada dalam perutku saat kau menenggelamkan aku di danau ini."Surya tampak terguncang. Matanya mengawasi Axel, yang tak lagi meronta. Dia tengah menyimak pembicaraan kami."Dia kerap bertanya, apakah benar Ayahnya seorang pembunuh? Kini, kau in

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 101

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 19Mas Farrel dapat merasakan tatapanku yang membeku, terpaku pada mobil berbody besar yang tengah memasuki halaman parkir hotel. Dengan dada berdebar kencang, aku menunggu sampai mobil itu benar-benar berhenti. Lalu sepasang kaki jenjang memakai stoking hitam turun. Sepatunya mempunyai heels setinggi lima sentimeter, masih tampak luwes jika dibawa berjalan cepat. Naik ke atas, ada rok span dari kulit yang juga berwarna hitam, dipadu jaket dengan bahan dan warna sama. Aku bersiap melihat wajah Sindy disana. Tapi kemudian aku terkejut.Wanita itu bukan Sindy. Meski ada kacamata hitam besar yang menutupi hampir separuh wajahnya, aku tahu dia bukan Sindy. Wajah Sindy telah melekat dalam ingatanku bertahun-tahun lamanya. Terakhir kali aku melihatnya di depan sekolah Axel beberapa hari yang lalu, wajahnya juga tak berubah. Namun, wanita ini, meski aku tak mengenalnya, ada bagian dari dirinya yang mengingatkanku pada seseorang. Entah siapa.Wanita itu menurunkan kaca

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 100

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 18Nadya memelukku erat, berusaha meredam getaran tubuhku. Dia tadi langsung naik taksi ke sekolah dan mengambil alih mobil. Kami akhirnya pulang ke rumahku. Dia lalu menyuruhku merebahkan diri di atas sofa, menyelimuti tubuhku dan meminta Bik Marni membuatkan teh hangat."Bagaimana Sindy bisa berkeliaran di luar? Dan dia tahu anak-anak ada di sekolah yang sama.""Mungkin hanya kebetulan In. Tenanglah.""Apa kau percaya kebetulan, Nad? Bukankah tak pernah ada kebetulan dalam hidup kita selama ini?"Nadya terdiam. Aku memejamkan mata. Bayangan wajah Sindy tak juga mau hilang dari benakku. Bibirnya yang tertawa lebar tanpa suara itu seakan menantangku, mengatakan bahwa penjara tak mampu membuatnya terkurung."Bagaimana kabar keluarga Salma?"Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Bik Marni datang membawakan dua gelas teh hangat dan sepiring bakwan yang masih panas. Aku segera meraih gelas itu, menghangatkan tanganku yang masih terasa dingin."Salma masih di Malays

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 99

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH (17)PoV INTANAku meletakkan tas di tas meja dengan hati kalut. Kematian Mantan Ibu mertuaku, yang tanpa sengaja kutemukan di dalam rumahnya akan menjadi babak baru. Bagaimana bisa aku masuk ke dalam rumahnya tepat saat Ibu tiada? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku beruntung karena tak menyentuh Ibu sedikitpun, begitu pula Mas Farrel. Meski begitu menghadapi interogasi polisi ternyata sangat melelahkan. Terutama ketika fakta bahwa aku adalah korban percobaan pembunuhan yang pernah dilakukan oleh si pemilik rumah."Aku akan menelepon Om Helmi, bersiap jika kita butuh pengacara." Mas Farrel memelukku. Kami baru saja pulang dari pemakaman Ibu.Aku mengangguk, menyandarkan kepala ke sandaran sofa sambil memejamkan mata. Setelah sekian lama waktu berlalu, bukankah seharusnya semua akan baik-baik saja? Tapi kenapa aku justru seakan menghadapi hidup yang penuh misteri. Waktu empat belas tahun yang telah berlalu seakan hanya sebuah jeda, sebelum aku akhirnya tiba pada a

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 98

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 16POV SURYA"Kita adalah partner paling hebat. Dulu, sekarang, kelak. Aku akan memaafkanmu karena mengabaikanku di penjara. Tapi mulai saat ini, tetaplah disini. Kita lanjutkan semua yang dulu terpaksa terjeda."Suaranya masih seperti dulu, penuh desah dan merayu. Aku menatap matanya dan seketika kenangan itu terlempar ke masa empat belas tahun silam. Di ruang pelantikan, ruangan yang tadinya akan menjadi tempat pelantikan ku, aku merangkak di kaki Intan, memohon ampun. Bukan untuk memintanya mencabut segala tuntutan karena itu tak mungkin lagi. Aku berlutut meminta maaf darinya, meski aku tahu kesalahanku tak termaafkan.Selain itu, aku telah menyadari bahwa sebulan tanpa dirinya adalah siksaan. Aku benar-benar sakit, sampai nyaris bunuh diri. Semua orang melihatku yang sangat terpukul karena kehilangan istri. Namun, yang terjadi adalah, aku tengah dihantam gelombang rasa sesal dan bersalah. Rasa yang ternyata sangat menyiksa."Aktingmu luar biasa. Kau layak

  • DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU   Bab 97

    AYAHKU SEORANG PEMBUNUH 15POV SURYAAku terbangun dengan kepala pusing seperti biasa. Terlalu banyak tidur hingga kehilangan orientasi waktu. Entah sudah berapa lama aku disini. Seminggu? Dua minggu? Sebulan? Dua bulan? Rasanya aneh sekali. Bangun, makan, lalu tidur. Bangun, makan dan tidur lagi. Ku pandangi tubuhku. Perlahan tapi pasti, tulang tulang yang kemarin hanya terbungkus kulit, kini berisi. Aku tak pernah kelaparan disini seperti saat di rumah. Jika Mbak Wulan hanya memberiku sepiring nasi ditabur garam setiap hari, disini, segala rupa makanan mewah terhidang dalam jumlah banyak. Aku bisa makan sepuasnya.Tiba-tiba saja aku teringat Ibu. Dadaku langsung berdebar kencang. Ada rasa yang ngelangut disini, sebuah rasa yang tak nyaman. Wajah tua itu membayang, berkerut dan nyaris lupa cara tersenyum. Setelah aku menghancurkan keluarga karena ulahku sendiri, Ibu pasti sangat menderita. Kini, di usianya yang melewati tujuh puluh tahun, Ibu tampak sepuluh tahun lebih tua. Bungkuk,

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status