Share

Bab 5. Hari keempat

DELAPAN HARI SAJA MENJADI ISTRIMU 5

Aroma parfum itu menyentak kesadaranku, bahwa ada wanita lain yang telah ditemui suamiku. Mereka berinteraksi cukup dekat sehingga bahkan parfumnya menempel di pakaian Mas Haris. Dan itu juga berarti menepis kecurigaan bahwa suamiku seorang gay. Ah, betapa melelahkannya hidup bersama seseorang yang tak kau kenal, yang bersikap misterius dan selalu menjaga jarak. Padahal kami diikat oleh pernikahan. Mau seperti apa rumah tangga kami jika bersentuhan saja tak boleh?

Dan pertanyaan yang lebih mengganggu adalah, aroma parfum siapa yang dibawa pulang oleh suamiku?

Malam ini, aku kembali tidur sendiri. Iseng kubuka akun i*******m, dimana aku sempat mengunggah foto-foto pernikahanku dengannya. Kugigit bibir kuat-kuat, menahan nyeri di hati kala membaca komentar teman temanku yang menggoda.

(Nadya, jangan lupa baca doa sebelum di unboxing wey)

(Bilang pak dosen, jangan kerja mulu sampe istri cantik dianggurin)

Dan komentar terakhir, yang ditulis tiga jam yang lalu dari Intan sahabatku

(Selamat berbulan madu sayang aku, ditunggu garis duanya bulan depan)

Aku menutup aplikasi I*******m dengan hati nelangsa. Tak akan ada garis dua. Aku yakin itu.

***

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun dan menyibukkan diri di dapur. Sebersit rasa sesal singgah di hati, mengingat aku terlanjur mengambil cuti sepuluh hari. Aku bahkan mengambil jatah cuti tahunan. Kupikir aku butuh waktu lama untuk berbulan madu sambil mengenal lebih jauh lelaki yang menjadi suamiku. Aku tersenyum getir, ternyata semua sia sia. Seperti inikah menjalani pernikahan karena perjodohan?

Aku menghela nafas dan berusaha melupakan semuanya. Aku yakin, apapun yang disembunyikan Mas Haris, cepat atau lambat akan segera terbongkar.

Usai membuat nasi goreng spesial dan membiarkannya tetap di atas wajan agar tetap hangat, aku kembali ke depan. Mengingat berapa resiknya Mas Haris, aku mulai menyapu dan mengepel seluruh rumah. Meski pinggangku pegal karena rumahnya cukup luas, aku meneruskannya dengan mengelap seluruh lemari lemari, sofa dan meja sampai mengkilap.

Ceklek.

Suara pintu dibuka terdengar, lalu suara langkah kaki perlahan mendekat. Aku menoleh. Mas Haris tampak terkejut melihat rumah yang sangat rapi dan menguarkan aroma pinus dari pembersih lantai. Dia menyeka ujung lemari, mencari sisa sisa debu. Aku menahan nafas melihatnya.

"Nadya!"

Mas Haris berjalan ke dapur mencariku. Dia tak melihat bahwa aku ada di ruang tamu, tengah menyeka pot bunga hias dengan lap basah. Aku berjalan mengejarnya.

"Ada apa Mas?"

Mas Haris tampak terkejut melihatku muncul justru dari arah ruang tamu. Dia menatap dapur berkeliling, wastafel yang bersih tanpa ada satupun piring kotor. Lantai dapur mengkilap, tak meninggalkan setitik pun kotoran.

"Kau yang membersihkan semua ini?"

Aku tertawa getir. "Tentu saja. Memangnya ada orang lain?"

Lalu pandangan matanya jatuh pada kanebo yang kupakai mengelap perabotan. Matanya terbelalak.

"Kau menggunakan satu lap itu untuk seluruh perabot?"

Aku menatap lap tak berdosa yang dia pelototi.

"Iya. Memangnya kenapa? Aku selalu membilasnya kok."

Mas Haris berjalan dengan cepat menuju lemari penyimpanan dan mengambil satu pak besar tisu basah. Dia membanting tisu itu di atas meja.

"Pakai ini. Dan langsung buang setiap kali selesai."

"Hah? Itu lemari dan sofa besar Mas. Perlu berapa lembar mengelap semuanya?"

"Aku tidak peduli. Yang lelas aku tak mau ada pertukaran debu dan kuman akibat kecerobohanmu."

Kini giliranku membanting kanebo di tanganku ke lantai dengan kesal.

"Aku tidak mengerti ada apa dengan dirimu. Kau pikir mudah membersihkan rumah sebesar ini beserta semua perabotnya?"

"Kau kan bisa tanya dulu."

"Kau selalu meributkan hal sepele tapi menyembunyikan hal besar dariku."

Mata Mas Haris menyipit. "Apa maksudmu?"

"Kau lebih tahu apa maksudku Mas?"

Aku sengaja tak mau bertanya tentang aroma parfum semalam sebelum menyelidikinya sendiri.

Aku menghela nafas keras, berusaha menepis sesak di dada. Lalu berjalan ke watafel dan mencuci tangan tanpa memungut kembali kanebo di lantai yang kini dia pandangi dengan tatapan jijik. Aku berjalan ke lemari, mengambil piring dan mulai menyendok nasi goreng di atas wajan untukku sendiri. Dari sudut mata dapat kulihat dia memperhatikanku.

"Kau tidak menawariku makan?"

"Tidak. Aku takut nasi goreng ini meracunimu." Ujarku sambil mulai makan.

Mas Haris berjalan ke tempat magicom berada dan menggeram.

"Kau tidak masak nasi? Aku tak suka nasi goreng."

Aku meletakkan sendok di atas piring dan tanpa kata kata mengambil pot tempat menanak nasi, lalu mencucinya. Aku lalu mencuci beras menggunakan dua baskom dan menuangkannya ke dalam pot magicom. Namun tanpa kuduga, Mas Haris merebut pot itu.

"Bilas dulu dengan air mendidih. Aku tak mau kuman dari spon cuci piring ikut termasak."

Oh, ini sudah keterlaluan. Aku meletakkan baskom berisi beras itu dengan gerakan agak menghentak.

"Kalau begitu kerjakanlah sendiri."

"Kau mau membantahku Nadya? Aku ini suamimu."

Aku tertawa keras.

"Suami? Bagian mana dari dirimu yang pantas disebut suami? Apakah sikapmu yang menolak bersentuhan denganku itu wajar?"

"Nadya!"

"Apa? Kau mau menceraikanku, lagi? Lakukan Mas! Aku akan menerimanya dengan senang hati. Dan kupastikan tak akan ada kesempatan kedua untukmu."

Dengan dada yang terasa sesak, aku berjalan dengan langkah cepat menuju kamar. Terserah apa yang akan dia lakukan dengan beras dan makanan di dapur. Rasa laparku langsung lenyap.

Kuraih ponsel yang tadi kuletakkan di atas nakas. Membuka pesan W*, deretan pesan Papa muncul paling atas.

(Nadya, kau baik baik saja kan?)

(Haris tidak mengulangi nya kan?)

Aku mendesah, teringat Papa yang tak pernah menolak kehendak Mama, lalu pada sosok Mama yang memaksaku menerima Mas Haris lagi.

(Pa, bisa tolong Mang Supri antar mobilku ke rumah?)

Balasan Papa langsung kuterima detik berikutnya.

(Tentu saja Nak. Tunggu saja ya, siang ini mobilmu sudah ada di rumah.)

(Terimakasih Pa.)

Baru saja menutup ponsel ketika suara gedoran di pintu kamarku terdengar. Dan ketika membuka pintu, kudapati suamiku berdiri dengan raut wajah dingin.

"Pergi ke dapur dan bereskan kekacauan yang kau buat Nadya. Sekarang!"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ma E
laki"egois ih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status