LOGIN
BAB 1 ARON LOGHAN
New York tidak pernah benar-benar tidur. Bahkan di pagi hari, kota ini sudah berdenyut dengan ambisi. Di puncak salah satu menara kaca yang menjulang tinggi, tepatnya di lantai 87 kantor pusat Denton Global, seorang pria duduk membisu di balik meja onyx besar, mengamati jalanan Manhattan yang penuh kesibukan dengan kepala hening tidak tertebak. Aron Loghan, pria tiga puluh delapan tahun yang sudah sangat matang. CEO Denton Global, perusahan tambang raksasa yang kini merambah ke bidang keuangan, properti, dan teknologi global. Penampilannya bagaikan lukisan klasik yang tidak terpengaruh zaman, rambut hitam legam tersisir rapi, rahang kokoh, dengan sorot mata biru tajam menolak disentuh kelembutan. Aron Loghan bukan pria yang mudah ditebak, apalagi dibaca isi pikirannya. Aron dikenal karena ketegasannya. Sekali ia bicara, seisi ruangan akan sunyi. Sekali ia membuat keputusan, tak ada ruang untuk negosiasi. Sejak usia dua puluh lima tahun, Aron sudah mengambil alih kendali penuh perusahaan dari ayahnya, Jeremy Loghan, pria aristokrat Inggris yang nyaris tak pernah bicara kecuali dalam bentuk perintah. Dan sama persis seperti perangai ayahnya, Aron Loghan tumbuh menjadi lelaki yang nyaris beku di balik keanggunan maskulin yang memukau. Pukul sembilan tepat, ketukan halus terdengar di pintu kayu mahoni yang mengisolasi ruang kerja privatnya dari kebisingan dunia luar. “Masuk,” suaranya rendah namun tegas, mengandung nada perintah alami. Catherine melangkah masuk dengan elegan. Sekretaris pribadi Aron selama tiga tahun itu adalah potret sempurna dari kecantikan, kecerdasan, dan kecekatan. Rambut pirang Catherine digulung rapi, setelan jas abu muda melekat sempurna dengan siluet tubuhnya. Bahkan sepatu hak tinggi di tumitnya tidak pernah menimbulkan suara sumbang ketika wanita cantik itu melangkah anggun profesional. "Selamat pagi, Mr. Loghan,” Chaterine menyapa lembut. Aron hanya mengangguk. Tatapan tajamnya sama sekali tidak berubah. “Duduk. Aku perlu bicara!” Chatrine duduk dengan patuh, meletakkan tablet digitalnya di atas meja kaca. Ia sudah terbiasa dengan cara kerja Aron Loghan, tidak ada basa-basi. “Aku membutuhkan seorang wanita,” Aron bicara tanpa ekspresi. Chatrine mengangkat alis tipisnya sedikit. “Seorang wanita dalam konteks profesional, Sir?” “Tidak.” Aron menautkan jari-jarinya, lalu menatap lurus ke mata sekretarisnya yang cantik. “Aku ingin seorang wanita. Untuk menjadi ibu pengganti.” Kejutan itu datang seperti petir tanpa guntur. Chatrine nyaris kehilangan napas dan lupa cara mengerjap. Namun sikap profesional tetap memagari ekspresi wajahnya dengan ketat. “Maaf, apakah saya mendengar dengan benar?” Aron mengangguk pelan. “Aku ingin memiliki ahli waris. Tanpa keterikatan emosional. Tanpa pernikahan. Tanpa ilusi romansa. Hanya sebuah perjanjian legal, bersih dan terhormat.” Chatrine menyandarkan punggungnya perlahan, mencoba mencerna keterkejutan di pagi hari. Chaterine bukan wanita naif. Ia tahu dunia pria seperti Aron Loghan tidak pernah bergerak dengan cara konvensional. Tapi tetap saja, permintaan mendadak ini tidak biasa. “Anda ingin saya mencarikan wanita yang sesuai?” Chatrine bertanya hati-hati. “Ya, aku tidak mau sembarang wanita.” Aron mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya lebih dalam. “Dia harus cantik, namun bukan tipe yang menjual kecantikan. Cerdas. Berpendidikan tinggi. Stabil secara emosional. Tegas, independen, dan tidak haus perhatian.” Chatrine mencatat dalam benaknya. Semakin banyak kriteria yang diucapkan oleh Aron Loghan, semakin aneh pula perasaannya. Nyaris semua persyaratan yang diminta Aron, menggambarkan karakter Chatrine. Namun kalimat Aron selanjutnya membuat semuanya berubah. “Dan satu hal yang tak bisa ditawar! Dia harus berambut hitam dan bermata kelabu.” Chatrine terpaku. Wanita cantik itu merasa dadanya sedang dihantam oleh fakta yang tidak ia duga akan begitu menyakitkan. Chatrine terlalu pirang. Matanya terlalu biru. Dan ia terlalu berharap. Chaterine tahu persis kepada siapa Aron sedang mengacu, bahkan jika pria itu sendiri tidak menyadarinya. Aron menginginkan wanita seperti ibunya yang berambut gelap dengan mata kelabu. Geby, wanita cerdas berdarah bangsawan Inggris, pemilik ketegasan dan pesona klasik yang selama ini diam-diam menjadi poros dalam hidup Aron. Aron sedang mencari duplikat ibunya. Bukan seorang pasangan. Bukan seorang kekasih. Hanya seorang rahim sempurna yang bisa meneruskan garis keturunan Loghan. "Aku ingin segera, minggu ini dapatkan wanita itu!" “Baik, Mr. Loghan,” Chatrine menjaga suaranya tetap netral. “Saya akan memulai proses seleksi secara tertutup. Kriteria Anda akan menjadi acuan utama.” Aron hanya mengangguk. “Gunakan segala sumber daya yang kau perlukan. Tapi pastikan satu hal! Aku tidak ingin komplikasi. Tidak ada motif tersembunyi. Ini murni transaksional.” “Ya, saya paham.” Chatrine bangkit, membungkukkan kepala sedikit, lalu melangkah keluar dengan langkah yang tetap anggun meski hatinya retak pelan. Di balik pintu yang kembali tertutup, Chatrine berhenti sejenak dan memejamkan mata. Untuk pertama kalinya sejak bekerja di sisi Aron Loghan, ia menyadari sesuatu yang pahit. ******BAB 72 BIMBANG DAN LELAHBegitu pintu lift lobi hotel terbuka dengan suara desis lembut. Chatrine sudah berdiri menunggu di ujung lobi.Wanita itu tampak rapi, profesional, dengan mantel abu-abu pas di badan dan sepatu hak tinggi hitam mengilat. Rambut pirangnya disanggul rapi, bibirnya mengulas senyum tenang yang sudah terlalu terbiasa dengan krisis pagi bagi lelaki berbahaya.Wajah tajam Aron Loghan masih seperti biasa, tapi kali ini terlihat lebih lelah. Rambutnya sedikit kusut, matanya sembab namun tetap menyimpan sorot dingin yang tak pernah bisa ditebak.Tanpa banyak bicara, Chatrine langsung menghampiri bosnya dengan cekatan. Wanita cantik itu menyodorkan jaket kulit hitam dan sebuah kacamata hitam dari Dior yang dia keluarkan dari dalam tas tangan.“Terlalu banyak cahaya di luar untuk kepala yang sedang berdenyut.”Nada bicaranya halus, namun padat. Suara sekretaris pribadi yang sudah terlatih mengendalikan semua kekacauan pria sekelas Aron Loghan.Aron menerima jaket dan kaca
BAB 71 KECEMASAN EVANAMalam terasa beku menikam ke dada Eva dalam kecemasan. Aron belum pulang hingga lewat tengah malam. Ponselnya sama sekali tidak bisa dihubungi.Eva masih duduk menunggu di ujung sofa ruang tengah, tubuhnya diselimuti cardigan tipis, rambutnya digulung acak sembarangan, dan matanya terus menatap pintu lift yang belum juga terbuka.“Aku akan terus menunggu sampai kau pulang…”Suara Eva hampir tak terdengar. Jemarinya mencengkeram gelas berisi air mineral yang sejak tadi sudah kosong. Ponsel di genggaman tangannya menunjukkan pukul 01.37 dini hari. Tidak ada pesan. Tidak ada panggilan masuk. Tidak ada kabar.Eva mulai tidak bisa membedakan ini cemas… atau mulai ketakutan. Dengan ragu, dia akhirnya menelpon Chatrine.Nada sambung cukup lama. Tapi akhirnya suara lembut Chatrine menjawab di seberang sambungan telefon.Eva menahan napas. Suaranya nyaris pecah."Aron belum pulang. Semua komunikasinya mati. Kau tahu ke mana dia pergi?"Hening sejenak dari seberang."Aku
BAB 70 SEMUA KACAUEvankan mengejar punggung Chatrine di tengah keramaian pejalan kaki di sepanjang trotoar. Begitu Evankan sudah cukup dekat, tiba-tiba sosok Chatrine justru menghilang.“Sh*t,” bisik Evanka pelan.Dadanya masih bergemuruh naik turun, kepalanya menoleh ke kanan dan kiri, menelusuri setiap wajah yang lalu lalang. Tapi Chatrine sudah benar-benar lenyap.Beruntung Chatrine sudah masuk ke dalam mobil."Ayo, aku ingin buru-buru pulang!" Evana sudah duduk menunggu di dalam mobil selama Chatrine menyelesaikan pembayaran."Kita bisa langsung pulang, atau pergi ke salon untuk mewarnai rambut." Chatrine memberi pilihan alternatif."Kau serius, aku di ijinkan untuk mengecat rambut?" Eva nyaris tidak percaya karena mengingat kemurkaan Aron tempo hari.Chatrine mengangguk. "Warna merah pun juga boleh."Mustahil Chatrine berbohong."Oke, kita pergi ke salon!"Mobil hitam berlogo Denton Global melesat dari tepi trotoar sebelum Evanka Collins sempat menyadari keberadaan adiknya.Deng
BAB 69 WANITA YANG CEMBURU Ketika dua orang saling bertikai dengan keras kepala, maka ingat baik-baik satu prinsip dasar ini. 'Tidak ada yang sepenuhnya salah, dan tidak ada yang sepenuhnya benar. Tiap individu bisa membuat porsi kesalahannya masing-masing.' Saat itu usia Evankan baru tiga belas tahun, dua tahun lebih muda daripada Aron. Wajarnya memang dia yang ketakutan ketika seorang pemuda yang lebih dewasa memiliki hasrat yang begitu besar terhadap tubuhnya. Tapi Evankan juga telah melampaui batas dengan tindakan bully yang sangat jahat di usia mereka yang sama-sama remaja. "Tunjukkan wanitamu padaku!" Evanka Collins balas menantang Aron Loghan. Kemudian langsung berpaling angkuh untuk melangkah pergi. Beberapa menit setelah langkah anggun Evanka Collins menghilang di balik pintu, Aron Loghan masih berdiri membatu. Sorot matanya kosong menatap jendela, seperti ingin menghancurkan bayangan masa lalu yang telah menyerbu tanpa peringatan. Pertemuan tidak terduga dengan
BAB 68 EVANKA COLLINS VS ARON LOGHANEvanka berdiri di depan jendela kaca yang luas, memandangi siluet gedung-gedung New York di bawah langit cerah. Hari yang cerah, pertemuan yang mengejutkan beserta memori yang kembali tergali."Kau masih mencintaiku, Aron?"Sepertinya Evankan juga terkejut dengan pikiran itu.Aron Loghan tidak bergerak, tapi sorot matanya menusuk. Tatapan yang menyimpan ribuan alarm bahaya. Wanita itu benar-benar bisa kembali menghancurkan hidupnya.Evanka kembali menyentuh kaca yang masih sejuk diterpa sinar matahari pagi. Suaranya lembut, namun tegas menyisip tajam.“Aku tidak menyangka... ternyata kau juga yang membeli rumah ibuku.”Aron bangkit berdiri angkuh di balik meja panjang, jemarinya menggenggam tepiannya dengan kendali sempurna. Aron Loghan menjaga nada suaranya tetap tenang.“Itu hanya aset."Evankan tidak boleh tahu jika dia telah membeli rumah itu untuk menjebak adiknya."Properti dengan nilai tinggi di wilayah yang strategis.”Evanka menoleh perlah
BAB 67 KEMBALILangit New York sore itu bergerak agak kelabu. Hujan gerimis turun ringan, memantulkan cahaya lampu kota di permukaan jalanan basah. Aron dan Eva kembali ke kota melanjutkan malam dalam pelukan hangat tanpa jeda bercinta.Pagi bangkit dengan energi mentari baru yang segar, sisa-sisa gairah dari akhir pekan panjang bersama di Hampton masih melekat di kulit dan pikiran mereka masing-masing. Aron mengecup kening Eva yang tertidur di pelukannya hingga pagi. Aroma rambut Eva yang sedang bergairah terus menempel di hidung Aron. Rasanya ingin terus dia hirup."Hmm..." Eva melenguh terbangun karena ciuman panas di kulit leher.“Kau mau pergi?” Eva bertanya dengan suara serak malas.Sebenarnya Eva juga terkejut melihat Aron Loghan sudah sangat rapi, segar dan sedang mendesakkan ciuman yang sangat panas.“Hanya sebentar. Aku harus menyelesaikan pertemuan yang kemarin tertunda.”Eva hanya mengangguk pelan, separuh kesadarannya masih melayang."Kau boleh keluar, Chatrine bisa mene







