"Orang tua dokter perhatian banget, ya. Senang masih ada orang tua lengkap. Kadang saya rindu juga dengan almarhum Papa. Beliau pergi disaat saya sedang terpuruk. Hancur banget saya kala itu."Perasaan Vania tersentil. Bisa terbayang bagaimana penderitaan Alina waktu itu. Ia menunduk sejenak, lantas bicara pada Alina. Memberikan semangat, bahwa dia masih punya kesempatan untuk bahagia. "Saya suka kalau dokter ngasih semangat ke saya. Saya benar-benar punya teman sekarang," ujarnya dengan senyum bahagia. Tapi sedih di dada Vania.🖤LS🖤Setelah menyudahi jam praktik di klinik, Vania bersiap hendak pulang. Ia masih mengemas barang pribadinya masuk tas."Kamu ingin menyambangi Sagara, Van?" tanya Cici yang berdiri berhadapan di seberang meja Vania."Ya, Ci.""Hati-hati, ya," jawab Cici. Ia tak banyak bicara, karena paham apa yang menjadi kemelut di dada rekannya."Aku pulang dulu," pamit Vania."Iya."Vania melangkah cepat di trotoar. Sampai kosan langsung mandi. Air hangat membasuh tub
Bu Ambar memperhatikan sekeliling. Ia melihat ada baskom stainless di meja pojok ruangan. Lantas bangkit dari duduknya untuk mengambil benda itu beserta washlap. "Mama seka tubuh kamu, ya."Erlangga mengangguk pelan. "Setelah aku sembuh, ada yang ingin kuceritakan pada Mama.""Tentang apa?" Bu Ambar penasaran. Ia memandang putranya seraya mengelap lengan Erlangga."Nanti Mama akan tahu.""Tentang pakdhe dan sepupumu?""Bukan.""Tentang kakek?"Erlangga menggeleng. "Kalau sudah sembuh aku akan ceritakan ke Mama.""Baiklah. Tapi Mama juga ingin memberitahumu sesuatu. Ini tentang Jenny. Mama sempat bertemu dengan Bu Lany waktu arisan kemarin. Beliau melanjutkan pembicaraan yang dulu, bagaimana kalau kamu dan Jenny menikah."Spontan Erlangga menggeleng. "Keputusanku tetap sama, Ma. Selama ini aku menganggap Jenny hanya teman.""Sepertinya Jenny punya perasaan sama kamu, Er."Erlangga tidak menanggapi. Ia memperhatikan gerakan tangan sang mama yang mengelap lengan dan dadanya. Erlangga sa
DENDAM- Di Kamar Seroja"Kamu serius?" tanya Cici sampai matanya membulat saat Vania menceritakan apa yang terjadi. Sebab dia pun tahu siapa Nando yang dikenalkan Vania sebagai teman masa kecilnya.Vania mengangguk."Ya Allah, Van. Dia bajingan ternyata." Cici merapat dan merangkul sahabatnya. "Kamu mesti hati-hati sama dia setelah kejadian ini. Dia pasti takut kalau kamu cerita ke orang tuamu. Tapi, aku nggak nyangka yang menolongmu justru mantanmu itu.""Aku nggak bisa bayangin apa yang terjadi denganku kalau dia nggak muncul, Ci," suara Vania serak dan lirih."Alhamdulillah, kamu terselamatkan, Van. Aku nggak tahu kalau Sagara terluka karena itu. Tapi dia memang harus ke rumah sakit. Lukanya itu lumayan dan mungkin butuh pembedahan.""Kamu serius, Ci?" Vania kaget."Iya. Kurasa dia memang akan diambil tindakan operasi di rumah sakit."Vania terdiam. Rasanya campur aduk dalam dada. Khawatir, sedih, cemas, merasa bersalah, dan ... entahlah. Cici menepuk bahunya. "Semoga Sagara ngga
Disaat mereka berbincang, seorang dokter menghampiri untuk memantau kemungkinan komplikasi pasca operasi. Dan setengah dipastikan pasien stabil, dokter meminta supaya pasien dipindahkan ke ruang perawatan. Rendy memilihkan kamar dan saat itu juga Erlangga di bawa pindah."Sorry, Bro. Aku tadi yang menandatangani dan menyetujui untuk tindakan operasimu. Udah nggak keburu kalau aku nelepon Tante. Kondisimu benar-benar kritis tadi," kata Rendy setelah perawat yang membantu pergi."Kupikir hanya luka ringan, Ren," jawab Erlangga lemah."Luka seperti itu kau bilang ringan?"Erlangga diam. Rendy tidak bertanya lagi. Sahabatnya butuh istirahat. Efek obat bius masih ada. Dua jam kemudian, Erlangga kembali membuka mata dan mengajaknya berbincang. "Sebenarnya apa yang terjadi?" Erlangga diam sejenak, lalu menceritakan kejadian tadi. Memang setelah menelepon dan mengirim share location pada Rendy, Erlangga langsung tak sadarkan diri di dalam mobil. Untungnya Rendy cepat datang disaat para ojek
Dengan tangan gemetar, Vania meraih ponselnya. Dia ingin tahu kabarnya Erlangga. Sudah jelas kalau tadi itu pinggangnya terluka. Tapi Vania tidak mungkin menelepon Alina. Belakangan ini, Vania berusaha menjaga jarak. Dia merasa malu dan bersalah pada wanita itu. Namun kalau Alina mengirim pesan lebih dulu, tetap dibalasnya.Vania mencari nomernya Erlangga dan membuka blokiran. Dengan jemari yang mulai tremor dan dada berdebar, Vania nekat menghubungi. Nada sambung masuk, tapi tidak dijawab sampai nada dering berhenti sendiri. Sekali lagi dicoba, tetap sama. Vania kian cemas. Nomer Erlangga tidak muncul keterangan kapan terakhir aktif."Bagaimana kalau Sagara tidak sampai ke rumah sakit dan dia pingsan di jalan? Padahal sambil nyetir itu." Vania tambah kalut. Apapun permasalahan mereka, tapi kali ini Vania benar-benar cemas.Baru saja Vania meletakkan ponsel. Ada panggilan masuk dari Nando. Vania menerima panggilan dan amarahnya memuncak."KAU SAKIT JIWA!" teriaknya."APA KAU GILA. Apa
DENDAM- Terluka Vania duduk membeku di kamarnya. Belum berganti pakaian. Masih shock dengan apa yang baru berlaku. Kalau saja Erlangga tidak datang, apa yang terjadi dengannya? Dia pasti sudah digagahi Nando. Lelaki yang dianggapnya teman. Sosok yang diberi izin Pak Setya untuk mendekati Vania.Erlangga. Apa yang terjadi dengannya tadi. Perasaan Vania tidak tenang. Ia tahu, kalau darah sebanyak itu artinya apa. Terlihat kemeja warna hitam yang dipakai Erlangga mengkilap oleh darah. Lalu celananya, terus jok mobilnya. Kenapa dia tadi turun dan tidak memaksanya untuk ke klinik. Sekarang harus bagaimana? Apa ia harus membuka blokiran nomernya Erlangga."Bodoh. Kenapa aku tadi tidak memaksanya ke klinik?" batin Vania menjerit.Air mata terus jatuh tanpa permisi. Rasa khawatir terhadap Erlangga, rasa emosi yang sulit dijelaskan. Campuran dari rasa bersalah, takut, dan marah. Sangat marah pada papanya. Apa dia sadar sudah mengirimkan seorang penjahat pada putrinya.Sebulan terakhir ini pe