MasukDENDAM
- Hati-hati, Vania Vania percaya saja sopir taksi itu tidak akan jahat padanya. Dia sudah pasrah karena memang capek lahir batin. "Mbak, bangun. Sudah sampai ini." Sopir itu menoleh ke belakang. Namun Vania tidak mendengar. Sekali lagi lelaki itu membangunkan dan Vania membuka mata. Dia mengerjab sejenak dan memperhatikan sekeliling. Benar dia berada di depan pagar rumahnya. Sopir itu sangat baik. Kalau mau jahat, pasti akan macam-macam pada Vania. Ia membuka tas dan mengambil sejumlah uang pembayaran. "Kembaliannya ambil saja, Mas. Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya sampe di rumah." "Makasih ya, Mbak. Coba cek dulu barang-barangnya. Saya nggak mau nanti ada komplen barang hilang." "Masih ada, Mas." Ponsel dan dompetnya masih di tas. Itu yang penting. "Mbak, bikin saya takut saja. Tidur seperti orang pingsan." Seharusnya Vania yang ketakutan dijahati, ini malah sopir taksinya yang takut. Vania tersenyum. "Makasih banyak ya, Mas." "Sama-sama, Mbak." Vania membuka pintu lalu turun. Taksi membunyikan klakson lantas bergerak pergi. Ia melihat jam tangannya. Masih ada waktu untuk istirahat sebelum kembali ke rumah sakit. 🖤LS🖤 Lampu putih menyilaukan, aroma disinfektan menyengat, dan suara mesin monitor berpadu dengan langkah-langkah cepat para tenaga medis. Vania mengganti jas putihnya, menyelipkan ponsel dalam saku, dan dia kembali sibuk melayani pasien di IGD. Hari ini jadwalnya shift pagi setelah beberapa hari jaga malam yang begitu melelahkan. Namun semalam dia bisa terlelap setelah menjelang pagi. Pikirannya benar-benar kacau dan ia pun menangis. Tapi begitu ke rumah sakit dan masuk ke ruang triase, kekacauan hatinya langsung tertindih oleh realita kerja. Pasien datang bertubi-tubi dengan berbagai keluhan dan butuh penanganan. Vania butuh konsentrasi untuk menjalani semuanya. Saat membuka tirai, ia berpapasan dengan Raka yang baru saja keluar dari ruangan. "Pasien patah tulang tibia. Sudah saya reposisi sementara. Butuh rujukan ortopedi," jelas Raka sembari membenahi sarung tangannya. "Oh, baik, Dok. Saya lanjutkan observasi dan penginputan, ya," jawab Vania. Seketika mata Raka menyorot kagum. Vania memang sigap. Bahkan dalam kondisi emosional yang tidak stabil pun, profesionalismenya tetap terjaga. "Tolong pastikan pasiennya tetap stabil. Dia agak syok tadi." "Iya, Dok." Vania masuk ke ruangan, tapi ia tidak menyadari betapa lekat Raka memperhatikannya sebelum dokter itu melangkah pergi. Ketika melihat seragam kerja yang dipakai pasien lelaki yang berbaring di brankar, dada Kiara berdesir. Buana Raya. Jadi dia karyawan Buana Raya. Satu nama perusahaan yang identik dengan Sagara. Saat dia menyibak tirai dan memandang keluar kaca, tampak di luar IGD ada dua orang yang berseragam sama. Pasti yang mengantar pasien ini. Vania menepis perasaannya dan mulai sibuk menangani pasien. Beberapa jam kemudian, saat pasien mulai berkurang dan suasana sedikit tenang. Vania duduk di pantry staf. Segelas air mineral nyaris habis di tangannya. Wajah Vania tertunduk. Hatinya kembali digerogoti oleh luka yang menyakitkan. Ingin sekali rasanya bertanya pada pasien tadi tentang Sagara, tapi tidak tega dan tak etis saja. Dia sedang bertarung dengan rasa sakit di kakinya malah ditanyai yang bukan urusannya. "Vania." Raka menghampiri dan memberikan sepotong roti isi selai kacang pada Vania. "Makasih, Dok." Keduanya diam sambil makan roti. Sesekali Raka memandang wajah ayu yang terlihat penuh beban. Jujur, dia tertarik dengan sosok Vania. Namun Raka menjaga diri karena gadis itu sudah memiliki calon suami. Tapi sekarang, bukankah kesempatan untuk kembali mendekat terbuka lebar? "Hari ini melelahkan?" Raka mulai bicara. Vania tersenyum. "Bulan depan kamu sudah selesai koas." "Ya. Terima kasih untuk bimbingannya selama ini, Dok." "Tetap semangat, Van. Aku yakin kamu akan menjadi dokter yang sukses. Mulai bulan depan saya juga ambil PPDS. Saya ambil spesialis ortopedi." "Wah, keren. Semoga sukses, Dok." "Kamu tidak ada rencana ngambil PPDS suatu hari nanti?" "Belum terpikirkan, Dok. Untuk bisa lolos saja sudah bersyukur banget dengan keadaan seperti ini." Tatapan mereka bersirobok sejenak. Raka merasa jantungnya berdegup lebih cepat saat memandang gadis di hadapannya. Tapi Vania buru-buru menunduk lagi, menggigit roti dan menghabiskannya. Ia masih terlalu rapuh untuk menerima perhatian dari pria lain. Dari sudut berbeda, sepasang mata memandang tajam ke arah mereka. Nina, dokter gigi yang sedang praktek di poli gigi sebelah IGD, menggigit bibirnya. Ia menyukai Raka sejak lama, bahkan sering sengaja menunggu di kantin untuk sekadar ngobrol. Namun sejak kehadiran Vania, jarang sekali dia berkesempatan ngobrol dengan dokter itu. Nina menoleh saat ada yang menyentuh lengannya. Dia suster Ira. Teman baiknya Nina. "Apa yang kamu lihat?" tanya perawat itu. Mata Nina bergerak menunjuk ke arah Raka dan Vania. "Sepertinya dia menggoda dokter Raka setelah kegagalan pernikahannya," bisik Suster Ira yang semakin membuat panas hati sahabatnya. Mereka memang beda profesi, tapi mereka teman sekolah dulunya. "Perempuan itu memanfaatkan keadaannya yang terpuruk, untuk merebut simpati dokter Raka,” gumam Nina kesal. Kemudian bergegas pergi sebelum ketahuan. 🖤LS🖤 Sore harinya, Vania bersiap pulang. Ia melepas masker dan mencuci tangan di wastafel ruang staf. Ia menoleh saat seseorang memanggilnya dari belakang. "Vania." Nina berdiri di belakangnya dengan senyum datar. "Iya, Dokter Nina. Ada apa?" "Bisa ngobrol sebentar?" Vania mengangguk ragu. Mereka berjalan ke teras belakang rumah sakit yang lebih sepi. Angin sore bertiup lembut menyibak ujung kerudung Vania. "Gimana kabarmu? Maaf, saya nggak bisa menghadiri acaramu waktu itu karena ada acara ke luar kota." "Ya, tidak apa-apa, Dok." "Saya sudah mendengar semuanya. Saya turut prihatin, ya." "Makasih, Dok." "Makanya sekarang kita sebagai perempuan harus hati-hati, Van. Harapan terkadang muncul dari orang-orang baik. Kadang niat baik itu bisa berbalik menyakitkan." Vania diam mendengarkan. Kenapa dokter yang selama ini selalu bersikap dingin padanya, sekarang begitu peduli. Tiba-tiba bersimpati. "Seperti dokter Raka." Mendengar nama itu disebut, Vania tambah terkejut. "Ada apa dengan dokter Raka, Dok?" "Dia itu terlalu gampang kasihan pada seseorang. Dan saya tahu, dia tipe yang impulsif soal perasaan. Jangan terlalu percaya pada rasa simpatinya." Vania tercengang mendengar kata-kata Nina. Dan kalimat itu menyusup ke dadanya. Padahal sejauh ini, Raka adalah dokter yang baik. Banyak membantunya jika dalam kesulitan. Apa memang Raka seperti yang dikatakan dokter Nina? "Aku kenal Raka lebih lama darimu," lanjut Nina. "Terima kasih, Dok. Maaf, saya harus pulang." Nina tersenyum kaku. "Kamu baik, Vania. Aku nggak pengen kamu kecewa yang kedua kali." Vania mengangguk lantas melangkah meninggalkan dokter itu. Ketika melangkah di lorong yang langsung menuju ke arah parkiran, ia melihat seseorang berseragam Buana Raya bersama seorang pria yang mengenakan kemeja biru dan dasi. Dia pasti punya posisi penting di Buana. Apa dia kenal dengan Sagara? Next ....Sosok dewasa itu turun dari mobilnya setelah Cici muncul di depan pintu. Surprise sekali bagi Cici. Tak menyangka Angkasa rela nyetir sendirian dari Jogja demi mencari rumahnya di Kediri. Orang tua Cici menyambut dengan ramah. Pertemuan dimulai dengan perkenalan. Dan ini sungguh mengejutkan, Cici dan orang tuanya baru tahu kalau Angkasa bukan dari keluarga biasa. Hampir semua keluarganya berprofesi dokter. Pemilik sebuah klinik yang dikelola bersama. Dan lewat video call, Cici berkenalan dengan kedua orang tua Angkasa."Minggu depan, kami sekeluarga akan berkunjung ke rumah Bapak dan Ibu untuk melamar Nak Ciciana." Ucapan mamanya Angkasa sungguh mengejutkan.Tanpa bertanya pada Cici, mamanya langsung bilang. "Kami tunggu, Bu."Penantian Cici pada dokter Raka 2,5 tahun, akhirnya terbayar manis dengan kehadiran dokter spesialis bedah jantung yang baru dikenalnya belum lama.🖤LS🖤Semua proses menuju pernikahan begitu cepat. Orang tua Angkasa datang melamar dan langsung membicarakan ha
"Mas, makasih banyak. Nggak nyangka kita bisa jadi teman selama dua hari ini." Cici memandang Angkasa."Nggak hanya dua hari. Kita bisa jadi teman seterusnya. Saya akan mengunjungimu ke Blitar nanti."Cici tersenyum. Lalu mengulurkan tangan karena ia harus segera naik ke kereta. "Hati-hati. Nanti sesampainya di Blitar kabari.""Ya." Cici kemudian mengikuti porter yang berjalan di depannya. Lalu menoleh sejenak pada Angkasa sebelum ia menjauh.🖤LS🖤Hari-hari berikutnya, Cici makin tertekan. Raka jarang sekali menghubungi. Sekalinya bicara, hanya tentang pekerjaan dan keluh kesah tugas. Tidak pernah menyinggung soal masa depan mereka.Sementara Angkasa semakin gencar mendekati. Ia menanyakan kabar lewat pesan dan telepon. Padahal sebagai dokter bedah, dia juga sangat sibuk. Bahkan mengirim bunga ke kosan Cici,Di titik itu, hati Cici makin terombang-ambing. Angkasa bicara secara terbuka, kalau ingin mengenal lebih jauh dengan Cici. Sedangkan Raka tak memberikan perkembangan apapun. Pa
"Itu Mbah saya. Beliau sudah nungguin. Sudah sepuh banget beliau, Mas. Umurnya hampir 90 an. Agak pikun, tapi alhamdulillah masih sehat." Cici bicara sambil memperhatikan ke arah rumah."Alhamdulillah. Boleh saya ikut turun?""Eh, jangan, Mas. Saya nanti diomelin sama beliau. Walaupun sudah sepuh, beliau peka sekali hal begini.""Oke. Saya minta nomer ponselnya, ya." Angkasa mengambil ponsel dari konsol box. Cici menyebut nomernya. Setelah itu bersiap untuk turun. "Makasih banyak untuk dinner di angkringannya, Mas."Angkasa tersenyum lebar. Dia menyukai cara Cici berbicara dan bercanda. Asyik dan menyenangkan meski baru juga kenal. Seru gadis itu. Pria itu memperhatikan sampai Cici kembali memandang ke arahnya dan melambaikan tangan. Baru ia meninggalkan tempat itu.Cici mencium tangan neneknya yang duduk menunggu. "Kamu dari mana saja?" tanya sang nenek."Dari Malioboro, Mbah. Jalan-jalan. Yuk, kita masuk." "Siapa mobil yang mengantarmu tadi?" Sambil dibimbing melangkah masuk rumah
DENDAM - Mengambil Sikap "Hai, Mas." Cici menoleh pada pria jangkung di sebelahnya. Tidak menyangka bertemu lagi dengan dokter itu."Nggak nyangka ketemu sama dokter di sini.""Jangan panggil saya dokter, panggil nama saja," kata Cici.Angkasa tersenyum. "Cici, sendirian?"Cici mengangguk. "Boleh saya ikut duduk.""Silakan!" Cici bergeser. Memberi tempat untuk Angkasa. "Mas, juga sendirian?""Ya," jawab Angkasa dengan raut wajah segar. Dia baru selesai salat Maghrib di mushola yang tak jauh dari tempat Cici berada.Tapi jujur saja, dokter tampan itu memang sengaja jalan-jalan. Siapa tahu bertemu dengan gadis yang ditemuinya kemarin malam. Entah kenapa dia tertarik. Padahal sama sekali tak mengenalnya. Belum tahu juga Cici ini sudah punya kekasih apa belum. Sudah bertunangan atau justru istri orang.Walaupun tidak yakin akan bertemu. Apalagi Malioboro sangat luas dan ramai pengunjung. Terlebih akhir pekan begini. Namun keberuntungan berpihak padanya. Ia bertemu Cici dalam situasi sa
Kereta melaju kencang melintas beberapa kota. Sawah, rumah-rumah, dan pepohonan berganti cepat di balik kaca. Ia mengalihkan pandangan, menenggelamkan diri pada pemandangan senja. Jogjakarta baginya bukan sekadar kota asing. Dia sering datang ke sana mengunjungi neneknya.Kali ini ia kembali ke sana, siapa tahu di kota itu ia bisa menemukan jawaban atas dilema dalam hatinya.Tepat jam delapan malam, kereta akhirnya berhenti di Stasiun Tugu. Hiruk-pikuk penumpang yang turun bercampur aroma khas stasiun, bau besi, keringat, dan jajanan kaki lima langsung menyambut. Cici menenteng ranselnya, berjalan keluar bersama arus orang banyak.Udara malam Jogja menyapa dengan hangat. Lampu jalanan berkelip. Namun, baru beberapa langkah keluar stasiun, keributan kecil menarik perhatiannya. Seorang ibu-ibu jatuh dari motor, menabrak pembatas trotoar. Orang-orang berkerumun tapi hanya memandang tanpa berani menyentuh.Cici spontan berlari mendekat.Wanita itu tidak sadarkan diri. Dengan cepat ia memp
"Dok, kenapa keliatan suntuk seharian ini?" tanya seorang perawat yang sangat akrab dengannya. Bahkan mereka memang sudah dekat semenjak Cici masih koas di Harapan Sentosa.Cici tersenyum hambar. "Nggak apa-apa.""Jangan bohong. Biasanya kamu cerewet. Pasti ada yang dipikirin.""Kita ke kafe depan sana, yuk. Minum dulu sebelum pulang.""Yuk," jawab perawat bernama Dinda itu.Mereka menyeberang jalan. Kemudian memesan sandwich dan dua gelas jus melon. "Ada apa tiba-tiba dokter pulang kemarin sore?" tanya Dinda."Jangan panggil dokter. Biasa aja kalau di luar.""Oke. Ada masalah apa yang membuatmu murung begitu?""Ada pria yang ingin melamarku, Din.""Dokter Raka?" Dinda memang tahu kedekatan tak biasa antara Cici dan dokter itu.Cici menggeleng. "Bukan. Orang lain, Din.""Lalu ....""Entahlah." Cici diam sejenak, lalu kembali bicara. Kali ini agak lirih dan memandang lurus ke temannya. "Din, menurutmu wajar nggak kalau cewek duluan nanyain kejelasan hubungan?""Ya, wajar aja. Zaman se







