Home / Romansa / DENDAM LUKA LAMA / 7. Hati-hati, Vania

Share

7. Hati-hati, Vania

last update Last Updated: 2025-07-17 16:51:18

DENDAM

- Hati-hati, Vania

Vania percaya saja sopir taksi itu tidak akan jahat padanya. Dia sudah pasrah karena memang capek lahir batin.

"Mbak, bangun. Sudah sampai ini." Sopir itu menoleh ke belakang. Namun Vania tidak mendengar.

Sekali lagi lelaki itu membangunkan dan Vania membuka mata. Dia mengerjab sejenak dan memperhatikan sekeliling. Benar dia berada di depan pagar rumahnya. Sopir itu sangat baik. Kalau mau jahat, pasti akan macam-macam pada Vania.

Ia membuka tas dan mengambil sejumlah uang pembayaran. "Kembaliannya ambil saja, Mas. Terima kasih banyak sudah mengantarkan saya sampe di rumah."

"Makasih ya, Mbak. Coba cek dulu barang-barangnya. Saya nggak mau nanti ada komplen barang hilang."

"Masih ada, Mas." Ponsel dan dompetnya masih di tas. Itu yang penting.

"Mbak, bikin saya takut saja. Tidur seperti orang pingsan." Seharusnya Vania yang ketakutan dijahati, ini malah sopir taksinya yang takut.

Vania tersenyum. "Makasih banyak ya, Mas."

"Sama-sama, Mbak."

Vania membuka pintu lalu turun. Taksi membunyikan klakson lantas bergerak pergi. Ia melihat jam tangannya. Masih ada waktu untuk istirahat sebelum kembali ke rumah sakit.

🖤LS🖤

Lampu putih menyilaukan, aroma disinfektan menyengat, dan suara mesin monitor berpadu dengan langkah-langkah cepat para tenaga medis. Vania mengganti jas putihnya, menyelipkan ponsel dalam saku, dan dia kembali sibuk melayani pasien di IGD. Hari ini jadwalnya shift pagi setelah beberapa hari jaga malam yang begitu melelahkan.

Namun semalam dia bisa terlelap setelah menjelang pagi. Pikirannya benar-benar kacau dan ia pun menangis. Tapi begitu ke rumah sakit dan masuk ke ruang triase, kekacauan hatinya langsung tertindih oleh realita kerja. Pasien datang bertubi-tubi dengan berbagai keluhan dan butuh penanganan. Vania butuh konsentrasi untuk menjalani semuanya.

Saat membuka tirai, ia berpapasan dengan Raka yang baru saja keluar dari ruangan.

"Pasien patah tulang tibia. Sudah saya reposisi sementara. Butuh rujukan ortopedi," jelas Raka sembari membenahi sarung tangannya.

"Oh, baik, Dok. Saya lanjutkan observasi dan penginputan, ya," jawab Vania.

Seketika mata Raka menyorot kagum. Vania memang sigap. Bahkan dalam kondisi emosional yang tidak stabil pun, profesionalismenya tetap terjaga.

"Tolong pastikan pasiennya tetap stabil. Dia agak syok tadi."

"Iya, Dok." Vania masuk ke ruangan, tapi ia tidak menyadari betapa lekat Raka memperhatikannya sebelum dokter itu melangkah pergi.

Ketika melihat seragam kerja yang dipakai pasien lelaki yang berbaring di brankar, dada Kiara berdesir. Buana Raya. Jadi dia karyawan Buana Raya. Satu nama perusahaan yang identik dengan Sagara. Saat dia menyibak tirai dan memandang keluar kaca, tampak di luar IGD ada dua orang yang berseragam sama. Pasti yang mengantar pasien ini.

Vania menepis perasaannya dan mulai sibuk menangani pasien.

Beberapa jam kemudian, saat pasien mulai berkurang dan suasana sedikit tenang. Vania duduk di pantry staf. Segelas air mineral nyaris habis di tangannya. Wajah Vania tertunduk. Hatinya kembali digerogoti oleh luka yang menyakitkan. Ingin sekali rasanya bertanya pada pasien tadi tentang Sagara, tapi tidak tega dan tak etis saja. Dia sedang bertarung dengan rasa sakit di kakinya malah ditanyai yang bukan urusannya.

"Vania." Raka menghampiri dan memberikan sepotong roti isi selai kacang pada Vania.

"Makasih, Dok."

Keduanya diam sambil makan roti. Sesekali Raka memandang wajah ayu yang terlihat penuh beban. Jujur, dia tertarik dengan sosok Vania. Namun Raka menjaga diri karena gadis itu sudah memiliki calon suami. Tapi sekarang, bukankah kesempatan untuk kembali mendekat terbuka lebar?

"Hari ini melelahkan?" Raka mulai bicara.

Vania tersenyum.

"Bulan depan kamu sudah selesai koas."

"Ya. Terima kasih untuk bimbingannya selama ini, Dok."

"Tetap semangat, Van. Aku yakin kamu akan menjadi dokter yang sukses. Mulai bulan depan saya juga ambil PPDS. Saya ambil spesialis ortopedi."

"Wah, keren. Semoga sukses, Dok."

"Kamu tidak ada rencana ngambil PPDS suatu hari nanti?"

"Belum terpikirkan, Dok. Untuk bisa lolos saja sudah bersyukur banget dengan keadaan seperti ini."

Tatapan mereka bersirobok sejenak. Raka merasa jantungnya berdegup lebih cepat saat memandang gadis di hadapannya. Tapi Vania buru-buru menunduk lagi, menggigit roti dan menghabiskannya. Ia masih terlalu rapuh untuk menerima perhatian dari pria lain.

Dari sudut berbeda, sepasang mata memandang tajam ke arah mereka. Nina, dokter gigi yang sedang praktek di poli gigi sebelah IGD, menggigit bibirnya. Ia menyukai Raka sejak lama, bahkan sering sengaja menunggu di kantin untuk sekadar ngobrol. Namun sejak kehadiran Vania, jarang sekali dia berkesempatan ngobrol dengan dokter itu.

Nina menoleh saat ada yang menyentuh lengannya. Dia suster Ira. Teman baiknya Nina. "Apa yang kamu lihat?" tanya perawat itu.

Mata Nina bergerak menunjuk ke arah Raka dan Vania.

"Sepertinya dia menggoda dokter Raka setelah kegagalan pernikahannya," bisik Suster Ira yang semakin membuat panas hati sahabatnya. Mereka memang beda profesi, tapi mereka teman sekolah dulunya.

"Perempuan itu memanfaatkan keadaannya yang terpuruk, untuk merebut simpati dokter Raka,” gumam Nina kesal. Kemudian bergegas pergi sebelum ketahuan.

🖤LS🖤

Sore harinya, Vania bersiap pulang. Ia melepas masker dan mencuci tangan di wastafel ruang staf. Ia menoleh saat seseorang memanggilnya dari belakang.

"Vania."

Nina berdiri di belakangnya dengan senyum datar.

"Iya, Dokter Nina. Ada apa?"

"Bisa ngobrol sebentar?"

Vania mengangguk ragu. Mereka berjalan ke teras belakang rumah sakit yang lebih sepi. Angin sore bertiup lembut menyibak ujung kerudung Vania.

"Gimana kabarmu? Maaf, saya nggak bisa menghadiri acaramu waktu itu karena ada acara ke luar kota."

"Ya, tidak apa-apa, Dok."

"Saya sudah mendengar semuanya. Saya turut prihatin, ya."

"Makasih, Dok."

"Makanya sekarang kita sebagai perempuan harus hati-hati, Van. Harapan terkadang muncul dari orang-orang baik. Kadang niat baik itu bisa berbalik menyakitkan."

Vania diam mendengarkan. Kenapa dokter yang selama ini selalu bersikap dingin padanya, sekarang begitu peduli. Tiba-tiba bersimpati.

"Seperti dokter Raka."

Mendengar nama itu disebut, Vania tambah terkejut. "Ada apa dengan dokter Raka, Dok?"

"Dia itu terlalu gampang kasihan pada seseorang. Dan saya tahu, dia tipe yang impulsif soal perasaan. Jangan terlalu percaya pada rasa simpatinya."

Vania tercengang mendengar kata-kata Nina. Dan kalimat itu menyusup ke dadanya. Padahal sejauh ini, Raka adalah dokter yang baik. Banyak membantunya jika dalam kesulitan. Apa memang Raka seperti yang dikatakan dokter Nina?

"Aku kenal Raka lebih lama darimu," lanjut Nina.

"Terima kasih, Dok. Maaf, saya harus pulang."

Nina tersenyum kaku. "Kamu baik, Vania. Aku nggak pengen kamu kecewa yang kedua kali."

Vania mengangguk lantas melangkah meninggalkan dokter itu. Ketika melangkah di lorong yang langsung menuju ke arah parkiran, ia melihat seseorang berseragam Buana Raya bersama seorang pria yang mengenakan kemeja biru dan dasi. Dia pasti punya posisi penting di Buana. Apa dia kenal dengan Sagara?

Next ....

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
nina km tu menjijikan ya..km yg kenal dulu dr PD Vania buktinya si Raka gak ada minat SM km..gak usah sok kecantikan deh
goodnovel comment avatar
Helmy Rafisqy Pambudi
ayo ma Raka gercep aja ma MBK Vania..tp km kudu trima dia apa adanya ya maz..
goodnovel comment avatar
PiMary
Apa Sagara itu Aditya yaa.....Nina bisanya menghasut,ga bisa bersaing langsung sama Vania ya Dok??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • DENDAM LUKA LAMA   85. Pagi yang Manis 3

    Vania mengangguk. Erlangga benar. Mereka sudah mengambil banyak resiko sampai harus backstreet seperti ini."Besok kujemput jam enam pagi. Aku tidak bisa membiarkanmu pulang sendiri."Mereka saling pandang. Vania terdiam beberapa saat, lantas mengangguk. Ia mengalah akhirnya. Melihat anggukan sang istri, Erlangga tersenyum. Diraihnya tubuh Vania dan dikulumnya bibir itu dengan penuh kerinduan. Sesuatu bangkit dari dalam dirinya. Namun tidak mungkin akan melakukannya di dalam mobil. "I love you," bisiknya."I love you too," balas Vania sambil tersenyum dan mereka beradu pandang."Aku turun dulu, Mas.""Oke, Sayang. Jam enam pagi kutunggu di sini."Vania mengangguk lalu membuka pintu mobil dan melangkah tergesa meninggalkan Erlangga. Pria itu masih memperhatikan hingga sang istri masuk pintu pagar.🖤LS🖤"Ke luar kota ke mana? Ini kan akhir pekan, Er," tegur Alina saat melihat adiknya berpakaian kasual rapi dan menenteng ransel sepagi itu. "Aku ada acara sama teman-teman, Mbak.""Ben

  • DENDAM LUKA LAMA   84. Pagi yang Manis 2

    Mendengar kalimat terakhir pakdenya, tatapan Erlangga berkobar penuh amarah. "Jangan libatkan Mbak Alin dalam perbincangan ini. Sudah cukup menghina kakak saya. Yang jelas apapun yang terjadi dengan Mbak Alin, itu tidak merugikan Pakde sekeluarga."Pak Tirta semakin geram. Erlangga-lah keponakan yang berani menentangnya. Walaupun sebenarnya Erlangga tidak berniat untuk berani pada orang tua, tapi kalau dia diam, semakin diinjak harga dirinya. Direndahkan juga karena papanya sudah tidak ada. Semenjak papanya meninggal, sang mama tidak boleh lagi berkecimpung di perusahaan oleh saudara mereka. Padahal selama ini, Bu Ambar memiliki kontribusi besar dalam perusahaan. Ipar-iparnya tidak tahu menghargainya."Kamu masih beruntung bisa duduk di jajaran kepemimpinan BR," ujar Pak Tirta lagi. Tak peduli meski Pak Danuarga sudah kembali duduk di sana."Saya duduk di kursi Buana Raya bukan gratis, Pakde. Saya juga pemegang saham di perusahaan. Saya tidak hanya diam dan memerintah, tapi banyak ya

  • DENDAM LUKA LAMA   83. Pagi yang Manis 1

    DENDAM- Pagi yang Manis"Ini privasi saya, Pakde. Nanti kalau sudah waktunya, pasti akan saya kenalkan pada keluarga." Erlangga lalu memandang Pak Danuarga. "Maafkan saya, Kek. Kalau kali ini saya tidak bisa menuruti keinginan Kakek. Saya akan menikah dengan gadis pilihan saya sendiri."Sebenarnya Erlangga tak sampai hati mengecewakan kakeknya. Orang yang selalu membela dan sangat menyayanginya. Namun kali ini, ia tidak bisa mengabulkan permintaannya. Terlihat wajah tua itu kecewa.Sesaat hening. Erlangga bisa merasakan tatapan Pak Tirta yang menyimpan amarah. Pria itu menghela napas panjang, lalu berkata, "Ajak dia kemari. Aku ingin melihat siapa yang membuatmu menolak perjodohan sebesar ini. Kamu tahu kan, Jenny berasal dari keluarga yang bagaimana?""Maaf, Pakde. Sekarang ini saya belum bisa membawanya untuk berkenalan dengan keluarga. Suatu hari nanti, saya pasti akan mengajak gadis itu bertemu dengan keluarga besar kita.""Kamu dan dia belum ada perbincangan serius dengan pihak

  • DENDAM LUKA LAMA   82. Penolakan 3

    Namun Erlangga tidak bisa membiarkan istrinya pulang sendirian. Di samping dia rindu ingin bertemu, Erlangga juga cemburu kalau Vania bertemu dokter Raka.Ketika tengah sibuk dengan pikirannya, pintu ruangan diketuk dua kali dan masuklah Rendy. Asistennya itu membawa map dan beberapa file di tangannya."Besok pagi kamu jadi nganterin Vani?" tanya Rendy setelah duduk di depan bosnya."Ya. Aku tidak peduli dia menolak," jawab Erlangga seraya menegakkan duduknya."Kalau kamu jemput dia, jaga jarak aman dari temannya yang bernama Ciciana itu. Nanti aku lagi yang kena damprat."Erlangga tersenyum samar. Kemarin Rendy sudah cerita tentang pertemuannya dengan Cici di depan minimarket. "Ini yang harus kamu tanda tangani, Bro." Rendy membuka map dan menunjukkan berkas pada Erlangga. Kemudian ia memperhatikan bosnya yang masih meneliti sebelum tanda tangan. Jika ingat ucapan Cici tempo hari, Rendy ingin rasanya tertawa. Sekelas Erlangga dibilang menggunakan pelet. Duh, Cici belum tahu Jenny.

  • DENDAM LUKA LAMA   81. Penolakan 2

    "Saya serius, Dok. Saya dan Vania menikah siri saat dia masih koas di Rumah Sakit Harapan Sentosa. Sudah setahun lebih."Gestur dokter Fatimah semakin tertarik. Kenapa banyak sekali tentang rahasia Vania yang sama sekali di luar dugaannya. Dan dokter dengan wajah keibuan itu bertambah kaget, nyaris tak bisa bernapas saat Erlangga menceritakan semua kisahnya dengan Vania. Termasuk siapa Vania yang sebenarnya. Membuat dokter Fatimah membeku."Saya mencintai dokter Vania, Dok. Makanya saya butuh waktu dan situasi yang tepat untuk memberitahu Mbak Alina. Saya sayang keduanya, satu sebagai kakak dan satunya sebagai istri."Saya percaya, Dokter Fatimah bisa membantu saya jika suatu hari nanti, saya akan memberitahu Mbak Alina. Sebab Dokter yang paham dan tahu banyak bagaimana kondisi psikologis kakak saya. "Hubungan saya dan dokter Vania, belum diketahui siapa pun selain Mama dan dokter Fatimah. Dokter Ciciana juga belum tahu."Dokter Fatimah mengangguk-angguk. "Ya, saya mengerti, Mas. Wal

  • DENDAM LUKA LAMA   80. Penolakan 1

    DENDAM- Penolakan Tatapan dokter Fatimah terlihat biasa tapi penuh selidik, bergantian memandang mobil hitam itu dan Vania. Beberapa waktu yang lalu terbesit keinginan hendak mengenalkan Vania dan Erlangga. Namun sepagi ini ia dibuat terkejut karena melihat Vania turun dari mobilnya Erlangga dalam keadaan agak kusut.Dada Vania berdebar kencang, antara malu dan bingung hendak menjelaskan. Erlangga yang memandang dari dalam mobil, segera membuka pintu dan turun. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman yang menjejaskan internship istrinya. Mereka tidak berzina, hanya saja hubungan ini belum waktunya dipublikasikan.Melihat Erlangga, dokter Fatimah kembali terkejut. Pria itu tersenyum ramah, lalu menyalami dokter pemilik klinik langganan. "Selamat pagi, Dok.""Selamat pagi, Mas Erlangga. Sungguh saya terkejut bertemu kalian di sini." Dokter Fatimah memandang Erlangga dan Vania bergantian. Sebagai orang dewasa yang sudah berpengalaman, dia bisa menebak kalau sudah terjadi sesuatu dengan Erla

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status