Namun Erlangga tidak bisa membiarkan istrinya pulang sendirian. Di samping dia rindu ingin bertemu, Erlangga juga cemburu kalau Vania bertemu dokter Raka.Ketika tengah sibuk dengan pikirannya, pintu ruangan diketuk dua kali dan masuklah Rendy. Asistennya itu membawa map dan beberapa file di tangannya."Besok pagi kamu jadi nganterin Vani?" tanya Rendy setelah duduk di depan bosnya."Ya. Aku tidak peduli dia menolak," jawab Erlangga seraya menegakkan duduknya."Kalau kamu jemput dia, jaga jarak aman dari temannya yang bernama Ciciana itu. Nanti aku lagi yang kena damprat."Erlangga tersenyum samar. Kemarin Rendy sudah cerita tentang pertemuannya dengan Cici di depan minimarket. "Ini yang harus kamu tanda tangani, Bro." Rendy membuka map dan menunjukkan berkas pada Erlangga. Kemudian ia memperhatikan bosnya yang masih meneliti sebelum tanda tangan. Jika ingat ucapan Cici tempo hari, Rendy ingin rasanya tertawa. Sekelas Erlangga dibilang menggunakan pelet. Duh, Cici belum tahu Jenny.
"Saya serius, Dok. Saya dan Vania menikah siri saat dia masih koas di Rumah Sakit Harapan Sentosa. Sudah setahun lebih."Gestur dokter Fatimah semakin tertarik. Kenapa banyak sekali tentang rahasia Vania yang sama sekali di luar dugaannya. Dan dokter dengan wajah keibuan itu bertambah kaget, nyaris tak bisa bernapas saat Erlangga menceritakan semua kisahnya dengan Vania. Termasuk siapa Vania yang sebenarnya. Membuat dokter Fatimah membeku."Saya mencintai dokter Vania, Dok. Makanya saya butuh waktu dan situasi yang tepat untuk memberitahu Mbak Alina. Saya sayang keduanya, satu sebagai kakak dan satunya sebagai istri."Saya percaya, Dokter Fatimah bisa membantu saya jika suatu hari nanti, saya akan memberitahu Mbak Alina. Sebab Dokter yang paham dan tahu banyak bagaimana kondisi psikologis kakak saya. "Hubungan saya dan dokter Vania, belum diketahui siapa pun selain Mama dan dokter Fatimah. Dokter Ciciana juga belum tahu."Dokter Fatimah mengangguk-angguk. "Ya, saya mengerti, Mas. Wal
DENDAM- Penolakan Tatapan dokter Fatimah terlihat biasa tapi penuh selidik, bergantian memandang mobil hitam itu dan Vania. Beberapa waktu yang lalu terbesit keinginan hendak mengenalkan Vania dan Erlangga. Namun sepagi ini ia dibuat terkejut karena melihat Vania turun dari mobilnya Erlangga dalam keadaan agak kusut.Dada Vania berdebar kencang, antara malu dan bingung hendak menjelaskan. Erlangga yang memandang dari dalam mobil, segera membuka pintu dan turun. Ia tidak ingin ada kesalahpahaman yang menjejaskan internship istrinya. Mereka tidak berzina, hanya saja hubungan ini belum waktunya dipublikasikan.Melihat Erlangga, dokter Fatimah kembali terkejut. Pria itu tersenyum ramah, lalu menyalami dokter pemilik klinik langganan. "Selamat pagi, Dok.""Selamat pagi, Mas Erlangga. Sungguh saya terkejut bertemu kalian di sini." Dokter Fatimah memandang Erlangga dan Vania bergantian. Sebagai orang dewasa yang sudah berpengalaman, dia bisa menebak kalau sudah terjadi sesuatu dengan Erla
"Mas, aku nggak ada hubungan apa-apa sama dia, selain kuanggap teman. Dokter Raka nggak pernah mengutarakan perasaannya padaku. Jadi aku menganggap hanya sebatas seniorku."Erlangga masih diam seraya memandang lelaki di seberang sana. Dia baru melihat secara langsung, sekeren apa dokter itu. Untuk apa sepagi ini sudah sampai di kosannya Vania. Hilang Nando, terbit dokter Raka. Dia dengan gampang memberantas Nando, tapi bagaimana dengan dokter itu yang tidak bisa dikatakan sepele."Apa sering sepagi ini dia datang menemuimu?""Nggak. Baru kali ini. Dan aku nggak tahu kalau dia di Surabaya. Biasanya ngirim pesan beberapa hari sebelumnya kalau dia hendak ke Surabaya dan ingin bertemu.""Beberapa kali dia menemuimu selama di sini?" "Tiga kali ini. Tapi kami nggak kencan. Hanya pertemuan biasa sebagai kawan. Dia juga sangat sibuk karena sekarang mengambil spesialis ortopedi di Malang." Dengan dada berdebar-debar, Vania menjelaskan. Tatapan maut Erlangga membuat Vania serba salah. Padahal
Dia pernah seusia mereka. Dan tahu betul bagaimana gairah pasangan muda. Vania memang dokter. Tapi hubungan biologis itu mungkin tidak ada kaitannya dengan profesi jika lautan asmara sudah menenggelamkan mereka. Bisa jadi dia lupa menggunakan kontrasepsi.Bu Ambar menarik napas panjang. Putranya sedang memadu cinta, dia yang gelisah di rumah.Jujur saja, Bu Ambar memang ingin segera memiliki cucu. Sebab Erlangga yang menjadi harapan satu-satunya melanjutkan garis keturunan mereka. Akan tetapi rasanya tak pantas jika hal ini dibahas terlalu detail dengan Erlangga. Putranya sudah cukup dewasa untuk mengatur hidupnya.Ia meraih ponsel di nakas. Mengatur alarm supaya bisa bangun di sepertiga malam. Kebiasaan yang sudah ia jalani semenjak suaminya tiada. Namun malam ia ia mengatur ulang jam, agar bangun lebih awal.🖤LS🖤"Kita nanti mampir sarapan dulu," kata Erlangga pada Vania yang tengah mengeringkan rambut dengan handuk."Dibungkus saja, Mas. Biar aku sarapan di klinik. Aku nggak bole
DENDAM - Cemburu Wajah Vania merona. Tanpa sadar, ia menunjukkan betapa dia cemburu dengan perempuan bernama Jenny. Pasti dia bukan gadis sembarangan. Kaya, cantik, dan terpelajar tentunya. Soal restu, sudah tentu gadis itu menang di keluarga besar Erlangga.Sesaat dada Vania seperti diremas. Nama asing itu menancap dan mengganggu di pikirannya."Kita melewati banyak sekali rintangan, Mas. Termasuk perjodohan Mas dengan gadis itu? Berapa banyak rintangan yang harus kita hadapi?"Erlangga kian merapat, menatap istrinya tanpa berkedip. "Vania, mereka bisa merencanakan, tapi aku yang memutuskan. Aku kenal Jenny sudah sangat lama. Kalau aku mau jatuh cinta, mungkin sudah sejak dulu. Tapi nyatanya? Aku justru jatuh cinta sama kamu. Aku terus ingin bertahan walaupun betapa rumitnya hubungan kita. "Dengan Jenny segalanya akan begitu mudah. Tapi kamu yang kuinginkan. Aku tidak akan menyerah dengan hubungan kita, sesulit apapun itu. Justru aku yang takut, kamu pergi dariku."Mata mereka ber