Di dalam restoran, Erlangga berjalan di sisi Sylvia hingga di pintu depan.Er tersenyum hangat pada gadis itu setelah memutuskan untuk berkendara dengan mobilnya sendiri.Er membuka pintu belakang dan mempersilahkan Sylvia masuk ke dalam mobilnya."Apa besok kamu akan datang ke kantor?" Sylvia bertanya melalui jendela mobil yang terbuka lebar saat Er akan berbalik pergi.Er menggeleng lalu menjawab, "Aku rasa tidak. Tidak hingga Bu Maya memintaku untuk datang ke sana. Ada apa?""Oh ...." Nada suara Sylvia terdengar kecewa.Dia ingin bertanya lebih banyak lagi padanya, tetapi Sylvia mengurungkan niatnya.Dia tidak ingin terlihat murahan di mata lelaki itu, dia takut membuat Erlangga tidak suka padanya.Melihat perubahan di wajah Sylvia, Erlangga tahu jika gadis itu merasa kecewa, tetapi dia harus bisa menahan dirinya dan tidak bertanya lagi.Erlangga harus bisa mendekati gadis itu dengan caranya sendiri agar Sylvia tidak menaruh curiga padanya."Jika tidak ada masalah lagi, aku permisi
Di dalam ruangan Prabujaya terlihat duduk bersandar di kursi kerjanya. Tangannya terlipat di depan dada sementara tatapannya lurus menyelidiki putra sulungnya."Kalian boleh pulang," ucap Prabujaya. Suaranya begitu tenang di luar, sementara hatinya sedang berkobar karena marah.Manager dan sekretaris itu langsung pergi dari hadapan Prabujaya. Keduanya bahkan tidak berani untuk sekedar melirik pada Rangga.Menyadari ada sesuatu yang tidak beres, Rangga langsung duduk di hadapan sang ayah kemudian mulai bertanya. "Ada masalah apa?"Mendengar pertanyaan dari putranya, Prabujaya lantas bertanya dengan dingin, "Kenapa bisa terjadi masalah yang begitu besar di perusahaan? Apa yang selama ini kau lakukan di luar sana? Perusahaan mendapatkan kerugian besar dari komplain barang ekspor dan kau tidak mengatakan apapun padaku?"Mendengar dirinya sedang disudutkan, Rangga berusaha untuk tetap tenang meskipun bulir keringat jatuh di keningnya di dalam ruangan bersuhu dingin."Maaf, Pa ... aku pikir
Daniel memilih duduk berseberangan dengan majikannya. Dia makan dengan kaku sambil sesekali melihat pada Prabujaya.Suasana begitu hening. Kepala pelayan berdiri di belakang Prabujaya sementara pelayan lain di sisi Daniel."Aku naik dulu." Suara Prabujaya memecah keheningan saat dia bersiap untuk berdiri dan pergi meninggalkan mereka.Daniel mengangguk dan berkata, "Silahkan, Tuan. Semoga anda tidur nyenyak malam ini."Garis lengkung tipis tergambar di wajah Prabujaya.Dia berjalan dengan perlahan, kedua tungkai kakinya masih belum kokoh seperti dulu. Rasanya sudah terlalu lama dirinya tergeletak di atas kasur hingga membuat seluruh sendi di tubuhnya menjadi kaku.Dengan tangan merayap di dinding, Prabujaya akhirnya sampai di kamarnya. Kamar besar itu terlihat kosong dan hening.Sejak keributan besar lima belas tahun silam, Liana akhirnya memilih untuk keluar dari rumah besar di River Villa.Wanita yang dia nikahi itu membawa serta putra mereka saat Rangga baru berusia lima tahun, me
Dada Liana terasa sesak dan detak jantungnya berdetak semakin cepat.Pikirannya menebak-nebak maksud ucapan Prabujaya.Apa dia benar-benar sudah tahu semuanya? Apa mungkin dia tahu siapa yang telah membunuh perempuan jalang itu? Itu sebabnya dia membawa pulang anak sialan itu? Liana membatin.Pembuluh darah di wajah Liana terlihat jelas saat kemarahan menguasainya. Tangannya memutih karena dikepal dengan kuat.Prabujaya berdehem pelan. Kerah bajunya dilonggarkan sedikit untuk melepas gerah yang tiba-tiba dirasakannya."Apa kamu terkejut? Sudahlah, berhenti pura-pura di depanku, Liana. Lebih baik kamu menjaga putramu itu agar jangan melakukan kesalahan yang sama," ucap Prabujaya mengingatkannya."Putraku? Dia juga putramu!""Tentu saja. Tapi jika dilihat-lihat, dia lebih mirip denganmu daripada aku."Liana berdecih, merasa jijik dengan suaminya yang jelas-jelas telah selingkuh di belakangnya."Itu lebih baik daripada mirip denganmu. Laki-laki tukang selingkuh sepertimu tidak pantas unt
Dua orang itu duduk saling berhadapan. Sama-sama diam menunggu siapa yang akan mulai bicara lebih dulu."Bagaimana kabarmu, Nak?" Pria paruh baya itu membenarkan letak kacamata di hidungnya."Saya baik, Pak. Bahkan jauh lebih baik dibanding dulu," jawab Er santai."Ya, saya bisa lihat, kamu sudah banyak berubah sekarang. Sudah tidak seperti anak gendut dengan pipi chuby seperti waktu itu." Purnawirawan polisi itu menengadah, bola matanya berputar. Dia tersenyum saat mengingat kenangan lama tentang Erlangga kecil yang sangat ketakutan saat itu.Bahkan untuk mengangkat kepalanya saja Erlangga sangat takut.Erlangga yang masih polos selalu waspada pada setiap orang yang datang untuk bertemu dengannya.Bibir Er melengkung."Semua ini berkat Ayahku. Andai saat itu mereka tidak membawa saya pergi dari panti itu, mungkin tidak akan ada saya yang sekarang."Pria tua itu mengangguk setuju kemudian berkata, "Kamu beruntung, Nak. Bagaimana kabar Ayahmu?""Dia baik," sahutnya pendek."Syukurlah
"Untuk apa kamu ke sini? Aku sedang tidak ingin melihatmu." Er duduk di kursinya sambil meraih gelas anggurnya.Rangga menyeringai kemudian mulai berbicara, "Seharusnya aku yang katakan itu padamu. Untuk apa kau datang ke sini? Ini bukanlah rumahmu. Sejak awal tidak ada yang menginginkanmu di rumah ini. Lintah sepertimu tidak pantas menyandang nama baik Prabujaya Pamungkas." Rangga menatapnya dengan dingin.Er tidak membalas ucapannya. Dia menahan kemarahannya hingga membuat wajahnya memerah.Masih merasa tidak puas, Rangga kembali melanjutkan ucapannya untuk memprovokasi Erlangga.Saat ini dia hanya ingin membuat Er terlihat buruk di mata semua orang."Aku dengar Papa memungutmu dari panti asuhan. Apa itu benar? Aku tidak yakin darah seorang Prabujaya mengalir di tubuh kurusmu itu, karena Mamaku tidak pernah melahirkan anak lain selain aku. Dan jika itu benar, berarti kau adalah anak haram Papaku dengan wanita simpanannya yang selama ini berusaha mencuri semua harta milik Papaku yang
Erlangga mengenakan pakaiannya lalu turun ke ruang makan.Raungan suara perutnya yang lapar cukup mengganggu pendengarannya. Sangat memalukan jika ada orang lain yang ikut mendengarnya."Selamat pagi, Pa. Aku minta maaf telah membuat kalian menungguku untuk sarapan. Hari ini aku terlambat bangun karena kepalaku sedikit sakit." Erlangga menyapa ayahnya dengan sopan saat berjalan pelan menuju kursinya."Apa yang terjadi? Apa kamu habis minum semalam?" Prabujaya bertanya."Mm ... " Erlangga mengangguk.Prabujaya menghela napasnya pelan. Matanya teduh memandang Erlangga. Merasa iba dengan dengan keadaan putranya."Apa kamu sudah bertemu dengan Bu Helen?"Erlangga kembali mengangguk. Dia kini tahu alasan dibalik wajah familiar wanita tua itu."Mulai hari ini, Ibu Helen akan tinggal di sini untuk menemanimu. Papa harap kamu bisa bersikap baik padanya.""Aku tahu."Erlangga langsung menyuapkan makanan ke dalam mulutnya karena perutnya mulai kram.Dia tidak perduli hidangan apa yang mereka si
Raut wajah Daniel seketika berubah setelah sebuah panggilan telepon yang diterimanya berakhir.Dia berjalan pelan mendekati meja Prabujaya dan mulai berbicara dengan hati-hati. "Maaf, Tuan ... ada berita buruk ..." kata Daniel lalu diam sejenak untuk mengambil napas dalam, "Tuan Muda saat ini ada di rumah sakit. Seseorang mencoba untuk mencelakainya."Seketika wajah Prabujaya menggelap. Dia memukul meja kerjanya dengan keras hingga membuat seluruh sendi di tubuh Daniel ikut gemetar."Aku sudah perintahkan kau untuk menjaganya. Kenapa bisa terjadi hal seperti ini?" Prabujaya membentak asistennya itu.Rahang Prabujaya mengerat. Dia berjalan keluar dengan tinju yang terkepal kuat.Dengan langkah terburu-buru, Prabujaya mengejar putranya di ruangannya. Kedua matanya merah padam.Suara hantaman tinju Prabujaya terdengar saat beradu dengan wajah Rangga yang masih terlihat agak memar. Pukulan itu kini menambah rasa sakit di wajahnya."Dasar anak sialan! Kenapa kau begitu memalukan? Apa kau h