Share

Bab 4

"Tuan muda, saya mohon keluarlah ... anda sudah berada di dalam selama seharian. Apa anda tidak lapar?" Seorang wanita paruh baya mengetuk pintu dengan wajah cemas.

Tepat di belakangnya berdiri dua orang pelayan yang membawa masing-masing baki berisi makanan.

"Berhentilah menggangguku! Aku tidak mau makan!" Suara penolakan terdengar dari dalam kamar.

Erlangga sengaja mengunci dirinya sejak mereka tiba di rumah besar itu. Sebuah rumah yang berada di komplek perumahan mewah.

Daniel telah membawanya pulang dan menyerahkan Erlangga dalam pengawasan Nyonya Helen.

Wanita paruh baya itu adalah seorang kepala pelayan yang sudah mengabdi sangat lama pada keluarga Prabujaya.

Dan sekarang, dia ditugaskan untuk mengasuh dan menjaga Erlangga. Termasuk memenuhi segala kebutuhannya.

"Tuan muda .... saya mohon, Tuan besar akan menghukum kami jika anda masih tidak mau makan," bujuk Helen dengan suara getir.

Tak berselang lama, Erlangga akhirnya keluar.

Wajahnya pucat karena menahan lapar selama seharian.

"Maaf ...." katanya pelan dengan kepala tertunduk.

Dia keluar karena tak ingin membuat mereka dalam kesulitan.

Juga karena perutnya yang sudah mulai berbunyi karena lapar. Namun, cukup malu untuk mengakuinya.

Helen langsung berlutut, memeluk Erlangga untuk membuatnya nyaman. "Jangan takut, kami di sini untuk membantumu," ucapnya dengan lembut.

Melihat ketulusannya, Erlangga merasa lebih tenang. Dan mungkin mulai mempercayainya.

"Ayo, saya bantu anda untuk mandi. Setelah itu kita akan turun untuk makan malam." Suaranya begitu lembut dengan senyum yang tulus. Persis seperti ibunya.

Erlangga mengangguk.

***

Hujan turun sangat deras hari ini, membuat suhu udara menjadi lebih dingin.

Sudah hampir satu minggu Erlangga terkurung di rumah karena hujan.

Hari ini semua orang terlihat sangat sibuk. Beberapa pelayan sedang memasang hiasan dinding. Sementara yang lain membereskan beberapa perkakas.

"Sepertinya akan ada pesta besar, ya?" tanya Erlangga.

Helen yang berdiri di samping langsung menyahut, "Itu benar. Ini adalah akhir tahun, tentu saja akan ada perayaan." Bibirnya melengkung. "Ini adalah perayaan terbesar setelah bertahun-tahun rumah ini sepi," sambungnya.

Erlangga menoleh, mengangkat dagunya tinggi untuk melihatnya. "Benarkah? Kenapa?"

Helen menunduk, menatap Erlangga dengan tatapan teduh sambil kembali tersenyum. "Karena anda sudah kembali ke rumah ini," jawabnya. Helen lalu duduk di samping dan meraih tangannya untuk digenggam.

Rasanya hangat.

Erlangga seperti melihat bayangan Olivia di wajah Helen.

"Apa anda menginginkan sesuatu? Saya akan mengusahakannya. Anggap saja itu sebagai hadiah tahun baru untuk anda," kata Helen.

Erlangga diam.

Dia tidak tahu harus meminta apa. Saat ini dia telah memiliki segalanya. Srmua hal yang diinginkan anak-anak sudah dia miliki, kecuali mamanya.

"Apa anda tidak berbohong?" tanya Erlangga ragu.

Helen menganggukkan kepala. "Tentu saja."

Erlangga mengusap wajahnya lalu berkata, "Aku ingin Mamaku."

Helen menelan ludahnya, kerongkongannya bergulir turun. "Maaf, Nak ... saya tidak mampu," katanya pelan. Hatinya bergejolak sementara otaknya terus bekerja mencari slasan yanf bagus untuk dikatakan.

Mata obsidian Etlangga memerah, dia hampir menangis. "Anda bilang anda akan mengabulkannya." Suaranya parau menahan sedih di hatinya.

"Iya, saya memang berjanji," kata Helen cepat, "Tapi kita semua tahu bahwa Mamamu sudah tiada. Dan tidak seorangpun yang bisa menghidupkannya kembali. Apakah anda mengerti yang saya katakan, Tuan Muda?" Jantung Helen berpacu kuat.

Erlangga mengangguk pelan saat airmatanya mengalir di pipinya. Dengan suara pelan dia berbicara, "Aku tahu. Aku melihatnya dengan mataku. Mereka mengambil Mamaku dan aku berjanji akan membalasnya. Aku akan temukan mereka dan menghukumnya."

Helen tertegun. Ia tidak menyangka anak sekecil itu sudah menyimpan dendam yang begitu besar.

***

Akhir tahun telah tiba..

Di rumah besar itu telah berkumpul seluruh pelayan serta pengawal dan penjaga rumah.

Begitupun dengan Erlangga dan pengasuhnya, Helen.

Kecuali Daniel, lelaki tua itu tidak tampak bersama mereka malam ini.

Pesta malam tahun baru begitu meriah. Semua orang tertawa bahagia.

Helen segera mendirikan tiga buah tripod serta kamera pada tiap sudut ruangan.

Ia berniat membuat kenang-kenangan untuk acara malam ini.

Dia pikir, hal ini pantas untuk diingat hingga saat Erlangga dewasa suatu hari nanti.

Sementara itu, para pengawal memasang kembang api di halaman depan. Semua orang segera beralih ke luar.

Ledakan demi ledakan memercikkan sinar warna-warni menghias langit malam tepat setelah hitungan mundur dibunyikan.

"Ayo, nyalakan yang lebih besar!" Erlangga berteriak girang sambil melompat kesenangan.

"Yey ... itu indah sekali. Benar 'kan, Bu?" Ia menoleh pada Hrlen yang diam-diam memperhatikannya.

"Jangan lompat terlalu tinggi, Tuan muda ... bisa bisa tersandung dan jatuh." Helen mencoba memperingatkannya.

Erlangga acuh tak acuh.

Anak itu tetap melompat girang tiap kali kembang api meledak di langit.

Riuh suara tawa diiringi tepuk tangan. Erlangga sejenak lupa akan hidupnya, akan derita yang baru saja dilewatinya.

Dia berteriak bahagia bersama yang lain.

Pukul tujuh tiga puluh pagi, Helen mengetuk pintu kamar sebelum merangsek masuk.

Ia mengguncang tubuh Erlangga pelan untuk membangunkannya.

"Selamat pagi, Tuan muda. Ayo bangun." Helen membantunya untuk bangun.

Erlangga menguap lebar. Malam ini dia tidur nyenyak tanpa mimpi buruk

"Tidak bisakah aku tidur sebentar lagi? Aku masih sangat mengantuk," katanya dengan nyawa yang belum terkumpul.

Helen menarik napasnya panjang lalu mulai berkata dengan senyum terukir di bibirnya, "Maaf, Tuan muda. Anda harus segera bersiap-siap karena sebentar lagi anda akan bertemu dengan Tuan besar."

Kedua mata Erlangga membelalak lebar. Jantungnya tiba-tiba berdetak lebih kencang.

Dengan kening berkerut, Erlangga mencoba memastikan kembali apa yang baru saja didengarnya.

"Apa? Bertemu siapa?" tanyanya. Kantuknya langsung menghilang secara mendadak.

Helen duduk di tepi tempat tidur dan menjelaskan dengan perlahan saat ia berkata, "Tuan besar Prabujaya ingin bertemu dengan anda. Dia sudah menanti cukup lama untuk bertemu dengan putranya."

"Dimana dia?"

"Anda akan segera mengetahuinya."

Tepat pukul sepuluh pagi ,Daniel bersama seorang pengawal masuk ke dalam rumah besar.

Keduanya menunduk hormat saat bertemu dengan Erlangga di ruang tamu.

"Apa anda sudah siap?"

Erlangga ragu-ragu untuk menjawab. Ia menoleh pada Helen meminta pertimbangan.

Wanita itu segera meraih tangannya dan menggenggamnya dengan lembut. Itu adalah bentuk persetujuan darinya.

"Apa Bu Helen boleh ikut dengan kita?"

Daniel melempar tatapannya pada ibu pengasuh lalu berkata, "Sepertinya itu tidak perlu. Kami sendiri yang akan menjaga anda, Tuan."

Erlangga menelan ludah. Bibirnya terbuka sedikit, tetapi kembali terkatup.

Helen menyadari jika anak asuhnya merasa takut.

Oleh sebab itu, dia mengambil inisiatifnya sendiri. "Saya akan ikut bersama anda. Tapi saya hanya akan mengantar sampai di pintu masuk," katanya memberi pengertian.

Setelah diam untuk sesaat, Erlangga akhirnya mengangguk setuju.

Jakun di leher Daniel bergulir. Dengan terpaksa dirinya harus membawa serta ibu pengasuh bersama mereka.

Tidak ada yang dirahasiakan sebab wanita itu adalah orang kepercayaan atasannya.

Mobil sedan hitam bergerak meninggalkan rumah besar itu.

Erlangga duduk dengan tenang di bangku belakang bersama pengasuhnya.

Debaran di dadanya semakin kencang.

Dia tidak bisa menebak seperti apa ayah kandungnya itu. Apakah dia orang yang baik? Atau justru sebaliknya.

Ada rasa takut menyeruak saat pikirannya dipenuhi oleh potongan-potongan puzzle tentang sosok ayah kandungnya, membuatnya memejamkan matanya sepanjang perjalanan.

Helen mengira anak itu sedang tidur.

***

Setelah satu jam perjalanan, sedan hitam itu akhirnya tiba di Komplek River Villa.

Beberapa pengawal tampak berjaga di pintu gerbang hingga di depan pintu masuk.

Daniel segera turun dari mobil bersama Erlangga dan pengasuhnya.

Erlangga bergidik ngeri saat menatap wajah-wajah dingin dan menyeramkan para pengawal ayahnya.

Ketiganya berjalan masuk ke dalam rumah berlantai tiga yang dicat putih seluruhnya.

Erlangga dibawa masuk lebih dalam sementara Helen hanya bisa menatap keduanya dari pintu depan.

"Tuan, saya telah membawanya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status