Share

Bab. 6

Erlangga terkejut. Ia hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya.

"Apa Papa serius? Bukankah berbahaya memberikan pernyataan seperti itu? Bukankah kita sudah berjuang agar mereka tidak bisa mendapatkanku? Semua itu akan berakhir sia-sia, Pa."

Prabujaya diam, senyum membingkai wajahnya. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan.

Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin terlihat berbahaya, tapi harus dilakukan sebelum ajal menjemputnya diusia tua.

"Apakah kamu sudah melupakan tujuanmu?"

Jakun Erlangga menggelinding. "Apa maksudnya?"

"Kamu akan segera mengetahui semuanya."

Erlangga berjalan cepat keluar dari kamar pribadi ayahnya.

Seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini adalah Daniel, asisten pribadi Prabujaya.

Erlangga menemukannya tengah duduk menyesap kopinya di ruang pantry.

"Apa yang Paman tahu? Aku ingin dengar semua."

Daniel tersedak hingga terbatuk saat tangan Erlangga mendarat di pundaknya dengan agak keras.

Dia menoleh pada Erlangga dengan pandangan bingung. Alisnya berkerut mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba.

Daniel membuka mulutnya lalu berkata, "Ingin mendengar apa?" tanyanya.

Ia menghela napas pelan. "Kenapa Papa tiba-tiba ingin semua orang tahu tentang siapa aku?"

Mendengar kata-katanya, Daniel mengedikkan bahunya. "Saya juga tidak tahu, Tuan Muda. Siapa yang bisa menebak isi pikirannya saat ini? Mungkin Tuan Besar hanya ingin semua orang mengakui keberadaan anda. Dengan begitu, tidak akan ada orang yang akan merendahkan anda lagi."

"Apa Paman serius? Bukankah ini malah berbahaya? Ini hanya akan memancing pembunuh itu untuk mendapatkanku," kata Erlangga dengan emosi tertahan.

"Apakah kalian sudah berhasil mendapatkan mereka? Apa mereka sudah ditangkap? Kenapa tak ada seorangpun yang memberi tahu aku tentang ini?" lanjut Erlangga.

Jantung Daniel berdetak. Ia menatap sepasang mata berkilau di sampingnya.

Ia tidak dapat berkata apa-apa selain kembali menyeruput sisa kopinya.

"Maaf, soal itu saya tidak bisa mengatakan apa-apa," katanya lalu bangkit berdiri dan membawa cangkir kosong itu ke dalam wastafel.

"Sebaiknya anda istirahat. Jangan lupakan jamuan makan malamnya. Saya permisi dulu."

Erlangga menatap kepergiannya. Daniel tampak sangat misterius baginya sejak pertama kali mereka bertemu.

Lelaki tua itu tampak baik, tetapi juga menyimpan sejuta rahasia di dalamnya.

Erlangga segera pergi meninggalkan pantry. Dan tujuan utamanya bukanlah kamar tidurnya, melainkan perkampungan kecil tempat tinggalnya dulu.

Masih ada banyak waktu sebelum acara itu digelar.

Erlangga pergi ditemani oleh pengawal setianya. Para pengawal yang bersedia mengorbankan hidup mereka demi dirinya dan popularitasnya.

Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan raya menuju ke sebuah perkampungan kecil. Erlangga masih mengingat tempat itu meski samar-samar.

Sedan itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah semi permanen dengan pagar kayu yang tampak baru.

Sepertinya pemiliknya telah merenovasi tempat itu.

Tak ada lagi garis polisi yang dulu pernah membatasi rumah itu. Bahkan catnya tampak baru dan segar.

"Rumah ini sudah ada pemiliknya," gumam Er pada dirinya. Sepasang mata obsidian miliknya mengintip dari jendela mobil.

"Ayo jalan! Bawa saya ke rumah kepala desa," titah Erlangga.

Mobil kembali melaju dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah permanen dengan halaman yang cukup luas.

Seorang wanita paruh baya keluar dari pintu depan, memandang Erlangga yang berdiri di depannya dengan seksama. Sepasang alisnya berkerut.

"Anak ini cari siapa, ya?" tanyanya dengan suara yang ramah.

Rona di wajah Er berubah sendu. Sebuah garis tipis melengkung di wajah. "Ibu tidak ingat saya?"

"Siapa, ya? Apa anak ini orang desa sini? Kok saya enggak pernah lihat, ya?" lontar wanita itu.

"Saya Erlangga, Bu."

Mendenganya membuat wanita itu menarik tubuh Erlangga lantas memeluknya erat. Tangannya menepuk punggungnya dengan lembut.

"Ya, Gusti ... ini kamu toh? Sudah lama sekali sejak kamu pergi dari rumah ini," ucap Bu Hasan penuh haru. Ia mengusap air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

Wanita itu menarik Erlangga untuk masuk. Buru-buru menuju dapur dan mengambilkan minum untuknya meski hanya air putih seadanya.

Bu Hasan terus melihatnya. Memperhatikan perubahan pada dirinya yang begitu jelas terlihat.

"Kamu sudah berubah sekarang, Er. Sudah enggak gendut lagi. Sekarang jadi cowok ganteng, kayak artis-artis ibukota."

Erlangga tersenyum kikuk, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Bu Hasan kembali membuka mulutnya dan mulai berkata, "Bagaimana kabarmu, Nak? Apa ayahmu tahu kalau kamu datang ke kampung ini? Sudah lama sekali sejak kamu dibawa paksa oleh mereka dari rumah ini."

Bu Hasan menarik napas panjang. Pikirannya menerawang jauh. "Andai saja Olivia masih hidup, mungkin ceritanya akan berbeda. Entah kamu akan bertemu dengan ayah kandungmu."

Ucapan itu menggema pelan di udara. Namun, terasa tajam menusuk hingga ke dasar.

Entah sadar atau tidak, tetapi berhasil membekukan waktu.

"Apa mereka berhasil menemukan pembunuh Mama, Bu?"

Bu Hasan berpaling, mendapatkan kesadarannya kembali. Ia kemudian menggeleng lemah.

"Mereka seperti hilang ditelan bumi. Ibu rasa, mereka berlindung di balik kekayaan mereka. Atau, mungkin saja ada campur tangan seseorang yang memiliki pengaruh besar."

***

"Tuan Muda, kita sudah sampai." Seorang pengawal membuka pintu belakang.

"Jangan katakan apapun tentang perjalanan kita hari ini!" Ucapan mendominasi Erlangga terdengar dingin.

Pengawal langsung mengangguk lalu melangkah di belakangnya ketika Erlangga memasuki rumah besar di Komplek River Villa.

Erlangga menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya memejam sementara otaknya terus memutar ingatan tentang percakapannya dengan Bu Hasan.

"Siapa? Siapa orang yang telah melindungi mereka selama ini?" gumam Erlangga sementara jemarinya menijat pelipisnya yang berdenyut.

Er menyentak napasnya kuat, dia tampak kacau.

Teka-teki kematian Olivia begitu sulit dipecahkan, bahkan oleh detektif swasta yang dia sewa secara diam-diam selama dua tahun terakhir.

"Sudah empat belas tahun ... sebenarnya dimana mereka bersembunyi? Sampai kapan pun, aku tidak akan melupakan wajah perempuan iblis itu. Dia harus membayar dosanya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status