Erlangga terkejut. Ia hampir tidak bisa mempercayai pendengarannya.
"Apa Papa serius? Bukankah berbahaya memberikan pernyataan seperti itu? Bukankah kita sudah berjuang agar mereka tidak bisa mendapatkanku? Semua itu akan berakhir sia-sia, Pa."Prabujaya diam, senyum membingkai wajahnya. Dia menyandarkan tubuhnya perlahan.Lelaki itu tahu apa yang dipikirkan olehnya. Mungkin terlihat berbahaya, tapi harus dilakukan sebelum ajal menjemputnya diusia tua."Apakah kamu sudah melupakan tujuanmu?"Jakun Erlangga menggelinding. "Apa maksudnya?""Kamu akan segera mengetahui semuanya."Erlangga berjalan cepat keluar dari kamar pribadi ayahnya.Seseorang yang sangat ingin dia temui saat ini adalah Daniel, asisten pribadi Prabujaya.Erlangga menemukannya tengah duduk menyesap kopinya di ruang pantry."Apa yang Paman tahu? Aku ingin dengar semua."Daniel tersedak hingga terbatuk saat tangan Erlangga mendarat di pundaknya dengan agak keras.Dia menoleh pada Erlangga dengan pandangan bingung. Alisnya berkerut mendengar pertanyaannya yang tiba-tiba.Daniel membuka mulutnya lalu berkata, "Ingin mendengar apa?" tanyanya.Ia menghela napas pelan. "Kenapa Papa tiba-tiba ingin semua orang tahu tentang siapa aku?"Mendengar kata-katanya, Daniel mengedikkan bahunya. "Saya juga tidak tahu, Tuan Muda. Siapa yang bisa menebak isi pikirannya saat ini? Mungkin Tuan Besar hanya ingin semua orang mengakui keberadaan anda. Dengan begitu, tidak akan ada orang yang akan merendahkan anda lagi.""Apa Paman serius? Bukankah ini malah berbahaya? Ini hanya akan memancing pembunuh itu untuk mendapatkanku," kata Erlangga dengan emosi tertahan."Apakah kalian sudah berhasil mendapatkan mereka? Apa mereka sudah ditangkap? Kenapa tak ada seorangpun yang memberi tahu aku tentang ini?" lanjut Erlangga.Jantung Daniel berdetak. Ia menatap sepasang mata berkilau di sampingnya.Ia tidak dapat berkata apa-apa selain kembali menyeruput sisa kopinya."Maaf, soal itu saya tidak bisa mengatakan apa-apa," katanya lalu bangkit berdiri dan membawa cangkir kosong itu ke dalam wastafel."Sebaiknya anda istirahat. Jangan lupakan jamuan makan malamnya. Saya permisi dulu."Erlangga menatap kepergiannya. Daniel tampak sangat misterius baginya sejak pertama kali mereka bertemu.Lelaki tua itu tampak baik, tetapi juga menyimpan sejuta rahasia di dalamnya.Erlangga segera pergi meninggalkan pantry. Dan tujuan utamanya bukanlah kamar tidurnya, melainkan perkampungan kecil tempat tinggalnya dulu.Masih ada banyak waktu sebelum acara itu digelar.Erlangga pergi ditemani oleh pengawal setianya. Para pengawal yang bersedia mengorbankan hidup mereka demi dirinya dan popularitasnya.Mobil sedan hitam melaju kencang di jalan raya menuju ke sebuah perkampungan kecil. Erlangga masih mengingat tempat itu meski samar-samar.Sedan itu akhirnya berhenti di depan sebuah rumah semi permanen dengan pagar kayu yang tampak baru.Sepertinya pemiliknya telah merenovasi tempat itu.Tak ada lagi garis polisi yang dulu pernah membatasi rumah itu. Bahkan catnya tampak baru dan segar."Rumah ini sudah ada pemiliknya," gumam Er pada dirinya. Sepasang mata obsidian miliknya mengintip dari jendela mobil."Ayo jalan! Bawa saya ke rumah kepala desa," titah Erlangga.Mobil kembali melaju dan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah permanen dengan halaman yang cukup luas.Seorang wanita paruh baya keluar dari pintu depan, memandang Erlangga yang berdiri di depannya dengan seksama. Sepasang alisnya berkerut."Anak ini cari siapa, ya?" tanyanya dengan suara yang ramah.Rona di wajah Er berubah sendu. Sebuah garis tipis melengkung di wajah. "Ibu tidak ingat saya?""Siapa, ya? Apa anak ini orang desa sini? Kok saya enggak pernah lihat, ya?" lontar wanita itu."Saya Erlangga, Bu."Mendenganya membuat wanita itu menarik tubuh Erlangga lantas memeluknya erat. Tangannya menepuk punggungnya dengan lembut."Ya, Gusti ... ini kamu toh? Sudah lama sekali sejak kamu pergi dari rumah ini," ucap Bu Hasan penuh haru. Ia mengusap air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.Wanita itu menarik Erlangga untuk masuk. Buru-buru menuju dapur dan mengambilkan minum untuknya meski hanya air putih seadanya.Bu Hasan terus melihatnya. Memperhatikan perubahan pada dirinya yang begitu jelas terlihat."Kamu sudah berubah sekarang, Er. Sudah enggak gendut lagi. Sekarang jadi cowok ganteng, kayak artis-artis ibukota."Erlangga tersenyum kikuk, tangannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal.Bu Hasan kembali membuka mulutnya dan mulai berkata, "Bagaimana kabarmu, Nak? Apa ayahmu tahu kalau kamu datang ke kampung ini? Sudah lama sekali sejak kamu dibawa paksa oleh mereka dari rumah ini."Bu Hasan menarik napas panjang. Pikirannya menerawang jauh. "Andai saja Olivia masih hidup, mungkin ceritanya akan berbeda. Entah kamu akan bertemu dengan ayah kandungmu."Ucapan itu menggema pelan di udara. Namun, terasa tajam menusuk hingga ke dasar.Entah sadar atau tidak, tetapi berhasil membekukan waktu."Apa mereka berhasil menemukan pembunuh Mama, Bu?"Bu Hasan berpaling, mendapatkan kesadarannya kembali. Ia kemudian menggeleng lemah."Mereka seperti hilang ditelan bumi. Ibu rasa, mereka berlindung di balik kekayaan mereka. Atau, mungkin saja ada campur tangan seseorang yang memiliki pengaruh besar."***"Tuan Muda, kita sudah sampai." Seorang pengawal membuka pintu belakang."Jangan katakan apapun tentang perjalanan kita hari ini!" Ucapan mendominasi Erlangga terdengar dingin.Pengawal langsung mengangguk lalu melangkah di belakangnya ketika Erlangga memasuki rumah besar di Komplek River Villa.Erlangga menjatuhkan tubuhnya di atas kasur. Matanya memejam sementara otaknya terus memutar ingatan tentang percakapannya dengan Bu Hasan."Siapa? Siapa orang yang telah melindungi mereka selama ini?" gumam Erlangga sementara jemarinya menijat pelipisnya yang berdenyut.Er menyentak napasnya kuat, dia tampak kacau.Teka-teki kematian Olivia begitu sulit dipecahkan, bahkan oleh detektif swasta yang dia sewa secara diam-diam selama dua tahun terakhir."Sudah empat belas tahun ... sebenarnya dimana mereka bersembunyi? Sampai kapan pun, aku tidak akan melupakan wajah perempuan iblis itu. Dia harus membayar dosanya!""Apa kau sudah dapatkan apa yang aku perintahkan padamu?" Prabujaya bertanya tanpa menoleh. Pria paruh baya itu terus berjalan menuju meja kerjanya.Asistennya, Daniel, mengikutinya dan berhenti tepat di depan meja kerja Prabujaya."Putri Ilham Samudera datang untuk mendengar hasil putusan pengadilan. Saya tidak tahu bagaimana dia bisa mengetahui kabar itu, tapi seseorang pasti telah memberi gadis itu informasi. Dan saya yakin ini adalah ulah Tuan Muda Erlangga," jawab Daniel tegas."Apa kau telah memeriksanya dengan jelas?" Ada tekanan di dalam suara Prabujaya."Tentu saja, Tuan. Saya bisa memastikan semua itu benar," jawab Daniel tegas. "Tapi ada hal yang lebih penting yang harus saya sampaikan. Ini mungkin sedikit mengejutkan, tapi anda harus mengetahuinya." Daniel berusaha memperjelas situasinya."Hal penting apa?" Raut wajah Prabujaya langsung berubah. Matanya menyipit tajam."Ternyata Tuan Muda telah beberapa kali bertemu dengan putri Ilham Samudera dan berusaha untuk mendekat
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Komplek River Villa.Erlangga terlihat turun dari kamarnya dengan pakaian rapi. Senyum di wajahnya mengembang, membuatnya terlihat menawan pagi ini.Hari ini sudah diputuskan bahwa Erlangga akan kembali ke perusahaan, melakukan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya. Tetapi haris ditinggalkan dengan setumpuk alasan yang cukup masuk akal.Er sudah bertekad untuk melupakan semua yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir. Namun, bukan berarti dia telah melupakan obsesinya untuk mendapatkan Viona. Gadis itu tetaplah menjadi maskot kemenangannya."Selamat pagi semuanya." Er menyapa semua orang di ruang makan. Wajahnya sangat cerah pagi ini, membuat Prabujaya berdehem pelan karenanya.Nyonya Helen yang berdiri tak jauh dari Prabujaya juga menatapnya heran penuh curiga. Rasanya sangat aneh dan sulit untuk dipercaya bahwa anak asuhnya akan berubah hanya dalam satu malam. Seakan-akan tidak pernah ada yang terjadi kepadanya."Ehem ... sepertin
"Bukankah Erlangga pergi ke persidangan hari ini? Untuk apa gadis itu mencarinya? Sejak kapan mereka dekat? Apa kau mengetahui sesuatu?"Nyonya Helen tidak berharap Prabujaya akan bertanya tentang hal itu padanyaMeski pria tua itu memaksanya untuk bicara, Nyonya Helen juga tidak tahu harus menjawab apa padanya."Saya juga tidak tahu, Tuan. Nona Viona hanya mengatakan ingin bicara dengan Tuan Muda. Tapi dia tidak menjelaskan alasannya. Bahkan saat saya memintanya pulang, dia menolaknya.""Apa mereka sudah bertemu tadi? Apa yang mereka bicarakan?""Maaf, Tuan ... saya tidak mendengarnya karena saat itu Tuan Muda minta untuk dibuatkan minuman hangat. Dan saat saya kembali, Nona Viona sudah pergi."Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut pria tua itu.Prabujaya tidak percaya sepenuhnya pada wanita itu, tetapi dia juga tidak dapat memaksanya untuk bicara sekarang."Apa Elangga ada di kamarnya?"Wanita itu mengangguk. "Ya, Tuan. Tuan Muda ada di kamarnya."Prabuajaya berdiri. Dia me
"Tuan Muda, boleh saya masuk?"Suara panggilan Nyonya Helen bergema diikuti oleh suara ketukan di pintu kamar Erlangga. Namun, tidak ada jawaban.Wanita paruh baya itu mendorong pintu kamarnya dengan lembut lalu masuk ke dalam kamar dengan hati-hati.Saat ini, Erlangga baru saja keluar dari kamar mandi dengan bertelanjang dada. Cuaca dingin ditambah suhu kamarnya yang dingin sama sekali tidak berpengaruh padanya.Dia mengeringkan rambutnya kemudian melempar handuk berwarna putih itu dengan asal di atas ranjang. Dan ketika Erlangga berbalik, dia terkesiap ketika melihat Nyonya Helen sedang berdiri menatapnya. Kehadiran Nyonya Helen di kamarnya membuat jantungnya berdegup kencang."Kapan ibu masuk? Kenapa tidak mengetuk pintu dulu?" "Saya sudah mengetuk tapi tidak ada jawaban. Karena khawatir, saya masuk untuk memeriksa," jawab Nyonya Helen.Er mengusap dadanya seraya menyentak napasnya kuat."Ada apa?" tanya Erlangga kesal."Saya hanya ingin bertanya untuk memastikan sesuatu. Apa and
"Apa kau melihat gadis tadi? Bukankah itu Viona, tunangan Rangga?" tanya Prabujaya. "Kenapa dia lari terburu-buru?"Daniel langsung menoleh ke belakang dan melihat gadis yang dimaksud oleh Prabujaya sedang berlari keluar rumah sambil menangis.Dia langsung mengenali gadis itu sebagai putri dari Ilham Samudera dan Delia."Itu memang Nona Viona, putri dari Tuan Ilham. Tapi untuk apa dia datang ke sini?" ucap Daniel. Dia mencoba menebak-nebak apa yang baru saja terjadi ketika mereka sedang tidak berada di rumah.Prabujaya menoleh pada asistennya sambil berkata, "Itu adalah tugas untukmu. Cari tahu apa yang terjadi pada gadis itu!""Baik, Tuan," jawab Daniel.Tanpa membuang waktu, Daniel segera meninggalkan rumah itu. Dia segera masuk ke dalam mobil dan mulai mengejar Viona yang telah berada cukup jauh di depan.Hujan lebat tak membatasi gadis itu untuk mengemudikan mobilnya. Suasana hatinya yang buruk telah menyulapnya menjadi raja jalanan secara mendadak.Viona dengan sengaja menyeret d
Ada apa? Untuk apa Ibu Helen menelponmu?""Ada wanita yang datang ke rumah mencari anda?""Wanita? Siapa?" Sepasang alis hitam milik Erlangga tertarik ketika keningnya berkerut."Entahlah, saya juga tidak tahu. Nyonya Helen tidak mengatakan apapun tadi."Erlangga memutar matanya, menebak-nebak sosok wanita yang sedang menunggu kedatangannya.Sejauh ini, Er hanya mengenal dua orang wanita saja sejak dirinya kembali ke negaranya."Sylvia? Tidak mungkin! Dia sama sekali belum mengetahui siapa aku sebenarnya. Bagaimana mungkin dia tahu aku tinggal di sana?" Erlangga berbicara pada dirinya sendiri."Apa mungkin wanita itu adalah Nona Viona?" celetuk Alex dari kursi depan.Pikiran Erlangga langsung teralihkan.Ketika mendengar Alex menyebut nama gadis itu, Erlangga teringat kembali pada percakapan antara dirinya dan Viona sehari sebelumnya.Er tidak menyangka, hati gadis itu akan tergerak karena perkataannya."Ayo, buruan! Kita harus tiba lebih dulu dari mereka. Aku tidak ingin Papa bertemu