Share

Bab 5

Daniel membawa Erlangga maju lalu pergi meninggalkannya sendirian bersama Tuannya..

Keduanya saling menatap nyaris tanpa kedip.

Hawa dingin seketika naik tajam menyelimuti kamar.

Erlangga menggigil seakan ditiup angin kutub. Tubuhnya gemetar hingga tak bisa digerakkan saat Lelaki tua di depannya maju selangkah demi selangkah.

Hingga akhirnya hanya menyisakan jarak dua langkah.

Erlangga mengangkat wajahnya tinggi.

"Siapa anda?" Erlangga berusaha mengumpulkan keberaniannya.

Pikirannya menebak-nebak apakah lelaki tua itu adalah ayahnya atau bukan.

Fitur wajahnya terpahat sempurna di bawah silau lampu kristal.

Tampan! Sayangnya dia tua.

Apa mungkin dia ayahnya? Erlangga menelan ludahnya.

"Apa kamu putra Olivia?" Suara bariton Prabujaya terdengar berat. Namun, wajahnya terlihat tenang tanpa ekspresi.

Erlangga mengangguk, tapi mulutnya terkunci.

"Berapa umurmu?"

"Sepuluh tahun," jawab Erlangga singkat.

Prabujaya diam beberapa saat.

Ia mengingat kenangan sebelas tahun silam ketika Olivia masih menjadi sekretarisnya.

Saat itu keduanya pergi keluar kota untuk memeriksa kondisi pabrik dan juga untuk memenuhi undangan makan malam dari klien perusahaan.

Siapa sangka, akibat terlalu banyak minum anggur membuat Prabujaya kehilangan akal sehatnya.

Namun, ia masih tak menyangka jika peristiwa pahit itu telah membuat Olivia mengandung darah dagingnya.

Dan bodohnya lagi, Prabujaya tidak pernah diberitahu hingga Olivia mengundurkan diri dari Prabujaya Industri.

Jakun Prabujaya tergelincir di tenggorokannya.

Erlangga melangkah mundur saat Prabujaya berlutut di depannya dan mengulurkan tangan untuk memeluknya.

"Kenapa? Apa kamu takut sama saya? Apakah kamu tidak tahu siapa saya?" Prabujaya merasa terkejut melihat reaksi penolakan Erlangga terhadapnya.

Erlangga menatapnya dalam-dalam sebelum mulai berbicara. "Apa anda Prabujaya?" Erlangga balik bertanya.

Mendengar ucapan anak kecil di depannya, mata Pramujaya menggelap. "Kenapa kamu bertanya seperti itu?"

Erlangga menghela napasnya. Jantungnya nyeri seperti diremas.

Dia berusaha menyebunyikan rasa takutnya lalu mulai bicara, "Itu karena aku tidak kenal anda. Mereka bilang Prabujaya adalah ayahku. Jika anda Prabujaya, itu berarti anda adalah ayahku Apa itu benar?"

Mendengar penjelasannya, bibir lelaki tua itu melengkung.

Dia tiidak habis pikir seorang anak usia sepuluh tahun dapat berbicara layaknya orang dewasa.

Bagaimana Olivia bisa mendidik putranya hingga begitu pintar saat berdebat dengannya.

Prabujaya penasaran, bagaimana ibu dan anak itu berkomunikasi.

Apakah anak ini juga suka berdebat dengan ibunya?

Apakah dia begitu keras kepala?

"Kenapa anda malah tersenyum? Asal anda tahu, senyum anda itu jelek!" keluh Erlangga. Sebagian keberaniannya telah kembali.

Sekejap mata Prabujaya membelalak. Wajahnya segera berubah merah. "Apa kamu ini anak nakal? Kenapa bicaramu tidak sopan pada orang tua? Apa kamu juga seperti ini pada ibumu?"

Erlangga mengerucutkan bibirnya kesal. "Jangan bawa-bawa Mamaku. Aku ini anak yang baik, asal tahu saja. Aku selalu membantu Mama dan tidak pernah membuatnya menangis," ucapnya geram sambil mendengus padanya.

Prabujaya metasa puas saat membuatnya marah seperti itu.

Dia menarik senyumnya lebar di wajahnya.

"Oke, oke, kamu memang anak yang baik," katanya sambil membujuk Erlangga, lalu melanjutkan, "Kalau gitu dengarkan baik-baik. Saya adalah Papa kamu, Papa kandung kamu. Papa bersalah karena tidak pernah datang mencari kamu dan Mamamu. Papa minta maaf. Itu karena Mama pergi jauh dan tidak pernah memberitahu Papa tentang kelahiranmu."

Prabujaya menjelaskan dengan perlahan. Dia berharap Erlangga dapat mengerti apa yang dia ucapkan padanya.

"Apa kamu paham?"

Erlangga menganggukkan kepala. Tatapannya mengunci mata gelap Prabujaya.

Saat keduanya berhadapan, wajah mereka sama persis seakan Erlangga adalah cetakan masa kecil Prabujaya.

Kecuali sepasang mata itu adalah milik Olivia, berkilau dingin layaknya kristal.

"Mulai sekarang kamu adalah tanggung jawab Papa, Er. Papa yang akan melindungi kamu dari orang-orang jahat itu. Papa enggak akan membiarkan mereka melukai kamu seperti Mama. Jadi ..." Wajah Prabujaya menunduk. Pikirannya bergejolak bertentangan dengan hatinya.

Prabujaya menarik Erlangga dalam pelukannya seakan tak rela untuk melepasnya pergi.

Erlangga hening. Dia terlihat bingung dengan reaksi Prabujaya.

"Ada apa?" gumamnya pelan. Erlangga melihat mata pria itu telah basah.

"Papa harus mengirim mu ke luar negeri untuk keselamatanmu. Berjanjilah, Er ... belajarlah dengan baik dan kembalilah sebagai orang sukses."

***

Empat belas tahun berlalu dengan cepat.

Sepasang kaki kokoh dan kuat melangkah tegas menuruni anak tangga pesawat.

Pria tampan itu akhirnya berhasil menjejakkan kakinya di bumi setelah perjalanan panjang.

Dia menghirup udara dalam-dalam hingga paru-parunya penuh lalu menghembuskannya dengan kuat.

Bayangan otot perutnya tercetak jelas di kemeja putihnya.

Empat lelaki berbadan kekar berotot berbaris mengekor di belakangnya.

"Selamat datang di tanah air, Tuan Muda." Sapaan hangat dari pria paruh baya menyambutnya.

Bibir Erlangga melengkung. "Terima kasih, Paman. Dimana Papaku?"

"Tuan Besar sudah menunggu anda di rumah utama. Akan ada pertemuan keluarga malam ini," jelas Daniel lalu kembali melanjutkan, "Ngomong-ngomong ... anda telah banyak berubah. Saya hampir tidak mengenali anda tadi," katanya jujur.

Erlangga hanya menanggapinya dengan tepukan di bahunya, senyum di bibirnya masih menggantung.

Daniel lalu membuka pintu belakang untuk Erlangga.

"Akan ada berita besar hari ini. Saya harap anda tetap bertahan untuk diam selama itu diperlukan," kata Daniel memperingatkan.

"Kenapa?"

"Anda akan segera mengetahuinya."

Suasana tegang menambah keheningan dalam mobil.

Iring-iringan mobil itu kini bergerak meninggalkan bandara.

Para pengawal mengikuti sedan hitam yang melaju kencang hingga mereka tiba di pelataran rumah utama setelah perjalanan selama satu jam.

Erlangga mendongak, menatap rumah besar bercat putih yang masih berdiri kokoh tanpa cela.

Tidak ada yang berubah sejak kedatangannya pertama kali sebelum akhirnya dia meninggalkan semuanya.

Erlangga berharap, Prabujaya juga akan tetap sama.

"Silahkan, Tuan Muda ..."

Erlangga berjalan tepat di belakang Daniel saat pria itu membawanya ke kamar pribadi Prabujaya.

Di dalam kamar, dia melihat dengan jelas ayahnya tengah terbaring sakit karena usia tua.

Lelaki itu hanya merasa sakit karena begitu merindukan putranya yang baru dia lihat pertama kali dan harus berpisah di hari yang sama.

Erlangga menoleh pada Daniel meminta penjelasan darinya.

"Tuan Besar sakit karena rindu pada anda." Daniel bergumam pelan, lalu pergi meninggalkan Erlangga.

Erlangga merasa hatinya tercabik.

Ini adalah kali kedua dia bertemu ayah kandungnya dan dia tidak ingin kehilangan pria itu seperti ibunya dulu.

Sudah cukup bertahun-tahun dirinya dihina karena tidak memiliki ayah dan sekarang mereka hanya berjarak lima kaki.

"Papa ..." Erlangga berlutut di samping ranjang dan memeluknya. "Erlangga sudah kembali, Pa," lanjutnya.

Wajahnya memerah dan matanya

berkaca-kaca.

Mendengar suaranya, Prabujaya membuka matanya lalu senyumnya melengkung.

"Selamat datang, Nak. Papa sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu? Apa semuanya baik-baik saja?" Prabujaya bangkit dari tidurnya, memeriksa tubuh Putranya dengan seksama.

"Papa, aku baik-baik saja."

"Tapi ... kenapa kamu lebih kurus sekarang? Apa kamu kurang makan? Apa uang yang Papa kirim tidak cukup untuk kebutuhanmu?" tanyanya cemas. Prabujaya tampak terkejut dengan perubahan fisik putranya.

"Tidak, tidak, bukan begitu. Aku hanya ingin hidup sehat dan punya tubuh yang bagus. Lagipula aku ini seorang model sekarang." Ia bisa melihat kecemasan di mata ayahnya.

"Apa? Model?" Kening Prabujaya berkerut.

"Iya. Bukankah Papa mengirimku begitu jauh untuk melindungiku? Aku lakukan ini juga untuk melindungi diriku sendiri."

Prabujaya memandang sepasang mata obsidian putranya yang tampak begitu dingin dan kelam.

Bibirnya terbuka sedikit. Namun, tak mengatakan apapun.

"Orang-orang mengenalku sebagai anak gendut yatim piatu yang sangat menyedihkan. Tak seorangpun dapat mengenaliku sekarang. Tidak dengan wajah dan tubuhku yang sekarang, Bahkan pembunuh itu juga tidak akan mengenali aku.". Ucapannya tegas dan dingin.

Tawa Prabujaya seketika menggema memenuhi kamar, membuat wajah Erlangga berkerut.

"Kamu memang pintar. Benar-benar anak Prabujaya Pamungkas."

Pria itu merasa tubuhnya kembali segar seakan -akan penyakitnya telah sembuh.

"Beristirahatlah. Malam ini akan ada jamuan makan malam besar. Aku akan umumkan pada semua orang bahwa putraku telah kembali."

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status