Meyra mendesah jengah menjadi semakin gusar karena mendapati lelaki yang baru dikenalnya dua hari itu memaksakan pertanyaan demi pertanyaan untuk dijawabnya.
“Mas Nehan tak ingin aku terlalu lelah karena sebentar lagi aku harus melanjutkan spesialisasiku. Dia tak mau konsentrasiku. Aku harus menyelesaikan kuliahku tepat waktu agar kami bisa segera kembali ke Indonesia dan tinggal di negeri asal kami, terlebih sekarang Mas Nehan sudah memulai usahanya di sana.”
“Iya, dengan dibantu oleh daddyku. Kamu tahu jika daddy melakukannya karena atas permintaan Tante Cyntia, maminya Nehan. Dia sangat ingin putra kesayangannya itu kembali bersamanya.”
Meyra mengernyit resah. Ia masih saja tak bisa menemukan korelasi atas apa yang sedang Kenrich sampaikan saat ini.
“Sebenarnya apa yang akan kamu katakan padaku? Kamu terdengar sedang menyudutkan Mas Nehan. Memangnya salah jika Om Sony memberikan bantuan pada suamiku, dan memangnya salah juga kalau mami meminta Om Sony membantu Mas Nehan?” sergah Meyra menjadi sangat terganggu.
”Kamu benar-benar tak menyadari apapun Mey?” tanya Kenrich lagi.
Meyra mendesah panjang sembari menggelengkan kepalanya.
Di saat ia merasa semakin pening memikirkan kata-kata Kenrich mendadak gawainya berbunyi yang segera Meyra raih demi bisa menerima panggilan dari sahabatnya yang sudah lama tak bisa ia hubungi.
Tentu saja Meyra sangat bersemangat menerima panggilan itu. Bahkan kini ia memilih pergi meninggalkan Kenrich yang masih menatapnya penuh arti.
[”Sekar, tumben kamu nelpon?”] tanya Meyra dengan sangat antusias menyapa sahabatnya sejak kecil itu yang pernah mendampinginya melewati masa-masa sulit ketika Meyra masih tinggal bersama ibunya yang pemadat.
[”Mey, kamu sedang nggak sibuk kan?”] tanya Sekar dari seberang sana.
Bagi Meyra suara sahabatnya itu terdengar agak luruh seperti memendam sebuah kesedihan yang masih menjadi misteri baginya.
[”Nggak, aku masih di Zurrich menunggu penerbanganku ke New York nanti malam. Kebetulan aku sedang sangat bosan menunggu, jadi aku senang sekali mendapati kamu nelpon. Kar, kedengerannya kamu lagi banyak pikiran, ada masalah apa nih? Cerita dong sama aku, biasanya kamu selalu cerita semuanya.”]
Sejenak terdengar suara tarikan nafas berat begitu jelas di telinga Meyra, semakin menegaskan pada Meyra jika sahabatnya itu tidak sedang baik-baik saja.
[”Mey, kamu tahu kan selama ini jika aku selalu menganggapmu sahabat terbaikku. Aku selalu berusaha membantumu, dan mendukungmu apapun itu. Kali ini apakah saat aku membutuhkan dukungan kamu, kamu mau mendukungku Mey?”]
Meyra mengernyit gelisah menjadi semakin penasaran dengan permasalahan yang sedang dihadapi sahabatnya saat ini.
[”Kamu kenapa? Apa persoalan dengan pamanmu lagi? Apa dia minta uang sama kamu lagi?”]
[”Tidak bukan itu, bahkan sekarang aku tinggal di tempat yang jauh lebih baik sekarang, aku sudah tak memusingkan uang lagi dan pamanku juga sudah mendapatkan apa yang ia mau.”]
[”Lantas apa persoalannya?”] tanya Meyra semakin tak mengerti.
[”Aku hanya ingin kamu tahu saja kalau sekarang aku sedang merasa sangat bersalah, tapi sungguh saat ini aku benar-benar tak memiliki pilihan lain, sedangkan apa yang aku putuskan sekarang sebenarnya adalah demi membalas budi pada seseorang yang sudah menyelamatkan aku dan memberikan aku banyak bantuan.”]
Meyra mulai menyergah jengah. Ia sangat tak suka jika sahabatnya itu tak berterus terang dengan gamblang padanya.
[”Kar, kamu membuat aku malah jadi penasaran. Katakan padaku kenapa kamu sekarang merasa bersalah?”] tanya Meyra mencecar.
Untuk beberapa lama masih tak terdengar jawaban dari seberang sana. Meyra malah sayup-sayup mendengar suara isak tertahan dari sahabatnya itu. Meyra menjadi sangat resah.
[”Mey, sampai kapanpun aku akan tetap menganggapmu sebagai sahabat terbaikku dan kuharap kamu juga akan tetap menganggapku seperti itu.”]
[”Kar, tunggu kamu masih belum mengatakan apapun padaku. Jawab dulu pertanyaanku Kar, kenapa kamu merasa bersalah dan kamu merasa bersalah sama siapa sih? Kamu jangan buat aku penasaran Kar,”] tegas Meyra menjadi tak sabar, ingin rasanya saat ini juga Meyra mendatangi sahabatnya itu mendampingi serta memaksanya untuk mengatakan semuanya.
Tapi nyatanya sebelum Meyra mendapatkan jawaban apapun mendadak sahabatnya itu sudah menutup sambungan telepon mereka. Dan ketika Meyra berusaha untuk menghubungi Sekar lagi, sahabatnya dari kecil itu sudah mematikan gawainya. Pembicaraan mereka benar-benar terputus sekarang.
Sembari mengernyit gusar memendam rasa penasaran, Meyra hanya bisa memandangi layar gawainya menelisik foto sahabatnya yang dijadikan profil panggilan.
”Kar, aku harap kamu bisa mengatasi masalahmu ini,” gumam Meyra bermonolog.
Meyra yang sekarang berada di dalam kamar yang ditempatinya di lantai atas akhirnya memutuskan untuk mengabaikan semua yang beban pikirannya setelah mendapatkan panggilan telepon dari sahabatnya.
Setelahnya wanita cantik itu memutuskan untuk mulai mengemasi barang-barangnya yang tersisa. Tapi ketika akan menutup kopornya mendadak gelang pemberian suaminya tersangkut ketika akan mengangkat kopor yang sudah ditutupnya. Tarikan yang tanpa sengaja dilakukannya malah membuat gelang itu putus.
Seketika Meyra mengambil gelang itu dengan hati yang mendadak digayuti sebuah firasat yang segera membuatnya teringat pada sang suami.
”Mas Nehan, kenapa aku merasa sesuatu sudah terjadi pada dia? Aku harus menghubunginya segera aku yakin dia pasti sudah sampai di Jakarta,” gumam Meyra berbicara pada dirinya sendiri sembari melirik pada jam tangannya.
Meyra mulai menghubungi suaminya. Tapi sampai beberapa lama masih tak ada sahutan. Meyra mulai menjadi sebegitu gusar. Ia tak tahu harus menghubungi siapa lagi. Sementara ia juga menjadi ragu untuk menghubungi ibu mertuanya karena yang Meyra tahu ibu mertuanya itu sedang sakit keras sekarang.
Akhirnya yang bisa dilakukan Meyra sekarang hanyalah berusaha mengenyahkan berbagai firasat buruk yang berkelindan di dalam pikirannya saat ini.
Segera Meyra simpan gelangnya yang putus itu dan ia kembali melanjutkan kegiatannya mengemasi semua barang serta membawa semua kopor itu ke bawah.
Meyra segera mendapatkan bantuan dari Kenrich ketika lelaki itu melihat Meyra agak kerepotan mengeluarkan dua kopor besar itu dari lantai atas.
”Kenapa kamu tak meminta bantuanku?” ucap Kenrich saat sudah mengambil alih semua kopor itu yang kemudian ia geret ke arah depan.
Meyra tak langsung menanggapi ucapan lelaki bersurai pirang itu, ia masih terseret dalam pikirannya sendiri dengan berbagai macam praduga berkelindan yang sekarang membuatnya terlalu gusar.
”Apa kamu mendapatkan kabar buruk?” tanya Kenrich ketika melihat ekspresi Meyra yang berubah luruh.
Meyra segera melirik pada Kenrich yang sedang memperhatikannya tapi kemudian mengedikkan bahu tipis.
”Memangnya siapa tadi yang menelponmu?” tanya Kenrich yang kembali mencecar Meyra yang sedang tampak sangat rapuh sekarang.
”Bukan siapa-siapa,” jawab Meyra yang sekarang sangat enggan berterus terang.
Meski Kenrich adalah sepupu suaminya tapi Meyra masih saja menganggap dia sosok yang asing yang ia pikir tak perlu tahu dengan apa yang bergelayut di dalam benaknya saat ini.
Tapi Kenrich malah menelisik Meyra semakin dalam.
”Kurasa aku tahu apa yang sedang kamu pikirkan sekarang,” tukas Kenrich sangat percaya diri dengan tatapannya yang dalam penuh arti.
”Kamu hanya akan menebakku saja,” sergah Meyra tidak suka.
”Bagaimana jika aku katakan sekarang kamu sedang memikirkan kata-kata sahabatmu?”
Sontak Meyra menyergap Kenrich dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
”Dari mana kamu tahu kalau tadi sahabatku yang menelpon?” tanya Meyra penuh selidik.
Kenrich bergeming masih dengan tatapannya yang lekat.
”Aku pikir aku sudah tahu semuanya yang sedang terjadi saat ini.”
Meyra mulai mengernyit bingung menjadi bertanya-tanya bagaimana Kenrich bisa mengetahui semuanya.
”Katakan padaku memangnya apa yang sedang terjadi saat ini?”
***
”Katakan apa yang sudah kamu ketahui? Jangan membuatku seperti orang bodoh,” sergah Meyra tegas dengan tatapan nyalang yang segera membuat Kenrich merasa sedikit tersudut. Meski pada akhirnya lelaki itu bisa kembali menampakkan sikapnya yang wajar dengan menyunggingkan segaris senyuman datar yang selalu tampak arogan di mata Meyra. ”Tak ada yang terjadi, tak ada apapun, aku hanya sembarangan menebak karena tadi aku sempat mendengar apa yang kalian bicarakan,” jawab Kenrich biasa. Meyra mengernyitkan dahinya masih merasa tak yakin dengan kejujuran Kenrich. ”Aku merasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tadi bahkan berbicara dengan memakai bahasa Indonesia dengan sahabatku itu, bagaimana kamu bisa tahu dengan apa yang kami bicarakan.” Kenrich mengangkat sebelah sudut bibirnya membentuk senyuman yang terlihat sarkas. ”Apa kamu pikir tak menguasai bahasa Indonesia?” Meyra menarik nafas panjang, rupanya ia salah duga. Bukankah Sony berasal dari Indonesia dan bisa dipastikan jika
Meyra menangkap sosok seseorang yang memakai baju bercorak flora tampak sedang melintas di belakang sang suami yang saat ini sedang duduk menerima panggilan video darinya. Ada sebuah keresahan yang kian menjalar di hati Meyra, mulai menyeret Meyra dalam praduga yang membuatnya semakin tidak tenang. Tapi nyatanya di seberang sana Meyra melihat wajah sang suami yang masih mengunggah sebuah ketenangan tanpa melirik sedikitpun ke belakang untuk melihat siapa sosok yang bersamanya saat ini. [”Siapa itu tadi Mas?”] tanya Meyra mengulangi pertanyaannya. [”Itu tadi mami, apa kamu ingin bicara dengan mami?”] tawar Nehan dengan cepat. [”Apa mami sekarang sudah benar-benar sehat?”] tanya Meyra lagi. Untuk beberapa hari ini ia masih belum bisa berbicara dengan ibu mertuanya karena Nehan selalu mengatakan jika ibunya sedang diharuskan untuk banyak beristirahat. Tapi ketika melihat sosok yang ia lihat sebentar dan hanya menunjukkan tubuh bagian bawah saja dengan memakai rok bermotif flora Mey
Kenrich malah mengedikkan bahunya dan mengunggah segaris senyum. Ingin rasanya ia mengungkapkan kekagumannya dengan gamblang tapi ia yakin apa yang dikatakannya itu hanya akan membuat semuanya rusak, yang hanya akan membuat wanita yang dikaguminya itu semakin menjaga jarak dan bersikap semakin waspada. ”Aku hanya ingin melihat caramu memasak,” ucap Kenrich tak sepenuhnya berterus terang. Meyra menipiskan bibir indahnya itu yang selalu ranum bagai kuncup mawar, malah menampakkan daya tarik yang semakin menggelisahkan seorang Kenrich yang masih saja tak berhenti memindainya. ”Apa kamu sudah begitu lapar hingga terus menungguku seperti ini?” Meyra sama sekali tak terseret dalam kecurigaan, ia masih menganggap wajar tatapan sepupu suaminya itu. Meyra berusaha memasak secepat kilat bukan demi menuruti lelaki bermata biru itu yang tampak kelaparan tapi agar bisa segera mengusir lelaki itu dari rumahnya, supaya ia bisa segera beristirahat karena saat ini ia menjadi sangat lelah setelah ak
Demi memenuhi rasa ingin tahunya Meyra segera membuka pintu. Kedua matanya membeliak ketika melihat sosok yang tak pernah diduganya kini berdiri di hadapannya dengan menyajikan segaris senyum sempurna yang membuat hatinya berbunga bahagia. ”Bunda!” seru Meyra sembari segera menghambur ke dalam pelukan sosok yang sudah merawatnya sejak bertahun-tahun silam sejak ibu kandungnya sendiri sudah tak bisa menjalankan peran sebagai ibu, dan beberapa saat setelah peristiwa yang menghancurkan hidupnya terjadi. Meyra merasakan pelukan bundanya terlalu erat seperti disertai sebuah perasaan yang teramat dalam yang untuk beberapa saat bahkan tak bisa Meyra eja. Tapi Meyra selalu merasa bahagia bila mendapati sosok yang selama ini sudah membesarkannya dengan penuh kasih sayang itu, membersamainya. Ketika akhirnya pelukan mereka terlepas, Meyra sempat melihat tetes bening di wajah sang bunda, meski wanita yang selalu berpenampilan elegan itu menghapusnya dengan cepat. Meyra kembali merasa ada sesu
Meyra semakin tak bisa mengenyahkan segala prasangka yang kini meraja di hatinya. Rasa rindu yang bersarang di hatinya membuat hatinya lebih sensitif. Dia yang biasanya selalu bisa tegar menghadapi apapun kini malah tak bisa menahan air matanya. Di saat ia berbaring sendirian seperti ini di dalam kamarnya, tanpa kehadiran sosok Nehan yang sangat dicintainya membuat wanita itu merapuh. Untuk beberapa saat Meyra membiarkan dirinya menangis. Sampai akhirnya ia merasa lelah dan mulai jatuh tertidur dengan sendirinya. Meyra terbangun saat alarm yang selalu dipasangnya itu berbunyi. Meyra memaksa tubuhnya yang masih terasa lelah itu untuk bangkit. Ia dipaksa dengan tuntutan kewajiban yang harus dilaksanakannya di rumah sakit. Setelah menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim, Meyra kemudian bergegas bersiap, dan pagi-pagi sekali ia sudah tampak rapi. Selanjutnya Meyra bergegas turun dari kamarnya untuk menuju dapur demi menyiapkan sarapan. Meyra sudah terbiasa untuk mengisi perutn
”Mas Nehan!” seru Meyra sangat antusias ketika mendapati sosok yang begitu ia rindukan sudah berdiri di ambang pintu dengan melemparkan segaris senyum lebar penuh aura kebahagiaan. Meyra sontak bangkit dan menghambur ke dalam pelukan sang suami. Untuk beberapa lama mereka saling berpelukan. Sementara Kenrich dan Rida hanya melihat mereka dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Setelah melepas rindu untuk beberapa saat mereka segera mendekat dan duduk di bersama di sofa ruang tamu. Meyra tak dapat menyembunyikan aura bahagia terus saja menempel pada sang suami, masih merasakan rindunya yang sangat menggebu. Tapi kemudian suasana malah menjadi hening. Meyra menjadi tak mengerti mengapa sekarang bundanya malah menatap pada suaminya dengan tatapannya yang begitu tegas, bahkan juga Kenrich yang sekarang bersikap acuh di hadapan Nehan. Meyra sama sekali tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi di antara mereka semua saat ini. Ada sesuatu yang luput dari perhatiannya hingga membuat Me
Untuk beberapa saat Nehan menentang tatapan mertuanya. Sementara Meyra semakin gelisah menyaksikan semua itu. Ia semakin bisa merasakan bahwa sesuatu sedang terjadi di antara mereka sekarang. Tapi mereka masih saja tak mengatakan apapun pada Meyra. ”Katakan ada apa sebenarnya? Apa yang kalian sembunyikan dariku sekarang?” Meyra mengunggah rasa ingin tahunya dengan lugas. Nehan dan Rida kembali berpandangan meski kemudian mereka kembali memalingkan wajah. Tapi kemudian Rida memilih bangkit dari duduknya dan melangkah begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Meyra sontak mengalihkan tatapannya pada sang suami. ”Katakan Mas apa yang sedang kalian sembunyikan?” Nehan terdiam sesaat lalu menarik nafas panjang. ”Kurasa semua ini hanya sebuah salah paham. Bunda tak bisa melihatku terus meninggalkan kamu, mungkin itu yang menjadi alasan beliau bersikap seperti ini.” Meyra mengernyitkan dahinya sesaat memandang wajah sang suami dengan sangat lekat. Meyra tak menemukan sesuatu y
Meyra sontak mengernyitkan keningnya ketika mendengar pertanyaan Kenrich yang membuat hatinya segera dihinggapi bermacam praduga. Tapi nyatanya setelah itu Kenrich malah terkekeh panjang. ”Aku rasa sekarang kamu memiliki sejuta alasan untuk mencurigai suamimu,” timpal Kenrich ringan. Meyra mendesah jengah. ”Kamu sudah membuat berpikir buruk pada suamiku.” Setelah itu Kenrich malah menatap wanita cantik yang sedang duduk di hadapannya itu. ”Apa kamu tidak lelah menjalani pernikahan yang semacam ini?” Meyra dengan tegas menggeleng. ”Kamu tak berhak untuk berkomentar mengenai pernikahan kami meski kamu adalah saudara sepupu suamiku.” Meyra semakin menegaskan tatapannya. ”Lagipula sebentar lagi kami akan bersama-sama lagi setelah aku kembali ke tanah air.” ”Jadi kamu akan benar-benar kembali ke Jakarta?” tanya Kenrich terdengar tak yakin. Meyra mengernyit gusar. ”Tentu saja aku harus kembali agar kami bisa kembali bersama-sama lagi.” Kenrich kemudian malah mendesah panjang da