Home / Fantasi / DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate / Mengapa Pulang Kerja Itu Seharusnya Jangan Kelayapan

Share

Mengapa Pulang Kerja Itu Seharusnya Jangan Kelayapan

Author: Gru
last update Last Updated: 2021-10-31 18:33:14

“Iya, iya. Besok kutransfer pas libur.” Aku berdecak dan mengecek arloji entah untuk yang keberapa kali. Seberapa lama sih nih orang pengen teleponan?

Tapi ..., beneran, ‘kan, kamu gapapa?

Enggak apa-apa? Yang benar saja.

Di sini aku juga kesulitan, tahu.

Tiap bulan cuma dapat gaji pas-pasan, tidur tak teratur, lembur jalan terus, sewa apartemen selangit, dan bos jelek mata keranjang tak tahu diri itu selalu melihatku dengan tatapan yang bikin aku tak nyaman.

Akan tetapi, aku cuma menghela napas gelisah. “Iya, gak apa-apa, kok.”

Sejenak berikutnya, panggilan itu dijeda oleh keheningan panjang. Apa sudah ditutup kali ya? Namun, ketika akan kucek, Ibu bersuara lagi.

Nad, Ibu minta maaf ya. Harusnya Ibu sama Ayah ikut bahagiain kamu, ikut bantu-bantu kamu, tapi malah kita yang ngerepotin. Ibu sama Ayah gak pernah ngasih apa yang kamu mau, tapi kamu sekarang kesusahan karena kita.” Suara Ibu menggantung sebentar, ketika akhirnya keluar, gemanya bergetar. “Tapi Ibu gak tau mau minta tolong ke siapa lagi. Ibu janji, Ibu janji ini yang ter—”

“Apaan, sih, kok pake minta maaf segala?” Buat mood jadi buruk saja. Dipikirnya aku jauh-jauh merantau ke sini secara sukarela? Dipikirnya aku banting tulang dan memutar otak lebih dari empat puluh jam seminggu karena iseng?

“Udah ya. Aku capek. Mau istirahat. Udah malem juga.” Aku tak bisa menahan perasaan sesak ini lebih lama lagi, soalnya.

Jangan begadang. Inget! Jaga kesehatan kamu! Jangan keluyuran lagi juga. Ini udah malem!”

“Bu, aku ini bukan anak kecil lagi, tau.”

Ya udah, Ibu tutup, ya,” gumam Ibu dengan nada sesendu dan selembut yang kuingat. Yang kudengar selanjutya adalah dering statis putus-putus tanda panggilan berakhir.

Aku menjauhkan ponsel dan memijat kepalaku yang makin malam makin pening.

Dasar dua orang tak berguna! Kalau sudah tahu cuma menyusahkanku, setidaknya lakukan sesuatu, dong.

Bahkan sejak aku kecil, Ibu dan Ayah cuma bisa mengeluh, meratapi kenapa mereka berakhir menjadi orang serba kekurangan secara ekonomis. Menganggap diri terlalu tua untuk menciptakan sesuatu, tapi juga terlalu awal untuk melakukan sesuatu.

Hingga sekarang. Menjelma bak parasit lemah yang cuma bisa mengemis. Golongan terhina yang selalu bergantung pada orang lain.

Aku benci mereka.

Aku tak ingin mereka jadi seperti itu.

“Woi! Udah selesai belom? Boker aja lama betul.” Pintu tempatku bersemedi digedor-gedor keras, sebuah suara feminim dengan nada yang ditinggikan dengan sok mengudara.

Aku bangkit dan membuka pintu perlahan-lahan—sengaja. Menatap satu per satu remaja-remaja perempuan dengan dandanan menor di depanku ini. Jumlah mereka tiga orang, masih mengenakan seragam SMA, dan berumur kisaran tujuh belas.

“Minggir dong, Tante. Gue juga mau pake toiletnya.” Salah satu gadis yang rambutnya dikuncir kuda tiba-tiba saja mendorongku kuat ke samping hingga aku hampir terjerembab.

Sialan! Apa-apaan, sih, kelakuannya barusan?

Dan apa tadi panggilannya kepadaku? Tante? Enggak terbalik? Enggak lihat apa muka halus tanpa cela hasil perawatan rutin mingguan ini?

Bukannya menegur karena berlaku tak pantas, kedua gadis lain malah cekikikan geli.

Suasana ini entah kenapa bikin aku nostalgia.

Dipojokkan di toilet, dipandangi dengan tatapan setengah jijik setengah mencemooh.

Ah, sial! Kenapa pula di saat seperti ini aku malah ingat masa lalu?

Mood-ku jadi tambah buruk.

Kalau lama-lama di sini, aku khawatir bakal ‘meledak’ dan melakukan hal yang mungkin akan kusesali.

Jadilah aku beranjak pergi dengan perasaan yang—berusaha dibuat—lapang dada.

Kondisi lantai utama masih hingar-bingar seperti ketika aku meninggalkannya. Musik berdentam-dentum bising, lusinan orang berdesak-desakan dalam euforia semu, wangi manis-menyengat alkohol membekap udara.

Aku berjalan ke meja tender dan tersenyum begitu orang favoritku di sini sudah datang. “Rendi …,” sapaku antusias.

Pemuda itu berhenti membersihkan gelas dan mendongak dengan kikuk. “E-eh, Mbak Nadia. Apa kabar?”

Aku selalu suka bagaimana dia selalu berusaha berpaling tiap kali kami akan beradu tatap. Seakan aku adalah sesuatu yang menggangu dan patut dihindari. Sesuatu yang cukup menyeramkan untuk ditakuti dan dihormati.

Aku jadi teringat sama bosku di kantor. Apa dia ngerasain perasaan menyenangkan yang sama ya ketika melihat aku terintimidasi begini? “Ren. Aku mau curhat, dong ….”

Rendi menatapku ragu, lalu melihat rekan kerjanya yang cuma menunjukkan jempol sambil tersenyum jahil. “Em. Curhat apa, Mbak?” Dia membawa sebuah botol Gin dan menuangkannya ke gelasku yang sudah kosong.

Aku mengambil satu tegukan, pelan.

Membiarkan cairan itu membasahi tenggorokan dalam limpahan harmonika rasa antara masam, manis, dan sensasi membakar.

Ketika sudah sampai kerongkongan, kepalaku langsung jadi ringan.

“Masa kan ya, tau gak sih tuh Tua Bangka Resek yang kuceritain kemaren?”

Rendi mengangguk-angguk ragu.

Aku juga sejenak jadi malas memikirkannya. Stress dan kemarahan terpendamku kembali, tapi aku di sini memang untuk menumpahkan semuanya. “Dia liatin aku terus-terusan lagi. Aku lagi duduk diliatin, lagi jalan diliatin, lagi ngobrol sama klien diliatin. Sewaktu istirahat, pas kukira akhirnya bisa lepas dari dia, you know what? Eh dianya malah ngajak aku makan bareng.”

Aku meringis ketika membayangkan kejadian beberapa jam lalu itu.

“Ya udah, kenapa gak diiyain aja?” Yuda tiba-tiba menginterupsi. Dia adalah kawan sekampusku dulu sekaligus pemilik tempat ini. Dengan ciri khas berupa mata tajam kekuningan mirip hyena lapar yang kejam, aku heran bagaimana Rendi yang kalem dan imut ini bisa betah bekerja di tempat macam sarang macan begini.

“Ck! Ngotak dong. Dia tua bangka gitu. Napasnya bau. Mata keranjang. Ngomong suka sembarangan—”

“Tapi berduit, ‘kan?”

Aku pandangin mata Yuda lekat-lekat. Hih! Nih orang, ya, dari dulu memang suka bikin jengkel. “Heh! Kamu kira aku wanita macem apa, hm?”

Yuda malah menunjukkan muka malas, menunduk sebentar, dan kembali berdiri setelahnya sambil menunjukkan buku kecil penuh catatan angka-angka yang makin membuatku pusing

“Apa ini?”

“Kasbonmu, Mbak,” jawab Yuda sarkastis. “Pertama kali waktu lo dateng ke sini, nangis-nangis bilang gaji belom turun; terus lupa bawa dompet; terus pas gue ulang tahun dan lo mohon-mohon minta traktir.”

Aku berhenti membaca dan kontan mengernyit. “Ya ampun, Yuda. Itu yang traktiran kamu masukin juga?”

Yuda cuma mengedikkan bahu acuh tak acuh dan malah mengambil gelas lain untuk dibersihkan.

“Kelewatan banget lo ya!” Aku berdecak dan memukul meja.

Seisi ruangan seketika jadi hening, semua orang langsung memperhatikanku. Aku tahu kemarahan barusan itu konyol—Yuda emang bajingan, tapi kadang dia cuma bercanda (meski bercandanya seringnya keterlaluan).

Akan tetapi, saat itu rasanya pikiranku berkabut; berat; dan sukar dikendalikan. Bahkan gerak selanjutnya yang kulakukan benar-benar mengejutkanku.

Aku merogoh dompet dari dalam tas dan menarik satu per satu lembaran uang seratus ribuan.

Berapa, sih, hutangku katanya tadi, hah? Cowok matre, dasar. Sama teman saja perhitungan.

“Nih!” Aku lempar uang-uang itu tepat ke muka Yuda, berbalik badan, dan melengang pergi.

Sehabis dengar kata-kata keterlaluannya tadi, aku jadi muak berlama-lama di sini.

“E-eh, Mbak mau ke mana?”

Aku menoleh sesaat, menatap Rendi yang kelabakan. Sudah kuduga. Tampangnya makin manis kalau kesusahan. “Dadah, Ren. Semoga kita bisa ketemu lagi lain waktu.” Bersamaan dengan itu, aku membanting pintu bar dan pergi jauh-jauh dari sana.

Di luar, suasanya juga ramai. Klakson bersahutan. Lampu-lampu lalu linta berkelap-kelip kontras dengan rembulan. Angin membelai kulitku seperti sebentuk sayatan beku.

Hih! Dingin sekali!

Seharusnya aku pakai baju yang lebih tebal tadi. Ah, tapi pakaian tebal itu lebih mahal, dan aku juga lagi susah uang.

Ah! Uang! Benar. Aku kan lagi krisis, mana sisa gajiku mesti ditransfer lagi besok ke Ibu.

Kenapa aku malah serahkan uang tadi secara cuma-cuma ke Yuda, sih?

Goblok! Bego! Bego!

“Udah, Neng. Tunggu sini aja dulu. Temennya juga pasti masih lama. Nih ditemenin kita-kita. Tenang aja, kita gak gigit, kok.”

Aku berhenti sejenak begitu mendengar suara itu. Ketika menoleh, tepat di pojok gang sempit sana di mana cahaya menjadi super-remang, nampak tiga siluet besar yang memojokkan satu siluet kecil.

Ketika makin dekat, makin jelas pula aku bisa memperhatikan mereka. Di sana ada tiga pria dengan tampang awut-awutan—jelek secara universal, pakaian compang-camping, cungkring, dan sempoyongan—tengah mengapit seorang gadis berseragam SMA yang pasang tampang ketakutan.

Gadis itu nampak melawan, secara halus. Namun, ketiga pria itu justru bertindak agresif.

Sudah tak tertolong lagi. Gadis itu sudah tamat.

Gadis malang.

Oh iya, apa yang kupikirkan tadi?

Ah, benar. Soal gajiku.

Argghh!

Makin dipikir, kepalaku makin berat. Rasanya aku cuma minum beberapa gelas—biasanya aku bahkan bisa tahan sampai dua botol.

“Woi!”

Ck! Kalau mau melakukannya itu lakukan yang tenang, dong, Preman Bajingan. Dikiranya ini jalan punya neneknya?

“Balik gak lo ke sini!” Terdengar suara pria itu lagi. Makin kuat, makin marah, dan … makin dekat?

Tunggu. Aku juga dengar derap langkah kaki yang terburu-buru. Bukan cuma satu, tapi dua; tiga; empat.

Jangan-jangan …

Ketika aku berbalik untuk memastikan keadaan, tubuhku yang sudah sempoyongan ditabrak hingga jatuh.

Saat itu lampu hijau masih menyala. Lalu lintas sibuk dilalui oleh mobil-mobil berat berkecepatan tinggi.

Aku terjembab di tengah jalan raya.

Tak punya tenaga untuk bangkit.

Lampu sen menyorot tajam dari kanan dan kiriku. Kendaraan beroda empat melaju dari dua arah, mengimpit dan siap menghancurkan sekujur tubuhku.

Hal yang terakhir kuingat adalah suara sirene yang nyaring. Lalu tatapan gadis berseragam SMA itu. Tatapan tak percaya, kecewa, marah, sekaligus kepuasan ganjil.

Lalu semuaya jadi gelap.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [ZACK] Di Ujung Dunia

    Percaya atau enggak, semua ini bener-bener di luar kendali.Aku juga ngira aku bakal mati kala itu.Emang pastinya bakal ada serangan.Di antara daerah lain, penjagaan kami hampir serapuh tahu. Bahkan cuma dengan dua puluh orang terlatih, kastil ini akan langsung jatuh.Tapi, ya … enggak secepat itu, setan.Mana, ketika mereka datang, mereka bawa satu pasukan penuh pula.Kira-kira jumlahnya ada sekitar dua belas ribu orang. Bersenjata lengkap. Armor mengilap. Bahkan ada artileri.Upaya yang sia-sia untuk menyerbu kastil enggak berharga.Padahal, kalau mereka minta aku nyerah baik-baik, bakal langsung kulakukan.api, orang-orang ini punya pemikiran aneh tentang musuhnya. Bahwa kami dianggap sebagai perwujudan setan yang mesti dibasmi, diperkosa, dibantai hingga musnah dan menjamin kemenangan.Maka, sembari menunggu mana pilihan paling pas yang bakal kudapat, aku mendapat kemuliaan untuk ngehuni penjara bawah tanah.Aku pernah ke sini sekali.Kala itu lebih ramai.Ada si Wilson tolol it

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Pertama dan Terakhir

    Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini buka

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Semuanya Enggak Penting

    Sejak awal ini konyol. Bilangnya udah enggak seperti dulu lagi, tapi apa yang kulakuin di sini? Terjebak dalam dunia khayal tempat seharusnya aku enggak berada. Aku lebih penasaran, seberapa lama samaran murahan ini bakal bertahan. Maksudku, cuma selembar kain hitam bertudung yang dari bagian bahu hingga lengannnya koyak-koyak, bukannya kami bakal langsung dicurigain. Lagi, si Jeanette tolol ini juga gak nyiapin aku alas kaki. Apa dia enggak mempertimbangkan semua ini? Kayaknya aku terlalu berharap banyak. Pada akhirnya, meski dijulukin pahlawan dan penjahat perang—tergantung dari mana kau dengernya—nih cewek masih remaja. Pribadi berpikiran sempit yang punya semangat sekonyol orang pengidap gangguan jiwa. Selain prajurit, aku nyaksiin demonstrasi. Kumpulan massa dari para rakyat jelata dengan proporsi tubuh abnormal yang mendengarkan ceramah orang-orang teler. Orang-orang teler yang mengatakan ‘kebenaran’. “Negeri ini udah dikutuk di hari pertama Pengkhianat itu diangkat

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [JEANETTE] Enggak Ada Lagi yang Tersisa

    `“Itu gak mungkin.”Bard sepertinya yang paling mengerti. “Aku tau dia temanmu, tapi … orang-orang akan selalu berubah, hingga pada titikk yan gak bisa kau kenalin.”Banyak yang bilang itu kabar angin, tapi berdasarkan pengalmanku dari berbagai sisi, itu merupakan kebenaran yang cuma dilebih-lebihkanEntah di bagian mananya, tapi hanya ada satu simpulan: banyak orang mati di Ibukota.“Aku mau keluar cari angin dulu.”Yang lain menanggapi dalam bungkam.Mengerti apa yang kurasakan.Sejak hari itu, aku udah berjanji.Pada diri sendiri, bahwa mulai sekarang aku bakal nyiptain ‘perubahan’.Tapi, bukan seperti yang dikehendaki Brown dan kawanannya.Visi mereka terlalu liar, brutal, dan tak manusiawi.Oh, tentu aku dengar soal mereka juga.Tentang gaung revolusi yang diserukan seluruh penjuru negeri.Mereka bahkan berani bawa-bawa nama Dia Yang Menguasai Langit dan Bumi. Menyebut kampaye kekerasan itu sebagai Perang Suci.Itu keterlaluan. Itu mesti kuhentikan.Tapi, tidak secara langsung.Be

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Kapal Karam

    Malam udah begitu larut ketika akhirya kami bertatap mukaDevon nampak jauh lebih murug dari sebelumnya.Dqan enggak mau repot-repot untuk membuak pembicaraan.Jadilah mesti aku yang mengeluarkan suara duluan. “Boleh aku tidur bersama? Untuk hari ini?”“Ada esuatu yang terjadi?”“Aku mimpi buruk.Setelah beragam pertimbangan bisu dan sesi tatap-tatapan memuakkan yang berasa terjadi setahun, Devon akhirnya ngangguIsi dalamnya gak jauh beda dengan bilik pribadi yang kusinggahi.Kasur raksasa berkelambu.Lemari mahoni yang tingginya satu setengah kali manusia dewasa. Tapestri dan pernak-pernik keemasan yang menghiasi segenap dinding.Hanya aja semuanya tersamarkan oleh benderang lampu yang begitu redup. Melebur dalam kerlap-kerlip yang justru menciptakan suasana yang lebih menenangkan dan damai.Kayaknya emang isi kamar itu mencerminkan kepribadian seseorang.“Perlu saya hidupkan lampunya?”Aku menggeleng pelanDevon ngangguk. Kaku.Atau cuma aku yang berpikir demikian?Dengar.Ini bukan

  • DEVIL QUEEN: Journey as Villainess's Subordinate   [RACHEL] Kabar Bahagia

    “Nyamankan dirimu sendiri, Rachel. Enggak usah terlalu tegang begitu. Aku enggak bakal nyakitin kamu atau gimana, kok. Gimana pun, kita ini temen lama, bukan?”Ya? Kalau begitu, biarkan kudaratkan satu pukulan paling kuat yang kubisa ke wajah bodohmu itu.Mungkin, setelahnya, aku jadi enggak terlalu gugup lagi.Karena gimana ya …Belum ada tiga hari sejak kedatangan bajingan-bajingan asing ini, dan mereka udah memperlakukan istana bak rumah sendiri.Kamar-kamar tamu ditempati sembarangan.Barak dan persenjataan dikuasai.Tentara-tentara yang tersisa dilucuti—alasannya sih untuk ngehindari kekerasan yang enggak perlu.Itu dalih tolol—atau mungkin enggak?Entahlah.Karena, terlepas dari info ini valid atau enggak, jumlah pasukannya enggak kurang dari 15 ribu.Membanjiri kota dengan intimdasi dan todongan yang dibalut dengan begitu manis hingga nampak seperti persembahan yang menarik.Apa salah satu di antara mereka ada yang punya kemampuan memgendalikan pikiran, ya?Makudku, mengubah per

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status