Share

Mengapa Pulang Kerja Itu Seharusnya Jangan Kelayapan

“Iya, iya. Besok kutransfer pas libur.” Aku berdecak dan mengecek arloji entah untuk yang keberapa kali. Seberapa lama sih nih orang pengen teleponan?

Tapi ..., beneran, ‘kan, kamu gapapa?

Enggak apa-apa? Yang benar saja.

Di sini aku juga kesulitan, tahu.

Tiap bulan cuma dapat gaji pas-pasan, tidur tak teratur, lembur jalan terus, sewa apartemen selangit, dan bos jelek mata keranjang tak tahu diri itu selalu melihatku dengan tatapan yang bikin aku tak nyaman.

Akan tetapi, aku cuma menghela napas gelisah. “Iya, gak apa-apa, kok.”

Sejenak berikutnya, panggilan itu dijeda oleh keheningan panjang. Apa sudah ditutup kali ya? Namun, ketika akan kucek, Ibu bersuara lagi.

Nad, Ibu minta maaf ya. Harusnya Ibu sama Ayah ikut bahagiain kamu, ikut bantu-bantu kamu, tapi malah kita yang ngerepotin. Ibu sama Ayah gak pernah ngasih apa yang kamu mau, tapi kamu sekarang kesusahan karena kita.” Suara Ibu menggantung sebentar, ketika akhirnya keluar, gemanya bergetar. “Tapi Ibu gak tau mau minta tolong ke siapa lagi. Ibu janji, Ibu janji ini yang ter—”

“Apaan, sih, kok pake minta maaf segala?” Buat mood jadi buruk saja. Dipikirnya aku jauh-jauh merantau ke sini secara sukarela? Dipikirnya aku banting tulang dan memutar otak lebih dari empat puluh jam seminggu karena iseng?

“Udah ya. Aku capek. Mau istirahat. Udah malem juga.” Aku tak bisa menahan perasaan sesak ini lebih lama lagi, soalnya.

Jangan begadang. Inget! Jaga kesehatan kamu! Jangan keluyuran lagi juga. Ini udah malem!”

“Bu, aku ini bukan anak kecil lagi, tau.”

Ya udah, Ibu tutup, ya,” gumam Ibu dengan nada sesendu dan selembut yang kuingat. Yang kudengar selanjutya adalah dering statis putus-putus tanda panggilan berakhir.

Aku menjauhkan ponsel dan memijat kepalaku yang makin malam makin pening.

Dasar dua orang tak berguna! Kalau sudah tahu cuma menyusahkanku, setidaknya lakukan sesuatu, dong.

Bahkan sejak aku kecil, Ibu dan Ayah cuma bisa mengeluh, meratapi kenapa mereka berakhir menjadi orang serba kekurangan secara ekonomis. Menganggap diri terlalu tua untuk menciptakan sesuatu, tapi juga terlalu awal untuk melakukan sesuatu.

Hingga sekarang. Menjelma bak parasit lemah yang cuma bisa mengemis. Golongan terhina yang selalu bergantung pada orang lain.

Aku benci mereka.

Aku tak ingin mereka jadi seperti itu.

“Woi! Udah selesai belom? Boker aja lama betul.” Pintu tempatku bersemedi digedor-gedor keras, sebuah suara feminim dengan nada yang ditinggikan dengan sok mengudara.

Aku bangkit dan membuka pintu perlahan-lahan—sengaja. Menatap satu per satu remaja-remaja perempuan dengan dandanan menor di depanku ini. Jumlah mereka tiga orang, masih mengenakan seragam SMA, dan berumur kisaran tujuh belas.

“Minggir dong, Tante. Gue juga mau pake toiletnya.” Salah satu gadis yang rambutnya dikuncir kuda tiba-tiba saja mendorongku kuat ke samping hingga aku hampir terjerembab.

Sialan! Apa-apaan, sih, kelakuannya barusan?

Dan apa tadi panggilannya kepadaku? Tante? Enggak terbalik? Enggak lihat apa muka halus tanpa cela hasil perawatan rutin mingguan ini?

Bukannya menegur karena berlaku tak pantas, kedua gadis lain malah cekikikan geli.

Suasana ini entah kenapa bikin aku nostalgia.

Dipojokkan di toilet, dipandangi dengan tatapan setengah jijik setengah mencemooh.

Ah, sial! Kenapa pula di saat seperti ini aku malah ingat masa lalu?

Mood-ku jadi tambah buruk.

Kalau lama-lama di sini, aku khawatir bakal ‘meledak’ dan melakukan hal yang mungkin akan kusesali.

Jadilah aku beranjak pergi dengan perasaan yang—berusaha dibuat—lapang dada.

Kondisi lantai utama masih hingar-bingar seperti ketika aku meninggalkannya. Musik berdentam-dentum bising, lusinan orang berdesak-desakan dalam euforia semu, wangi manis-menyengat alkohol membekap udara.

Aku berjalan ke meja tender dan tersenyum begitu orang favoritku di sini sudah datang. “Rendi …,” sapaku antusias.

Pemuda itu berhenti membersihkan gelas dan mendongak dengan kikuk. “E-eh, Mbak Nadia. Apa kabar?”

Aku selalu suka bagaimana dia selalu berusaha berpaling tiap kali kami akan beradu tatap. Seakan aku adalah sesuatu yang menggangu dan patut dihindari. Sesuatu yang cukup menyeramkan untuk ditakuti dan dihormati.

Aku jadi teringat sama bosku di kantor. Apa dia ngerasain perasaan menyenangkan yang sama ya ketika melihat aku terintimidasi begini? “Ren. Aku mau curhat, dong ….”

Rendi menatapku ragu, lalu melihat rekan kerjanya yang cuma menunjukkan jempol sambil tersenyum jahil. “Em. Curhat apa, Mbak?” Dia membawa sebuah botol Gin dan menuangkannya ke gelasku yang sudah kosong.

Aku mengambil satu tegukan, pelan.

Membiarkan cairan itu membasahi tenggorokan dalam limpahan harmonika rasa antara masam, manis, dan sensasi membakar.

Ketika sudah sampai kerongkongan, kepalaku langsung jadi ringan.

“Masa kan ya, tau gak sih tuh Tua Bangka Resek yang kuceritain kemaren?”

Rendi mengangguk-angguk ragu.

Aku juga sejenak jadi malas memikirkannya. Stress dan kemarahan terpendamku kembali, tapi aku di sini memang untuk menumpahkan semuanya. “Dia liatin aku terus-terusan lagi. Aku lagi duduk diliatin, lagi jalan diliatin, lagi ngobrol sama klien diliatin. Sewaktu istirahat, pas kukira akhirnya bisa lepas dari dia, you know what? Eh dianya malah ngajak aku makan bareng.”

Aku meringis ketika membayangkan kejadian beberapa jam lalu itu.

“Ya udah, kenapa gak diiyain aja?” Yuda tiba-tiba menginterupsi. Dia adalah kawan sekampusku dulu sekaligus pemilik tempat ini. Dengan ciri khas berupa mata tajam kekuningan mirip hyena lapar yang kejam, aku heran bagaimana Rendi yang kalem dan imut ini bisa betah bekerja di tempat macam sarang macan begini.

“Ck! Ngotak dong. Dia tua bangka gitu. Napasnya bau. Mata keranjang. Ngomong suka sembarangan—”

“Tapi berduit, ‘kan?”

Aku pandangin mata Yuda lekat-lekat. Hih! Nih orang, ya, dari dulu memang suka bikin jengkel. “Heh! Kamu kira aku wanita macem apa, hm?”

Yuda malah menunjukkan muka malas, menunduk sebentar, dan kembali berdiri setelahnya sambil menunjukkan buku kecil penuh catatan angka-angka yang makin membuatku pusing

“Apa ini?”

“Kasbonmu, Mbak,” jawab Yuda sarkastis. “Pertama kali waktu lo dateng ke sini, nangis-nangis bilang gaji belom turun; terus lupa bawa dompet; terus pas gue ulang tahun dan lo mohon-mohon minta traktir.”

Aku berhenti membaca dan kontan mengernyit. “Ya ampun, Yuda. Itu yang traktiran kamu masukin juga?”

Yuda cuma mengedikkan bahu acuh tak acuh dan malah mengambil gelas lain untuk dibersihkan.

“Kelewatan banget lo ya!” Aku berdecak dan memukul meja.

Seisi ruangan seketika jadi hening, semua orang langsung memperhatikanku. Aku tahu kemarahan barusan itu konyol—Yuda emang bajingan, tapi kadang dia cuma bercanda (meski bercandanya seringnya keterlaluan).

Akan tetapi, saat itu rasanya pikiranku berkabut; berat; dan sukar dikendalikan. Bahkan gerak selanjutnya yang kulakukan benar-benar mengejutkanku.

Aku merogoh dompet dari dalam tas dan menarik satu per satu lembaran uang seratus ribuan.

Berapa, sih, hutangku katanya tadi, hah? Cowok matre, dasar. Sama teman saja perhitungan.

“Nih!” Aku lempar uang-uang itu tepat ke muka Yuda, berbalik badan, dan melengang pergi.

Sehabis dengar kata-kata keterlaluannya tadi, aku jadi muak berlama-lama di sini.

“E-eh, Mbak mau ke mana?”

Aku menoleh sesaat, menatap Rendi yang kelabakan. Sudah kuduga. Tampangnya makin manis kalau kesusahan. “Dadah, Ren. Semoga kita bisa ketemu lagi lain waktu.” Bersamaan dengan itu, aku membanting pintu bar dan pergi jauh-jauh dari sana.

Di luar, suasanya juga ramai. Klakson bersahutan. Lampu-lampu lalu linta berkelap-kelip kontras dengan rembulan. Angin membelai kulitku seperti sebentuk sayatan beku.

Hih! Dingin sekali!

Seharusnya aku pakai baju yang lebih tebal tadi. Ah, tapi pakaian tebal itu lebih mahal, dan aku juga lagi susah uang.

Ah! Uang! Benar. Aku kan lagi krisis, mana sisa gajiku mesti ditransfer lagi besok ke Ibu.

Kenapa aku malah serahkan uang tadi secara cuma-cuma ke Yuda, sih?

Goblok! Bego! Bego!

“Udah, Neng. Tunggu sini aja dulu. Temennya juga pasti masih lama. Nih ditemenin kita-kita. Tenang aja, kita gak gigit, kok.”

Aku berhenti sejenak begitu mendengar suara itu. Ketika menoleh, tepat di pojok gang sempit sana di mana cahaya menjadi super-remang, nampak tiga siluet besar yang memojokkan satu siluet kecil.

Ketika makin dekat, makin jelas pula aku bisa memperhatikan mereka. Di sana ada tiga pria dengan tampang awut-awutan—jelek secara universal, pakaian compang-camping, cungkring, dan sempoyongan—tengah mengapit seorang gadis berseragam SMA yang pasang tampang ketakutan.

Gadis itu nampak melawan, secara halus. Namun, ketiga pria itu justru bertindak agresif.

Sudah tak tertolong lagi. Gadis itu sudah tamat.

Gadis malang.

Oh iya, apa yang kupikirkan tadi?

Ah, benar. Soal gajiku.

Argghh!

Makin dipikir, kepalaku makin berat. Rasanya aku cuma minum beberapa gelas—biasanya aku bahkan bisa tahan sampai dua botol.

“Woi!”

Ck! Kalau mau melakukannya itu lakukan yang tenang, dong, Preman Bajingan. Dikiranya ini jalan punya neneknya?

“Balik gak lo ke sini!” Terdengar suara pria itu lagi. Makin kuat, makin marah, dan … makin dekat?

Tunggu. Aku juga dengar derap langkah kaki yang terburu-buru. Bukan cuma satu, tapi dua; tiga; empat.

Jangan-jangan …

Ketika aku berbalik untuk memastikan keadaan, tubuhku yang sudah sempoyongan ditabrak hingga jatuh.

Saat itu lampu hijau masih menyala. Lalu lintas sibuk dilalui oleh mobil-mobil berat berkecepatan tinggi.

Aku terjembab di tengah jalan raya.

Tak punya tenaga untuk bangkit.

Lampu sen menyorot tajam dari kanan dan kiriku. Kendaraan beroda empat melaju dari dua arah, mengimpit dan siap menghancurkan sekujur tubuhku.

Hal yang terakhir kuingat adalah suara sirene yang nyaring. Lalu tatapan gadis berseragam SMA itu. Tatapan tak percaya, kecewa, marah, sekaligus kepuasan ganjil.

Lalu semuaya jadi gelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status