Share

Buset! Beneran Nih Mati?

Aku terbangun ketika sinar matahari menyorot usil dari balik jendela.

Kepalaku pusing dan pandanganku masih buram.

Ketika sudah sadar sepenuhnya, ternyata aku berada di tengah ruang yang benar-benar asing.

Ruang ini diisi meja rias penuh peralatan make-up aneh yang enggak pernah kulihat, selimut dari wol berenda, serta pintu seputih tulang yang sepertinya dari marmer berkilau.

Bentar!

Ini di mana?

Aku tak punya interior-interior mahal begini.

Kenapa pula aku di sni?

Ketika kuingat-kuingat, memorinya kabur-kabur.

Seperti biasa, semalam aku mampir ke bar Yuda, pesan minuman, bincang mesra bersama Rendi, lalu semuanya jadi sureal.

Tunggu. Apa aku dibawa ke sini oleh Rendi dan menghabiskan malam mesra dalam keadaan tak sadar?

Oh, Rendi, kamu si bajingan kecil nakal. Pengen nikmat sendirian saja. Di depan selalu pasang muka malu-malu, tapi di belakang justru ganas begini.

Huh! Tidak bisa kumaafkan. Awas saja nanti kalau bertemu dan melakukannya lagi, biar kubuat kamu enggak bisa berdiri.

Tapi itu berarti perasaan kita mutual, ‘kan? Perasaanku berbalas, ‘kan?

Hoho! Dasar ya laki-laki. Gengsi dinomorsatukan, padahal di dalam hati sama-sama mau.

Ya, tidak apalah. Kali ini kumaklumi.

Lagi pula dia sudah susah-susah memberi dan memakaikan aku gaun bagus begini.

Hm. Apa, sih, bahannya? Rasanya halus, nyaman, sejuk, wangi. Seperti rangkulan itu sendiri.

Eh. Bukan saatnya aku memikirkan ini. Hari sudah menjelang siang—lihat saja sinar matahari juga telah terik begitu.

Gawat! Aku kan ada rencana presentase jam sembilan nanti bersama bos mata keranjang itu dan dewan-dewan atas perusahaan. Kepribadiannya memang bikin jijik, tapi kalau aku mengacaukan meeting dan membuatnya malu, hidupku bakal ikut hancur.

Aku bangkit dan mencari tas ke sana-kemari, bergegas pergi dari sini.

Tapi, kok, tidak ada ya?

Lagi pula hotel macam apa ini? Ruangannya luas sekali—mungkin hampir tiga perempat ruang keluarga di rumah biasa. Ranjangnya saja ditopang empat tiang dan punya semacam naungan kelambu yang bisa dibuka-tutup.

Benda-benda di sini semuanya terbuat dari mahoni asli dan diukir dalam desain klasik yang kuno, tapi estetik.

Ah. Aku terdistraksi lagi, ‘kan.

Ayolah, Tasku, di mana, sih, kamu?

Dalam ingatan terakhir, aku ingat masih dalam setelan rapi dan menenteng tas selempang kebanggan itu ke mana-mana.  Tidak mungkin Rendi mengambilnya, ‘kan?

Iya. Dia itu masih muda—masih dalam umur-umur pubertas pula, punya rasa ingin tahu yang besar—mungkin, dan punya kesempatan untuk melakukannya. Tapi, dia bukan tipikal orang seperti itu.

Atau jangan-jangan yang membawaku ke sini bukan Rendi?

Bagaimana kalau ternyata Yuda yang melakukannya?

Aku tahu si berengsek itu diam-diam menyimpan rasa kepadaku sejak semester lima. Aku yang dalam keadaan tak sadar dan tanpa pertahanan akan jadi sasaran hasrat bejat menjijikkannya dengan mudah.

Atau malah bukan salah satu dari mereka? Jangan-jangan yang melakukan ini adalah orang lain? Orang yang tak pernah kukenal? Seperti om-om hidung belang atau preman jalanan.

Preman? Sepertinya aku familier dengan mereka. Seakan aku pernah berurusan atau setidaknya melihat aksi mereka dari dekat secara langsung, baru-baru ini.

Di dekat kantor? Di lingkungan rumah? Di dekat bar?

Ah iya. Di dekat bar. Ketika dalam perjalanan pulang. Aku yang terlibat perkelahian bodoh dengan Yuda tak sengaja mendapati komplotan orang mengerikan itu tengah melecehkan seorang gadis.

Gadis itu sepertinya lolos, berlari, dan menabrakku. Aku terjatuh di tengah jalan raya. Dua mobil datang dari depan dan belakang. Lalu semuanya gelap.

Kesimpulan akhir: aku sepertinya sudah mati.

Tunggu, apa?

Jawaban prasangka mengerikan itu datang dalam cara yang tak terduga.

Pintu kamarku diketuk perlahan, lalu terdengar suara seorang wanita dalam bahasa yang tak pernah kuketahui—tapi anehnya bisa kumengerti. Kira-kira begini katanya: “Nona, anda sudah bangun?”

Waduh!

itu siapa?

Staff hotel? Atau malaikat penjaga Neraka?

Aku … benar-benar belum mati, ‘kan?

Karena begini, sejak umur lima belas, aku ini sudah—dengan bangga—memproklamirkan diri sebagai ateis tulen.

Mana siap aku kalau ternyata benar-benar ada hidup setelah kematian begini.

Ketika tengah merenungkan identitas relijiusku yang sudah morat-marit, tiba-tiba wanita—yang entah siapa—di balik pintu itu kembali bertindak tak terduga. “Nona, saya izin masuk.”

Kenop bergerak turun dan pintu mulai terbuka.

Waduh! Gawat! “Tunggu! Jangan masuk dulu!”

Pintu itu kembali tertutup. “Nona, anda sudah bangun?” kata wanita itu khawatir.

“Iya. Sudah. Sudah,” jawabku masih gelagapan. Aku meneguk ludah dan berusaha berpikir rasional.

Pertama-tama, aku harus memastikan dulu di mana sebenarnya aku sekarang.

Jadilah aku bergerak pelan—nyaris seperti berjingkat—mendekati pintu, mengumpulkan keberanian, lalu ganti bertanya. “Em … sebelumnya bisa kasih tau kamu siapa?”

Oke. Iya, tahu. Itu pertanyaan goblok. Tapi, saat itu aku terlalu bingung untuk merangkai kata. Kepalaku juga masih pusing karena alkohol semalam.

Reaksi si wanita kembali mengejutkanku. “Nona kambuh lagi?”

Hah? “Kambuh?”

“Nona. Saya akan masuk ke dalam.”

“Hah? EH! Tunggu! Jangan!” Aku berusaha menahan sekuat tenaga, tapi entah kenapa tenagaku jadi setengah lebih lemah dari biasanya. Jadilah aku terjerembab, kalah, dan saat itu menyadari sesuatu lain yang aneh—tubuhku ternyata lebih kurus daripada yang kuingat.

“Maaafkan saya, Nona. Nona gak apa-apa?” Ketika mendengar secara langsung, entah kenapa suara wanita itu jadi lebih familier.

Aku yang masih meringis kemudian berusaha bangkit, lalu mendongak penasaran.

Ini … ini tidak mungkin.

Di depan sana, dalam balutan seragam pelayan wanita ala Era Victoria, aku bertatap muka dengan seorang yang tak pernah kusangka. “Ibu?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status