MasukJarum jam menunjuk ke angka 10. Terdengar bunyi air yang masih mengalir di wastafel.
Pintu kamar mandi tidak di tutup dengan rapat. Di dalamnya terlihat seorang pria yang sedang berdiri di depan cermin. Alberto Castaro, pria itu menatap siluetnya sesaat sebelum menurunkan pandangan pada tangannya yang sedang merakit pistol jenis revolver berkaliber 44 yang berisi 5 - 7 peluru. Wajah pria itu tampak dipenuhi amarah dan dendam. Tentu saja. Putrinya baru saja tewas dengan mengenaskan dan dia di keluarkan dari partai. Semua itu terjadi karena Michele Lazaro Riciteli. Mafia sialan itu, dia akan menembaknya malam ini. Pistol selesai di rakit, Alberto bergegas mengenakan sarung tangan hitam, topi, dan yang terakhir ia menutup sebagian wajahnya dengan kain hitam. Dipandangi siluetnya di cermin. Dia tidak lagi kelihatan seperti orang politik atau pengusaha, melainkan seperti seorang pembunuh bayaran yang dingin dan tak mengenal ampun. Malam kian larut. Sudah saatnya anjing pemburu keluar dan mencari mangsa. Alberto segera meninggalkan rumahnya. Seorang wanita paruh baya melihat punggung pria dengan mantel hitam itu masuk ke mobilnya. Apakah itu Tuan Castaro? Wanita itu tampak heran melihat penampilan Alberto yang aneh dan tak biasanya. ~•~ Pesta besar sedang diadakan di bar kasino milik Federico yang kini sudah berpindah tangan pada Michele. Para wanita berpakaian seksi meliuk-liukan tubuhnya mengikuti irama musik. Ada pula yang sedang duduk menemani para tamunya minum. "Waw! Ini pesta yang hebat, Bro!" Carlo Matius Riciteli, adik angkat Michele yang baru berusia 16 tahun. Dia tampak begitu senang sambil mengoyangkan kepalanya menikmati musik. Michele yang sedang duduk hanya tersenyum tipis melihatnya."Carilah wanita dan cobalah melakukannya. Kau harus belajar dari sekarang," ucapanya pada Carlo kemudian. Paolo yang duduk di samping Carlo hanya tersenyum geli seraya mengacak-acak rambut remaja itu. "Aku tak mau. Itu menjijikan!" ujar Carlo yang langsung di sambut gelak tawa oleh Paolo dan para bodyguard yang mengelilingi mereka. Sementara Michele hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Carlo masih sangat belia. Bahkan dia hanya bayi di mata Michele. Betapa pun kejamnya dia, Michele sangat menyayangi Carlo sebagaimana adiknya sendiri. Sepuluh tahun yang lalu dia tak sengaja menembak sepasang suami-istri saat mabuk di bar. Mereka adalah orang tua Carlo. Anak laki-laki berusia enam tahun itu membuatnya iba di pemakaman. Michele memutuskan untuk membawanya pulang. Sampai saat ini Carlo tak pernah tahu jika Michele yang sudah menghabisi orang tuanya. Dia bersyukur memiliki Michele. Meski dia hanya adik angkat saja, tapi Michele memberikan kekuasaan dan kemewahan layaknya pada adik kandungnya. Di luar bar tampak dua orang gadis yang sedang berjalan meninggalkan mobilnya. Meghan dan Moly mendatangi bar yang salah. Ini bukan bar di mana temannya mengadakan pesta, tapi ini bar di mana di dalamnya terdapat para komplotan Mafia sadis. "Kau yakin ini tempatnya? Kurasa kita salah mendatangi bar," ucap Meghan seraya memperhatikan aktifitas tempat hiburan malam di depannya itu. Moly sibuk merapikan riasan wajahnya. "Memang ini bar-nya. Nick yang sudah memberikan alamatnya padaku tadi," ucapnya lalu membenahi alat make up yang dipegangnya ke dalam tas. "Ayo masuk!" lanjutnya seraya menarik lengan Meghan. Setibanya di dalam bar, Meghan dibuat heran. Tak ada satu pun orang yang ia kenali di sana. "Aku yakin ini bukan bar-nya." Moly tak kalah heran. "Kurasa kau benar," sahutnya dengan mata yang enggan berkedip melihat apa yang sedang orang-orang lakukan. Mereka sedang mabuk dan melakukan se-ks bebas di depan umum tanpa rasa malu. Ini gila! Mereka harus segera pergi. "Hei, Nona! Mau kemana kalian?" Dua orang bodyguard menghadang jalan Meghan dan Moly yang sedang menuju pintu keluar. Dua gadis itu dibuat terkejut. "Kami salah masuk bar. Jadi, kami mau pulang," jawab Meghan. Sementara Moly hanya berlindung di belakang bahunya dengan mimik ketakutan. Dua orang bodyguard itu saling pandang. Kemudian mata mereka turun pada kamera yang sedang dipegang oleh Meghan. Dengan cepat direbut benda itu. "Apa kalian para reporter yang sengaja ingin meliput kegiatan di bar ini?" tanya si bodyguard dengan tatapan curiga pada Meghan. Gadis itu buru-buru menggeleng. "Bukan! Kami bukan reporter! Kami hanya salah masuk bar saja, kok! Tolong berikan kameranya dan biarkan kami pergi." Sepertinya dua orang bodyguard itu tidak percaya pada mereka. Meghan dan Moly saling pandang dengan wajah cemas. Mereka dalam masalah besar jika tetap di sini. Dua orang gadis itu saling memberi isyarat untuk segera kabur. Namun, dua orang bodyguard berhasil menangkap Meghan. "Lepaskan aku! Tolong!" Meghan berteriak saat dua orang bodyguard itu menyeretnya kembali masuk ke bar. "Meghan! Oh Tuhan, gimana nih?" Moly yang panik bergegas menghidupkan mesin mobil. Mereka para Mafia sadis, terlalu berbahaya jika dia kembali masuk ke dalam bar itu. Dengan kebingungan dan memikiran Meghan, Moly akhirnya pergi. "Meghan, maafkan aku." Kembali ke dalam bar. Dua orang bodyguard membawa Meghan menuju salah satu kamar VIP di hotel yang berada di lantai dua bar. Meghan tak henti berotak dan berteriak minta tolong. Namun, siapa yang akan datang menolongnya? Semua orang di bar itu penjahat semua. Dia dalam masalah besar saat ini. "Moly, apa kau bersama Meghan? Di mana kalian?" Jose menelepon Moly karena Meghan belum juga pulang. Satu jam yang lalu mereka pamit untuk mendatangi pesta temannya, tapi sampai larut malam Meghan belum juga kembali. Sebagai kakak tentu Jose sangat khawatir pada adik perempuannya. Moly yang sedang duduk bersandar di bawah ranjangnya sangat gugup saat menerima telepon dari Jose. "Meghan, dia ... dia ada di sini, kok! Ya, Meghan menginap di apartemenku nih! Jangan cemas," ucapanya berbohong karena kebingungan dan ketakutan. "Meghan di apartemenmu? Syukurlah kalau begitu! Tapi, kenapa ponselnya tak bisa di hubungi?" Jose bertanya lagi. Moly memejamkan matanya erat-erat. Jose seorang polisi. Bagaimana jika pria itu tahu kalau dia sedang berbohong? Oh, tidak! Jose tak boleh sampai tahu. Para Mafia itu bisa saja menculiknya jika mengetahui dia yang sudah memberitahu polisi. Moly berusaha tenang. "Ponsel Meghan kehabisan daya. Dia pun sudah tidur. Aku juga sudah mengantuk. Nanti aku minta Meghan menghubungimu besok pagi, deh! Selamat malam," ucapnya lalu menutup panggilan. Moly bersandar lesu pada tepi ranjangnya. Astaga, tidak tahu bagaimana nasib Meghan di markas para Mafia itu? Sementara Jose masih ingin menanyai Moly tentang Meghan, tapi ponselnya kehabisan daya dan mati. Penuturan gadis itu terdengar aneh. Apa benar Meghan sudah tertidur dan ponselnya tidak aktif? Entahlah, dia tak yakin. Namun ini sudah malam. Baiknya esok pagi dia segera menjemput Meghan di apartemen Moly, pikirnya seraya membaringkan tubuh di atas sofa. Kembali pada Meghan. "Lepaskan aku! Apa yang kalian lakukan?!" Gadis dengan mini dress warna hitam itu menjerit-jerit saat dua orang bodyguard merebahkan dia secara paksa lalu mengikat kedua tangannya ke masing-masing sisi ranjang quen size di kamar VIP itu. Entah kamar siapa ini dan mau apa mereka? Gadis itu nyaris menangis ketakutan. "Bos, kami sudah membawa gadis itu ke kamar Anda." Seorang bodyguard menelepon sambil berdiri membelakangi Meghan. Bos? Siapa yang di panggil bos oleh bodyguard itu? Apakah bos para Mafia? Bulu kuduk Meghan meremang ketakutan. Entah apa yang akan terjadi padanya selanjutnya."Aku belum tahu namanya siapa, tapi aku yakin dia tidak sekejam dan psikopat seperti yang kau pikirkan," ucap Meghan pada Moly.Saat ini mereka sedang berada di perpustakaan kampus.Moly berusaha menyadarkan Meghan dari kegilaannya pada si Tuan Mafia yang dia ceritakan. Menurut Moly, pria itu sangat berbahaya dan tidak seharusnya Meghan bertemu dengannya lagi. Namun apa yang ia dengar pagi ini benar-benar gila! Meghan bertemu dengan si Tuan Mafia itu, bahkan mereka bercinta di lorong gelap sebuah bar?Dia benar-benar tak habis pikir."Kau bisa mengencani pria lain, tolong jangan lagi bertemu dengan pria aneh itu!" Moly menegaskan karena dia memikirkan keselamatan Meghan."Kau sangat lebay! Aku baik-baik saja, dan dia tidak berbahaya, kok!"Meghan tidak terima saran dari Moly."Aku mau bertemu dengannya lagi, dan mungkin kami akan bercinta lagi, itu sangat extrim dan aku menyukainya," ucapnya lagi pada Moly sambil meraih buku tebal yang sedang dipegang oleh gadis berambut keriting itu
"Aku tidak melihatnya di sekitar sini. Apa kau sudah membohongiku, hah?!" Jose bicara pada seorang bartender sambil mencengkeram kerah kemeja pria itu. Dia menatapnya dengan tajam. Si bartender tergugup ketakutan. "Aku bersumpah melihatnya di sini, tapi sepertinya mereka sudah meninggalkan bar!" "Shit!" Jose mendengus kesal seraya melepaskan si bartender lantas pergi. "Mereka sudah pergi dari bar, aku gagal menyadap ponselnya." Sambil mencari-cari Meghan, Jose menelepon temannnya. Langkah sepasang boot hitam itu terayun menuju ke luar bar. "Kemana perginya Meghan? Astaga, aku harus segera pulang." Pria dengan jaket hitam itu bicara sendiri kali ini sambil menyapu pandangan ke sekitar. Dia masih belum menemukan Meghan. "Ahhh, hmmmh," desahan dan erangan itu terdengar dari lorong di sudut bar yang sepi dan gelap. Meghan berdiri dalam kendali Michele. Punggungnya sudah merapat ke dinding. Sementara tubuh mereka berdentum dalam irama yang brutal dan liar. Sensasi yang di t
Jose baru kembali ke unit apartemennya di pusat kota. Dia sedikit terkejut melihat sepasang sepatu wanita yang berserakan di depan pintu. Meghan? Apa dia sudah kembali? Pertanyaan itu muncul di kepalanya. Dia yang sangat mencemaskan Meghan segera menerobos masuk untuk melihat adiknya. Meghan sedang menonton drama romantis saat Jose tiba di dalam. Pria itu tersenyum lega melihat adik perempuannya tampak baik-baik saja. Lantas ia bergegas menghampiri Meghan. "Gadis bodoh! Kemana saja kau? Kenapa tidak meneleponku? Dasar bodoh!" gerutu Jose sambil memukul bahu Meghan seraya mendaratkan bokongnya pada sofa kosong di samping sang adik. "Ih, apaan sih?!" Meghan mengerang kesal, lantas membalas memukul-mukul punggung Jose. Sang kakak hanya tertawa melihat Meghan marah-marah padanya. "Aku lapar, bisakah kita makan di luar?" tanya Meghan dengan wajah memanja pada sang kakak. Jose mengangguk. "Baiklah, kita makan ayam goreng malam ini. Bagaimana?" jawabnya seraya menatap Meghan yang seda
Seorang pria terlihat berjalan cepat setelah keluar dari sebuah kedai ayam goreng di pinggiran kota.Jaket hitam seharga 20 dolar yang ia kenakan terlihat cocok membalut tubuhnya yang tinggi sekitar 1,85m dan memiliki postur atletis.Topi hitam membuat wajahnya tidak kelihatan jelas meski lampu di sepanjang jalan berhasil menciptakan bayangan tubuhnya.Sambil menenteng bungkusan berisi potongan dada ayam goreng, pria itu berjalan menyusuri lorong kecil menuju tempat pembuangan sampah.Aspal masih tampak basah akibat hujan lebat yang mengguyur kota petang tadi. Pria bertopi melanjutkan langkahnya menuju sebuah gedung kosong yang berada di belakang tempat pembuangan sampah.Setelah membuka gembok pintu gedung di depannya, ia bergegas masuk. Sepatu boot hitam terayun memasuki ruangan dengan pencahayaan remang.Seorang pria dengan banyak luka perban di tubuhnya mengangkat sepasang matanya melihat dia datang. Alberto Castato, pria yang tubuhnya dipenuhi perban itu."Aku tak bisa berlama-la
Moly baru saja keluar dari kamar mandi saat mendengar pintu apartemennya di ketuk dari luar. 'Siapa yang datang?' Ekor mata gadis berambut pirang itu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk angka delapan. Sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah dengan handuk, Moly berpikir. Pintu kembali di ketuk. Kali ini semakin keras dan berulang-ulang. Jantung Moly berdegup kencang. Dilempar handuk di tangannya. Kemudian secara perlahan dan curiga, gadis itu berjalan menuju pintu. Rasa cemas membuat jarinya sampai gemetaran. Moly mengintai dari celah kecil pada pintu sebelum meraih handel keemasan di depannya. "Kenapa lama sekali membuka pintunya?!" Meghan menyambut dengan wajah kesal saat pintu dibuka. Setelah menoleh ke kanan dan kirinya, ia menerobos masuk. Moly dibuat mematung sesaat melihat siapa yang datang. Setelah berhasil menetralkan rasa terkejutnya, dia bergegas menutup pintu, lantas berjalan cepat menuju Meghan. "Astaga, aku lapar dan haus. Apa kau punya makanan?
Malam merangkak larut. Meghan berusaha terjaga meski rasa kantuk menyerang. Dia tak boleh lengah. Hingga sosok tinggi sudah berdiri di hadapannya, gadis itu hanya berpura-pura tidur. "Kalian berjaga-jagalah di luar," perintah Michele pada Paolo dan dua orang anak buahnya. Suaranya nyaris tidak terdengar. "Selamat menikmati hidangan malammu, Bos." Paolo menyeringai tipis lantas pergi. Pria itu sempat melirik pada gadis di tengah ranjang sebelum benar-benar enyah. Michele masih memasang wajah dingin. Sepasang tungkai panjang itu diayunkannya menuju ranjang. Mata elangnya mengamati jengkal demi jengkal tubuh ramping di depannya. 'Hei, apakah dia sudah tidur?' Pertanyaan itu muncul di hatinya seraya memandangi Meghan dengan kedua tangan di masukan ke dalam saku celana kainnya. Meghan yang sedang berpura-pura tidur sangat terkejut saat tubuh kekar naik ke atas tubuhnya. Dia berusaha memejamkan mata rapat-rapat. Meghan ayo tidur! Tuan Mafia sudah datang. Pria itu tak boleh sampai ta







