Setelah beberapa saat menunggu, sebuah pesan balasan masuk di ponselnya.
Yah, sudah ia duga. Pelariannya membuat sang Ayah dengan bebas mengutak-atik kamarnya, ia pikir kini Ayahnya tahu jika Putri pembangkangnya tidaklah selemah yang ia kira saat ini.Setelah beberapa saat menunggu, sebuah pesan balasan masuk di ponselnya.Rahasianya telah terungkap, ia tahu mulai hari ini tidak akan mudah. Daddynya pasti cepat atau lambat akan menyewa profesional untuk mencarinya dan itu tidak boleh terjadi.Dengan memandang langit pada langit malam ia berucap, "maaf Dad, tapi aku ingin bebas."'Maaf menghianati kepercayaanmu Dad.' Batin Jia sebelum melangkah menuju hotel kecil yang sudah ia pesan sebelumnya. Berdiam diri pada hotel kecil tidaklah mudah, apalagi menunggu makanan yang belum juga tiba.Memutuskan untuk mengecek secara langsung, Jia keluar dari kamarnya.Deg!"Apa yang terjadi–""Tolong." Ucap pelan seorang Pria yang berdiri tepat di depan kamarnya, tapi bukan itu masalahnya. Tubuh Pria itu penuh dengan darah, sangat banyak hingga ia bisa melihat jejak sepanjang lorong darinya.Jia waspada, tapi nuraninya tidak bisa membiarkan kewaspadaannya menguasainya."Masuklah, akan ku obati."Dengan tertatih-tatih Pria itu masuk, Jia tidak langsung mengobati luka Pria asing tersebut. Tapi ia membesihkan darah di sepanjang lorong, sampai semuanya hilang."Maaf, tapi bisa tolong lepaskan baju Anda?" Tanya Jia dengan sopan, yang langsung membuat Pria itu bergerak cepat melepas bajunya sendiri walau kesusahan.'Revandro Maxio.' Batin Jia saat melihat tato pada tubuh Pria di depannya, namun ia bersikap santai seolah tidak mengetahui apapun.Setelahnya Jia mengobati Revandro, dengan telaten membersihkan lukanya."Anda bisa istirahat di sini, kurasa sofanya cukup besar untuk kau tiduri. Ada apa dengan tatapanmu?""Temani,""Apa maksudmu–" belum sempat melanjutkan perkataannya, tangan Jia di genggam oleh Revandro. Menariknya pelan, agar duduk di samping Pria itu.Menyadarkan kepala pada bahunya, Revandro menutup matanya. Sedangkan Jia yang tahu siapa itu Revandro hanya bisa membuang nafas pasrah, tangannya bahkan terasa digenggam erat. Seolah tak ingin membiarkan ia pergi.Beberapa menit berselang, Jia menatap keluar jendela. Menatap cahaya matahari yang mulai pudar, 'Sial aku lapar!'"Hei bangun... Sudah sore, apa Anda tidak lapar?" Ucap Jia yang berusaha membangunkan Revandro, untunglah ia tak harus berusaha keras dalam membangunkannya."Jam berapa?""Hampir memasuki jam 4, ingin makan sesuatu?"Revandro tak bergeming dari posisinya, hingga matanya perlahan terbuka. Menegakkan tubuhnya, ia menatap Jia dalam diam.Jia yang di tatap sontak menjadi waspada, sampai suara ketukan pintu yang sangat keras mengalihkannya."SIAPAPUN YANG BERADA DI DALAM, HARAP UNTUK MEMBUKA PINTU. WAKTU ANDA 2 MENIT DARI SEKARANG SEBELUM PINTU KAMI DOBRAK!"Jia bangkit, tetap tenang ia melihat di balik layar monitor.'Black Snack? Mereka,kan. Musuh keluarga Maxio?' Batin Jia."Apa mereka yang melukai Anda?" Tanya Jia, yang dibalas anggukan oleh Revandro.Jia mengusap kasar wajahnya, ia tak punya pilihan selain melawan. Mengharapkan Revandro itu tidak mungkin, luka di tubuh Pria itu cukup parah. Meski ia tahu itu bukanlah luka terburuk yang pernah ia dapatkan.Jia beranjak dari hadapan Revandro, namun sebelum itu suara baku terdengar dari luar. Membuat ia mengurungkan niatnya, hingga..."Wanita yang menarik, aku suka.""Apa yang Anda katakan–"Belum sempat melanjutkan kata-katanya, Jia tiba-tiba tak sadarkan diri. Namun sebelum itu ia sempat mendengar, "Terima kasih sudah merawatku, tapi sepertinya kau menolong orang yang salah."bersambung..."Akht! Kepalaku." Jia terbangun dari pingsannya, terbangun di kamar yang bukan miliknya tidak membuat ia panik sedikitpun. Karena ia yakin, jika keberadaannya di tempat ini adalah ulah Revandro Maxio.Dan benar saja, "Sudah sadar rupanya." Ucap Revandro dengan setelan jasnya, memasuki ruangan. "Apa yang kau rasakan?"Meski enggan, tapi Jia tetap menjawab. "Pusing."Revandro menganggukan kepalanya, ia kemudian memberikan segelas air putih yang ia tumpah saat memulai pembicaraan beberapa saat yang lalu.Jia menerima air tersebut dan meminumnya hingga tandas, setelahnya Jia menatap Revandro dengan tatapan meminta penjelasan."Entahlah, tapi kurasa kau cocok menjadi istriku." Jawab Revandro, yang membuat Jia tersedak ludahnya sendiri.Istri? Oh ayolah jangan bercanda, seorang Mafia sekelas Revandro ingin dirinya menjadi istrinya? Ia rasa Pria itu sedang bercanda saat ini-"Aku tidak bercanda, jadilah istriku. Maka akan kuberikan apapun yang kumiliki padamu, aku akan berusaha untuk memenuh
Deg!Jia terpaku di tempatnya saat peluru melesat dari pistolnya, menembus bahu Pria di depannya. Revandro tertembak, darah mengucur keluar tapi Revandro tidak berekspresi apapun."BASTARD SIALAN, APA KAU SUDAH GILA?!" Maki Jia yang mendekati Revandro, mengecek kedalaman luka tembak di bahu Pria itu.Melupakan niat awalanya, Jia bangkit turun dari kasur dan mengambil kotak putih di samping pintu masuk. Yang ia yakini jika itu adalah kotak P3K, kemudian mengobati Revandro yang telah duduk di ujung kasur.Sepanjang Jia mengobati Revandro, ia menyadari tatapan Revandro padanya. Rasa tidak nyaman memang di rasakannya, tapi ia memilih untuk fokus pada kegiatannya. Bahkan membiarkan Pria itu mengelus kepalanya, entahlah. Ia tidak mengerti mengapa dirinya masih bisa berbaik hati mengobati luka Revandro lagi, padahal bukan kesalahannya jika Pria yang berstatus sebagai penculiknya ini terluka."Kau pandai mengobati." Ucap Revandro pada akhirnya membuka suara."Memang, dan itulah yang kubenci."
Dada Jia berdebar saat ini, ia hampir saja mengeluarkan kemampuan bertarungnya jika bukan karena seseorang tiba-tiba masuk."Maaf Tuan Maxio, tapi pihak dari Australia sedang menunggu Anda." Ucap seorang Pria paruh baya, dengan menunduk hormat.Mendengar itu, Revandro sontak melepaskan cekalan tangannya dari rambut Jia dan pergi dari tempat itu tanpa sepatah katapun.Sedangkan Jia? Ia tiba-tiba terduduk di kasur ketika rasa nyeri di kepalanya, ia pikir itu karena benturan beberapa saat yang lalu."Anda tidak apa-apa Nyonya?" Tanya Pria paruh baya tersebut, mendekati Jia. "Nyonya?""Aku bukan Nyonyamu!" Desis Jia tajam, tak suka jika dirinya di panggil dengan panggilan Nyonya. Rasanya ia sudah sangat tua, lagipula ia tidak sudi jika harus di sebut demikian hanya karena orang-orang menganggap dirinya sebagai calon Istri Revandro.Pria paruh baya itu sedikit tersentak, untuk beberapa saat ia diam mengamati calon Nyonya,nya itu. Kalau di pikir-pikir, Wanita di depannya merupakan satu-satu
"Oh, dulu aku pernah membaca sebuah surat kabar. Dimana orang di surat kabar itu mirip dengan Anda, Anda tahu? Orang itu adalah seorang PEMBUNUH! Dia juga sadis, sayang dia belum di tangkap sampai saat ini." Jelas Jia dengn menekankan kata 'pembunuh' pada kalimatnya.Hal itu tentu saja membuat Frans curiga pada wanita di depannya, tapi ekpresi Jia membuat ia mau tidak mau harus percaya jika Wanita di depannya memang tidak tahu siapa dirinya."Ya, sepertinya orang-orang juga menyebut saya mirip dengan seseorang. Mungkin orang yang Anda bilanglah mirip dengan saya," Balas Frans berusaha santai."Oh ya? Hmm bisa kupahami, tapi Gilbert. Eh, apa tidak masalah kupanggil nama saja? Anda, kan. Lebih tua dari saya?""Tidak masalah,""Emm, Aku tahu ini tidak sopan. Tapi ada apa dengan bekas luka di wajah Anda?" Tanya Jia yang sudah pasti berusaha mempermainkan Frans, ia ingin tahu seberapa hebat Pria di depannya mengarang cerita.Frans terkejut untuk beberapa saat, meski rada keterkejutan itu t
Jia menahan nafas saat Revandro naik keatasnya, perlahan memecah jarak di antara mereka. Mata Revandro menatap dalam Jia, begitupun Jia yang menatap Revandro.Hampir saja bibir mereka bersentuhan, jika Revandro tidak menghentikan gerakannya. Saat ini, bahkan ia bisa merasakan hembusan nafas Pria itu menerpa wajahnya.Untuk sesaat keduanya terdiam..., Sampai..."Kau tahu, aku mungkin bisa saja membuatmu menjadi milikku sepenuhnya sekarang ini. Tapi tidak kulakukan untuk menghormatimu, tapi jika sikapmu begini terus. Aku tidak yakin bisa menahannya, kau tahu maksudku, kan?"Yah, Jia bukanlah wanita polos. Ia tentu saja paham betul arti dari perkataan Revandro, tapi kenapa dirinya masih bisa tidam takut pada perkataan yang mungkin akan menghacurkan masa depannya?Memikirkan itu, ia pikir. Revandro telah menyihirnya, tapi itu hanya untuk sesaat. Sebelum akhirnya ia sadar, bahwa ia tidak berada di negeri fantasi."Menjauhlah dariku!" Tekan Jia yang berusaha keluar dari situasi absurd ini,
Perkiraan Jia bahwa Revandro akan menusuknya nyatanya salah, Pria itu malah dengan lancangnya menempelkan bibir pada bibirnya. Hanya sebatas menempel, tidak lebih. Jia menatap dalam Revandro begitupun sebaliknya, meski Jia tahu apa yang di lakukan Revandro keterlaluan. Tapi masalahnya ia tidak menolak, hanya diam. "Sebenarnya apa yang kau inginkan sayang? Kau tahu aku mampu memberi apapun yang kau inginkan, tapi diantara itu semua. Mengapa, mengapa harus kebebasan?" Ucap Revandro yang menghentikan aksinya. Dengan lembut ia menyapu wajah Jia, pelan dan lembut penuh dengan kasih sayang. Seakan sosok kejam beberapa saat yang lalu tidak pernah ada, "Minta yang lain ya?" Sambung Revandro. Jia mengangkat satu alisnya, walau enggan. Tapi sebenarnya Jia pernah memikirkan hal yang selain kebebasan, 'Taman bermain' dari dulu itu selalu menjadi harapan Jia.Revandro melihat harapan dalam retina mata Jia, ia kemudian beranjak dari atas tubuh Jia dan memposisikan Jia menjadi duduk. "Aku tahu
Jia terkekeh pelan, langkahnya pun terhenti sesaat ia melihat beberapa balon yang sepertinya sengaja di tinggalkan pemiliknya. Menatap lama, membuat Jia tidak menyadari bahwa dirinya tengah diincar seseorang dari jarak yang jauh. Menyadari hal itu, Revandro segera menarik Jia berlari. Dan benar saja... DOR! DOR! DOR! tembakan beruntun dilepaskan, keadaan yang tenang perlahan berubah menjadi bising akibat baku tembak antara anak buah Revandro dan orang-orang tak di kenal. Masuk kesebuah toilet, Jia menatap Revandro yang mengeluarkan senjata api dari saku jasnya. "Bukankah aku merepotkan?" Tanya Jia di tengah situasi yang menenganggkan. Revandro menatap Jia, lalu tersenyum kecil. "Entahlah, aku masih belum yakin." Jawab Revandro. Jia mengepalkan tangannya, sampai... "Mereka berlari ke arah sini.""Apa kau yakin?""Diamlah mereka bisa dengar!"Percakapan singkat itu, menjadi bukti bahwa ada orang-orang bodoh yang mengikuti mereka. Mengintip melalui bilik, mata Jia memicing tajam
Bahaya! Jika Revandro mengambil alih maka sudah dipastikan target itu tidak akan mati dengan mudah, atau bisa dibilang disiksa sampai mati.Berjalan masuk kesebuah cafe, semua mata tertuju padanya. Oleh karena penampilannya yang bersimbah darah, membuat atensi teralih padanya. Sampai kedatangan Revandro dengan para anak buahnya mengusir mereka semua dengan paksa, hingga tersisalah Jia dan dirinya yang saling menatap."Pulang," ucap Revandro tajam, yang tak ditanggapi oleh Jia. "Baby pulanglah-""Kalau aku tidak mau?!" Balas Jia dengan sorot seakan tengah menantang lawannya.Mengepalkan tangannya erat, Jia melihat Revandro berusaha menahan amarah karena balasan dari mulutnya. Tersenyum remeh, Jia berkata... "Jangan kau pikir patuhku beberapa saat yang lalu, membuatmu lupa akan perilakumu!" Sambungnya.Atmosfer berubah, jelas perkataan Jia memancing sisi lain Revandro muncul. Hingga sorot amarah dari matanya berubah menjadi tenang, namun ketenangan itu bukanlah sesuatu hal yang baik di