Serena lekas mengangkat kepala begitu kata usir terucap dari lisan Al. Walau cuma sekilas, tapi Al bisa melihat netra biru Serena, sebelum gadis itu kembali menunduk. Serena terlalu takut berhadapan dengan Al yang auranya ingin makan orang.
Al? Diakah pria yang bernama Alterio Inzaghi? Serena membatin dalam hati. "Siapa namamu? Kau bukan Thalia Hernandez." Al yang bertanya. Wajah pria itu masih tersembunyi di balik masker. "Serena, namaku Serena. Aku ... aku adik Thalia Hernandez." Al menoleh ke arah pria satunya lagi. Max, nama lelaki tadi. Dia mendekat ke arah Al. "Aku tidak tahu mereka punya anak gadis lain," bisik Max pada Al. "Saya mohon, Tuan. Jangan usir saya. Saya bisa lakukan apa saja, tapi jangan suruh saya kembali ke rumah itu." Tak ada pilihan, Serena harus bisa meyakinkan dua pria di depannya. Dia pikir Max dan Al akan bersimpati padanya. Namun Serena lupa, kalau yang dia hadapi mafia, bukan orang biasa. "Kau pikir aku peduli! Usir dia!" Tegas Al dingin. Sikap acuh Al membuat Serena kesal. Ingat, gadis itu pemberani jika tidak ada Nereida yang dijadikan sandera. Detik setelahnya, Serena menerjang maju. Dia menyerang Al, mendorong Al hingga tubuh besar itu terbentur dinding. Tangan kurus Serena berakhir dengan menekan leher Al, hampir mencekiknya. Tatapan keduanya saling terkunci. Max melongo dengan Al menyeringai tipis. Boleh juga. Ada yang berani bertingkah bar-bar di depan Al. "Aku tidak minta kau nikahi, aku hanya minta tempat tinggal ...." "Aku tidak mau dengar! Pergi sana!” Al kembali menunjukkan arogansinya. Arrghhh! Serena meringis ketika Al membalik keadaan. Pria itu dengan mudah mengubah posisi, hingga sekarang Serena yang terjepit keadaannya. Tangannya ditelikung di belakang punggung, sementara wajahnya menghadap dinding berlapis marmer. "Lepas!" Desis Serena. "Kau pikir, kau bisa mengalahkanku! Aku bukan orang yang mudah dikalahkan!” Al berucap dengan gigi bergeletuk menahan amarah. Dia lelah, mengantuk, pulang ingin tidur. Bukannya tidur yang dia dapat, tapi malah biang kerok yang harus dia hadapi. "Dan aku bukan orang yang mudah menyerah,” kata Serena setelahnya. Tanpa Max dan Al duga. Serena mampu menumbangkan tubuh besar Al. Pria itu mengerang saat punggungnya beradu dengan lantai marmer yang keras. "Sialan!" Emosi Al menggelegak sampai puncak. Sedang Max hanya bisa menahan tawa di balik lima jari yang dia gunakan untuk membekap mulutnya. Al pagi-pagi sudah di-smack down oleh perempuan yang fisiknya boleh dibilang kurus kering. "Memangnya siapa kau? Kenapa aku tidak boleh melawanmu. Asal lawannya bukan uang aku pasti menang." Satu sudut bibir Al tertarik, seringai mengerikan kembali terlukis di paras tampan yang kali ini tidak tertutup masker. "Sayangnya uang adalah ranjangku. Aku pastikan kau menyesal sudah berurusan denganku." Bola mata Serena melebar, bersamaan dengan Al yang melingkarkan jemari panjangnya di leher Serena. Pria itu berniat mencekik Serena. "Ja-jangan bunuh saya, Tuan." Serena kembali kalah telak. Jika pria di depannya punya ranjang uang, maka nasibnya tidak akan jauh beda dengan sebelumnya. "Tapi aku ingin sekali melihatmu mati di tanganku!" Al berujar dingin, nyaris tanpa belas kasih terselip dalam ucapannya. Al mulai mencengkeram leher kurus Serena, dia baru akan menguatkan cekikannya ketika tubuh Serena lebih dulu melemas. Setelahnya tubuh Serena sudah tergeletak di lantai, tak sadarkan diri. Dan Al bukan pria yang mau susah payah menolong Serena. Dia biarkan saja tubuh Serena jatuh membentur lantai. "Penipu!" Geram Al tanpa rasa kasihan. "Kau membunuhnya Al," kata Max seraya mendekati Serena. Al tak merespon, dia hanya menatap acuh pada tubuh Serena. "Tunggu dulu!" Kata Max ketika dia memeriksa denyut nadi Serena. "Dia hanya pura-pura!” Al yakin dengan dugaannya. "Basicku dokter, jadi tugas utamaku memang menolong orang. Oh, ini gawat Al. Gadis ini butuh pertolongan segera. Darurat!" Al hanya menggeleng pelan melihat Max menggendong Serena masuk ke lorong di sisi kiri. Jalan yang langsung menghubungkan tempat itu ke laboratorium pribadi milik Max. Dorongan nafas kasar terdengar seiring langkah Al berjalan menuju lift, yang membawanya naik ke lantai empat. Di mana kamarnya berada. Lift bahkan berada di dalam kamar yang berarti benda tadi dibuat khusus untuk Al. Pria itu langsung masuk ke kamar mandi, melucuti pakaiannya, lantas mengguyur tubuh atletis di bawah aliran shower. Dalam diam, Al menyentuh lehernya, di mana sebuah kalung berada di sana. Sebuah kalung bermata kepala elang hitam. "Harusnya kau yang berada di sini, bukan aku." *** Hari beranjak siang ketika Al bangun setelah mendapat tidur selama dua jam. Lumayan, setidaknya dia merasa lebih segar. Pria itu hanya mencuci muka untuk kemudian berganti pakaian, lalu turun menuju ruang makan. "Jadi bagaimana? Mau ke kantor?" Seorang perempuan berpakaian seksi menyambut Al yang baru duduk di meja makan. Dengan rambut dicat coklat terang, perempuan tersebut terlihat sangat cantik. Wanita itu lantas menyiapkan kopi, juga makanan untuk Al. Sikapnya sudah seperti seorang istri melayani suaminya. "Ke mana Paul?" Tanya Al tak melihat suami si perempuan. "Dia masih tidur," balas sang wanita sambil menggigit bibir. Al acuh pada sosok yang kini duduk di depannya. Pria itu makan dalam diam. Sampai dia selesai. "Ara, katakan pada Paul kalau dia yang akan ke kantor hari ini. Bersamamu." Bahu Ara merosot, padahal tadi terlihat begitu antusias. "Al, tidak bisakah kita pergi bersama, kau tahu kan dia akan selalu begitu jika dekat denganku." Al pilih diam, tak menjawab. Hingga perempuan di depannya jadi kesal. Dia selalu saja gagal saat ingin berduaan dengan pria dingin di depannya. Suasana hening sesaat, sampai seorang pria muncul. Rambut pirangnya sungguh menarik perhatian. "Aku dengar, pengantinmu sudah datang. Di mana dia?”Terpaksalah Sergie menggendong Yue ke kamar tamu. Di depannya ada Arthur yang terus mengoceh soal Yue yang juga suka drone.Keduanya tidak tahu kalau jantung Sergie jedag jedug di dalam sana. Apalagi ketika kepala Yue menelusup tepat di lehernya. Rasanya bernapas saja jadi susah.Perjalanan menuju kamar tamu yang biasanya hanya lima menit, kini serasa seabad tidak sampai-sampai. Hingga akhirnya "derita" Sergie berakhir ketika Yue ia baringkan di ranjang. Dengan Niel sigap memeriksa.Niel, pria sebaya Edgar yang jadi pengganti Rud. Sama-sama sudah ingin pensiun dari dunia masing-masing, keduanya yang memang sahabat sejak muda lagi, setuju untuk tinggal bersama Edgar.Berdua sering kali menghabiskan waktu dengan menjaga Arthur sepulang sekolah."Dia hanya dibius kan? Tidak ada yang bahaya dengan itu, tinggal tunggu dia bangun saja.""Dia tidak diapa-apain kan?" Serena bertanya, mengingat cerita Arthur kalau Yue diculik."Aku jagain dia waktu Om Sergie berantem. Tenang saja, dia tidak di
"Kita perlu bantuan.""Gak usah. Nungguin anak buah Om Felix datang, keburu bablas mereka. Sudah deh, Om pasti bisa ngalahin mereka."Aku? Sergie menunjuk wajahnya sendiri."Mereka kan gak banyak Om. Lagian badannya Om lebih gede ini, masak kalah sama mereka."Ini bukan soal size, tapi perkara skill. Badan lawan mereka memang tidak besar, tapi bagaimana jika kemampuan mereka di atas rata-rata. Bisa jadi pasien Max lagi dia."Itu Om. Itu mobil mereka. Pepet terus."Lah kan betapa cerewetnya Arthur. Dia sangat antusias melihat mobil yang digunakan untuk membawa Yue.Tanpa diperintah, Sergie juga bakal lakukan itu. Dia pangkas jarak kendaraan keduanya. Kaca mobil yang gelap membuat Sergie tidak bisa memantau keadaan di dalam.Yang ada di benak Sergi adalah bagaimana jika orang-orang itu melakukan hal buruk pada Yue. Gadis itu tampak muda juga baik. Tidak rela rasanya jika Yue harus jadi korban kejahatan sejumlah orang yang tidak bertanggungjawab.Memikirkan hal itu, Sergie langsung memo
Glen menggenggam erat ponselnya. Dia sudah mempertimbangkan masak-masak, juga mengambil langkah pencegahan saat dia memutuskan.Dia hanya punya seorang adik, dan identitasnya tidak pernah terungkap ke publik. Dia yakin, adiknya aman. Urusan balas budi dia akan membayarnya dengan cara lain.Tapi mengkhianati Max dan yang lainnya, Glen tidak akan melakukannya."Kamu sedang apa?"Pertanyaan itu membuat Glen menoleh. Di mendapati sang nyonya tengah memperhatikannya. Serena sendiri cukup heran melihat Glen berdiri di area terlarang. Ini cukup mencurigakan. Meski punya wewenang, Glen tampak aneh waktu memandang Rever di dalam kotak penyimpanannya. "Sedang mengecek mereka."Mereka tentu saja mengacu pada Rever dan Vrai. Serena mengangguk paham, walau tetap memendam heran. Ekspresi Glen tampak natural tapi Serena bisa menangkap sisi rumit dalam tatapan Glen pada Rever."Ada yang bisa saya bantu, Nyonya?"Pertanyaan Glen membuat Serena teringat tujuannya ke sini. "Minta obat, Al mendadak be
"Apa yang dia lakukan di sana? Memangnya dia diundang. Kalau diundang kenapa pakai masker segala. Bukannya akan lebih wah, kalau semua orang tahu. Menteri pertahanan ada di sini."Sica memutar bola matanya malas. Dia sedang berada di toilet. Membasuh muka supaya bedak yang dia aplikasikan tadi berkurang lapisannya.Gegara Alex yang memantaunya make up tadi, membuat gadis itu keki dibuatnya."Kurang tebal Sica, bisa gak biar kelihatan segar sedikit. Wajahmu membuat orang berpikir aku menyiksamu tiap malam."Sica mendengus kesal teringat bagaimana Alex mengomentari make up-nya. Kalau tidak plan akan bareng pergi ke nikahannya Leo, mungkin Sica sudah menendang sang pengacara kondang itu dari apart-nya.Lagian mana ada orang ngajak barengan tapi sudah muncul di apart Sica dua jam sebelum acara berlangsung.Atasannya memang aneh bin ajaib bin tidak bisa ditebak. Baik strategi persidangannya maupun akal bulusnya dalam mengerjai Sica."Lagi pula apa maksudnya minta aku simpan bunga ini. Aku
Drama apa lagi ini? Semua orang kini menoleh pada sang lelaki yang berjalan menuju ke arah Leo. Pria itu dan Alena telah disahkan sebagai pasangan suami istri. Sudah mengucapkan janji pernikahan, sudah pula bertukar cincin.Keduanya tinggal melaksanakan first mereka sebagai pasangan suami istri ketika seorang lelaki mendistraksi momen tersebut.Awalnya Leo tampak panik, siapa yang berani mengganggu acara pernikahannya. Tapi begitu melihat figur tersebut dia tersenyum sinis."Dia siapa?" Bisik Alena dari balik punggung Leo."Ayahku," balas Leo enteng.Alena mengerutkan dahi. Ayah Leo? Dia pikir ayah suaminya sudah meninggal makanya dia tidak berani tanya, takut Leo akan sedih.Ternyata ayah Leo masih hidup. Tapi kenapa pria itu tak pernah menceritakan padanya soal papanya.Leo tampak tenang menghadapi kemunculan sang ayah setelah satu tahun lebih menghilang."Leo, kamu tidak bisa menikah dengannya.""Kenapa? Aku laki-laki bisa menikah sendiri. Lagi pula, kenapa papa muncul lagi. Uang
"Kamu sakit? Pucat banget," komen Serena begitu melihat Riva duduk di sampingnya."Dia pingsan tadi. Masuk angin, gegara berendam di kolam semalam."Beita yang menjawab pertanyaan Serena. Pria itu duduk di samping Riva sambil terus mengawasi sang istri yang terlihat tidak baik-baik.Mereka ada di deretan kursi tamu terdepan dalam pernikahan Leo dan Alena yang dihelat megah. Pernikahan putra tunggal klan Manchini dengan putri bungsu keluarga Romano. Sangat sensasional, mengingat Alena baru menginjak usia dua puluh tahun dua hari lalu ketika Leo langsung melamarnya. Pria itu rupanya benar-benar fall in pada gadis yang sampai detik ini masih memanggilnya om."Sudah periksa?" Serena bertanya lagi."Dia kan alergi dokter. Mau bagaimana lagi."Ah iya, Riva paling anti dengan profesi itu. "Terus diapain?""Cuma dikasih paracetamol aja yang sirup buat anak. Tapi minumnya setengah botol."Kacau! Serena tepok jidat, Beita menggelengkan kepala dan si bahan ghibah nyengir lebar tanpa dosa."Mbok