"Apa ini?"
Al meraih berkas yang diserahkan Max. Netra sekelam malam itu bergerak cepat membaca helaian kertas di tangannya. "Laporan kesehatan Serena Valencia," ucap Max memperjelas laporannya. Al diam saja. Sikap dinginnya memang berlaku pada siapa saja. Bahkan pada anak buahnya sendiri. "Sebelum kau menikah dengannya, aku harus pastikan kalau dia memenuhi semua kriteria untuk bisa jadi pendampingmu. Termasuk soal keturunan.” “Kau tahu, benihmu tidak bisa sembarangan dilepaskan. Bukannya punya anak, yang ada mereka akan mengeringkan rahim lawanmu." Ehem! Al berdehem teringat bagian itu. “Aku belum memutuskan akan menikah dengannya!" Al buru-buru menegaskan jawabannya. "Aku akui semua yang kita lakukan ada efeknya. Tapi aku mana tahu kalau efeknya bakal sampai ke sana. Lagi pula kau yang minta. Aku cuma menuruti permintaanmu," kilah Max. Pria itu abaikan ucapan Al. "Jadi aku harus pastikan yang menjadi istrimu bisa menampung benihmu." Pria berbibir sensual itu menambahkan. "Kau pikir aku menikah hanya untuk punya anak," tukas El gusar. Max mengulas senyum. "Aku tahu tujuan utamamu menikah untuk menolak perjodohan yang Edgar tetapkan. Juga menghindari kejaran Vasti. Tapi tetap saja dia harus lolos uji kompetensi dari berbagai sisi. Yang aku lihat, sejauh ini, dia yang paling mendekati." “Bahkan Vasti atau yang lain tidak bisa melakukannya,” Max mulai memprovokasi. "Tapi aku tidak mau menikah dengannya!" Al akhirnya mengambil keputusan. "Kenapa? Aku sudah mencari tahu. Secara tidak langsung Serena tak punya hubungan dengan Hernandez. Di samping itu, dengan ini kita bisa menekan mereka." "Kau tahu kan Ara sangat benci Anthony, dia ingin sekali menghajar pria itu. Kita punya kesempatan untuk menghancurkan mereka. Ini akan sangat menguntungkan.” Max bicara sambil memandang lurus pada Al. Al terdiam untuk beberapa waktu. Sosok Serena sedikit menarik hatinya. Netra biru benderang milik gadis itu mengingatkannya akan seseorang. "Apa dia sudah sadar?" Al berpikir akan bicara dulu dengan gadis itu. "Belum, aku total mengistirahatkannya. Dia mengalami anemia parah, pipinya lebam, memar juga ada di beberapa tubuhnya. Dan dia punya bekas luka di punggung ...." Al memandang tajam Max, membuat pria itu berhenti bicara. Max lantas menggulung senyum. "Bukan aku, tapi stafku yang membuka pakaiannya. Kenapa?" Goda Max, seolah tahu apa yang dipikirkan sang atasan. "Aku pikir kau keterlaluan kalau melakukan itu.” "Dia bangun jam tujuh malam ini. Aku harus kembali, kalau tidak perempuan yang masih mengharap kau melirik padanya akan terus mengacau, belum si pirang kepoan itu." Max beranjak pergi, meninggalkan berkas Serena di atas meja Al. Berkas yang kemudian Al buka kembali. "Serena Valencia. Namanya terdengar tidak asing," gumam Al sembari memandang foto Serena. Dia teringat bagaimana Serena menyerangnya tadi. Kekuatannya boleh juga, sedikit latihan dari Beita akan membuat Serena tangguh. Al seketika terdiam. Dia bilang tidak mau menikahi Serena, tapi otaknya justru sibuk menyusun rencana untuk gadis itu. Malam beranjak datang. The Palace tampak memukau ketika langit gelap. Indah dengan kilau lampu berpendar di tiap sudut. Sebuah tempat yang terlihat seperti kediaman orang kaya seperti pada umumnya. Padahal sejatinya The Palace adalah benteng pertahanan dan markas rahasia untuk klan mafia Black Diamond. Tempat itu dirancang sedemikian rupa hingga tak sembarangan orang bisa menerobos masuk ke sana. Mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, Al masuk ke tempat Serena dirawat. Pria yang selalu memasang tampang dingin macam es di kutub utara, berjalan perlahan mendekat ke bed. Di mana Max selesai mengganti kantong darah untuk Serena yang terlihat sudah membuka mata. "Kau sudah datang? Aku tinggal kalau begitu. Tenang saja dia tidak akan menyerangmu, setidaknya untuk saat ini." Al mengibaskan tangannya pada Max yang lekas menyingkir dari sana. "Matikan CCTV!" Perintah Al. Serena mengkeret ketika berhadapan face to face dengan Al. Pria yang dirumorkan sebagai pemimpin klan mafia Black Diamond. Lelaki yang Thalia sebut tua bangka, doyan kawin, juga berperut buncit. Nyatanya pria di depannya masih muda, tampan rupawan dengan tubuh berotot tersembunyi di balik kemeja putih yang ia kenakan. Lihat saja lengan pria itu. Serena seketika bergidik ngeri, tadi pagi dia baru saja merasakan kekuatan lengan itu. Sakit, tubuhnya bahkan masih nyeri sampai sekarang. "Kenapa diam? Bukannya tadi pagi kau berani dan cerewet sekali?" Suara Al seolah menyedot habis persediaan oksigen di tempat itu. Dingin dan arogan jadi aura yang mendominasi pria yang ada di hadapan Serena. "Sa-saya, saya minta maaf. Saya tidak sengaja tadi pagi." Serena tampak kesusahan mengisi paru-parunya. Al menarik sudut bibirnya. "Tidak sengaja katamu?” Serena bergerak cepat menangkupkan dua tangan di tempat dada. Satu aksi yang membuat selang infus dan tranfusi darah tercabut. Al bereaksi cepat menaikkan tangan Serena, juga selang dua benda tadi, sebelum Max datang dan membetulkannya kembali. "Sembrono! Ceroboh!" Serena meringis mendengar makian Al. Gadis itu kehilangan nyali saat berhadapan dengan sosok Al. Tampan sih, tapi auranya macam malaikat pencabut nyawa sedang mencari mangsa. Sunyi sejenak menyelimuti tempat itu. Al hanya terus memandang wajah Serena yang tertunduk. "Kau tidak ingin tahu soal pernikahan?” Serena lekas mengangkat wajah, memandang pada Al yang satu tangannya masuk ke saku celana. "Anda bersedia?" Serena bertanya takut-takut. "Tergantung penawaranmu.” Sorot mata Al tajam, seolah ingin menerobos paksa ke dalam netra biru Serena. Al sendiri tak tahu apa yang dia rasakan untuk gadis di depannya. Satu yang pasti, dia benci saat Serena menatapnya. Dia tak suka, seolah tatapan seperti itu sudah ada yang memiliki, dan Serena tak boleh menirunya. "Memangnya apa yang Anda inginkan?" Serena sudah bertekad akan membawa ibunya keluar dari kediaman Hernandez tiga bulan lagi. Untuk semua itu, dia harus bisa meyakinkan Alterio Inzaghi agar menikahinya. Al menipiskan bibir, lantas berujar, "Sayangnya aku tidak tertarik dengan pernikahan ini.” Pria itu berbalik, berniat pergi. Sampai suara Serena membuat langkahnya tertahan. "Saya bisa melakukan apa saja. Asal Tuan mau menikah dengan saya." Al berhenti di tempatnya berdiri. “Kau ingin uang?” Pria itu bertanya seraya menatap Serena. Putri Nereida menelan ludah, uang adalah salah satu tujuannya, selain ingin membalas dendam. Dengan uang dia bisa mengoperasi ibunya. Dengan uang ibunya akan selamat. Demi hal itu, Serena beranikan diri memandang langsung wajah Al. “Iya, saya ingin uang.” Dua tangan Al terkepal. Benci itu terasa kian besar untuk Serena. “Ternyata kau sama saja dengan mereka!""Benjamin Cestra, tak pernah dilihat di manapun sejak hengkang dari Black Diamond."Alterio menerima kertas yang diulurkan Beita padanya. Keduanya sedang minum kopi setelah pria itu terlelap sekitar dua jam. Kecemasannya akan keadaan Serena dan kemarahannya pada Benjamin Cestra membuat seluruh saraf di tubuh Al selalu waspada.Beita sendiri yang menjaga Serena ketika Al dan Arthur tidur. Untungnya Riva yang kehamilannya mulai stabil, cukup mengerti dengan kondisi pekerjaannya.Tentu saja, setelah perempuan itu ditempatkan di mansion Alexander. Beita hanya pamit kalau ada masalah di kantor, jadi belum bisa pulang. Pria itu sama sekali tidak menyinggung masalah Serena yang kondisinya masih belum membaik."Glen bilang ada kemungkinan dia melakukan rekonstruksi wajah.""Bisa saja, tapi aku cenderung ke ...."Beita menyerahkan lagi lembar kedua di mana informasi mengenai topeng wajah yang bisa dibuat persis seperti yang customer inginkan. "Jika dia rekonstruksi wajah. Wajahnya akan sama t
"Tekanan darah.""90/80.""Saturasi.""Oksigen tujuh puluh lima persen, denyut nadi tujuh puluh per menit."Max menggeleng pelan mendengar laporan kesehatan dasar Serena. Pukul tiga pagi, mereka semua tidak bisa tidur. Jadi mereka melakukan apa saja untuk mengisi waktu.Itu belum Arthur yang terus bertanya soal keadaan ibunya. Benar-benar malam yang menegangkan. Ditambah Serena beberapa kali mengalami sesak napas. Hal ini tentu harus segera mendapat perawatan lebih lanjut. Mereka harus segera kembali ke The Palace."Tidak buruk, tapi tak baik untuk Serena. Kalau begini caranya kita tidak bisa pulang. Tapi kalau kita tidak segera pulang, makin bahaya. Aku perlu X-ray, CT Scan atau MRI, endoskopi kalau perlu. Pemeriksaan jantung lengkap. Dan di hutan tidak bisa," desah Max putus asa."Heli pad sedang diusahakan. Sebelum pagi kita sudah bisa terbang. Jaraknya cuma sepuluh sampai lima belas menit. Tidak jauh." Felix menjelaskan.Setelah tidak bisa tidur, Felix justru punya ide. Asal bisa
"Apa sampai taraf kritis?""Hampir," balas Max santai tapi jelas ada yang dia sembunyikan.Beruntung mereka membawa Yue. Hingga gadis itu bisa membantu Al membersihkan tubuh Serena, mengganti pakaiannya. Sampai perempuan itu kini terlihat lebih baik.Al yang sudah dapat vaksin, kini bisa bersentuhan dengan Serena yang sejak tadi belum juga bangun. Jangankan membuka mata, bergerak saja tidak.Tempat Serena sudah disterilkan, area itu harus dihindari untuk dua minggu ke depan. Guna menghindari sisa Rever yang masih bertahan. Tempat itu cukup mendapat sinar matahari pagi, hal ini bisa membunuh Rever secara alami.Max masih terus bergulat dengan berbagai peralatan medis yang sejak tadi dikirim menggunakan heli oleh Felix.Selain Vrai ada beberapa formula yang Max berikan. Semua ditangani sendiri oleh pria itu dan Glen hanya sekedar membantu.Beberapa formula bahkan harus diracik di tempat. Tes darah Serena juga dilakukan di sana. Tempat itu berubah jadi lab dadakan dalam dua jam. Tenda di
"Astaga! Ini bukan cuma Vrai setengah jadi. Ini sudah delapan puluh lima persen"Max berteriak dari balik kaca mikroskop, di mana dia sedang menguji cairan biru metalik yang ada di bandul kalung Yue. Rever tahap paling akhir bisa dipukul mundur walau belum mati sepenuhnya.Mereka hanya perlu sedikit "final touch" untuk menyempurnakan formula itu. Dalam sekejap, Glen dan Yue dibuat sibuk oleh perintah Max yang minta diambilkan ini dan itu.Sementara pria tersebut fokus dengan bejana kaca siap untuk menyempurnakan Vrai. Untuk kali pertama Glen dan Yue kolab di laboratorium. Keduanya jelas excited. Baru Glen sadari kalau Yue juga punya passion di bidang ini. "Bisa gabung di lab setelah ini," bisik Glen ketika mereka berpapasan di tengah jalan."Aku lebih suka drone," cengir Yue sambil lalu. Glen mendengus sebal. Gagal sudah dia dan Yue berkarir di bidang yang sama."Oke. Hubungi Al, suruh bawa Serena kembali ke sini. Vrai siap dalam lima belas menit."Glen langsung terhubung dengan Feli
Mungkin sebagian orang akan menyalahkan Serena. Kenapa perempuan itu bersikeras ikut menemui Thiery Jackson, padahal sudah tahu kalau resikonya besar. Itulah manusia, tidak semua hal yang dilakukan akan berakhir baik. Meski potensi hal buruk sudah ditekan sampai batas maksimal.Sama seperti Serena. Mungkin dia terlalu percaya diri dengan kemampuannya. Tidak mempertimbangkan opsi lain yang lebih baik. Seperti menunggu datangnya bantuan, misalnya.Ketika seseorang panik atau di bawah ancaman. Logika dan pertimbangan akan kabur seiring rasa takut yang tumbuh kian besar. Dan Serena mengalaminya.Kecemasannya akan nasib Yue menuntunnya pada kesalahan rencana serta hal lain yang terjadi di luar prediksi. Semua orang tidak akan menyangka. Kalau Thiery justru akan menggunakan Serena sebagai bahan uji coba Raver sekaligus membuat nyawa perempuan itu dalam bahaya.Dan sekali lagi, selaku perempuan yang lebih mengedepankan perasaan dibanding logika. Serena kembali melakukan kesalahan. Sisi ker
"Ibu, Ibu, Ibu!"Teriakan Arthur melengking, sekaligus membuat siapa saja yang melihatnya bisa ikut merasakan ketakutan juga kesedihan bocah itu.Alterio sudah coba menenangkan. Dia beritahu kalau ibunya akan baik-baik saja. Namun sang putra seolah tahu, kalau kondisi ibunya tidak seperti yang papanya beritahu."Papa bohong! Ibu jelas gak balas panggilanku. Itu artinya Ibu sakit, sakitnya parah. Ibu cuma gak bisa bangun kalau gitu. Papa cepet bangunin Ibu."Rengekan dan tangisan Arthur berakhir dalam dekapan Alterio. Pria itu kehabisan kata untuk membujuk Arthur, sebab dia pun sama takutnya dengan anaknya."Arthur tolong, sabar ya. Om Max lagi buat obat untuk nyembuhin Ibu. Arthur bisa nunggu kan?""Enggak bisa! Gak mau! Ini sudah lama banget dan Ibu belum juga bangun. Arthur mau Ibu sekarang!" Raung Arthur kian lantang.Edgar hanya bisa melihat ayah dan anak itu saling menguatkan. Alterio belum pernah serapuh ini. Dan Arthur belum pernah seemosional ini.Arthur masih menangis untuk b