Share

Bab 2. Dimas Kepergok dan Terusir

Tubuh Alin bergetar menahan emosi saat melihat Dimas sedang duduk bersandar di kepala tempat tidur sambil menonton video porno dan memuaskan dirinya sendiri.

"Apa-apaan kamu Alin!" bentak Dimas sambil buru-buru memperbaiki letak celananya dan mematikan video di telepon genggamnya.

"Kamu yang apa-apaan, Dimas! Saat aku meminta nafkah batiniah, kamu selalu mengabaikan! Namun, dibelakangku ini kelakuanmu!" bentak Alin sambil terisak.

"Apa kurangnya aku? Apa kamu jijik padaku?" tanya Alin berjalan mendekati Dimas.

Dimas yang saat itu sedang sangat bernafsu, emosi karena Aleena mengganggu kegiatannya. Pria itu menatap sang istri dengan tatapan nyalang dan menamparnya. Lalu melangkah pergi meninggalkan sang wanita yang menangis tersedu.

***

"Aku mau melamar kerja," kata Alin saat mereka lagi sarapan bertiga.

"Umur setua ini sudah susah bagi kamu mendapatkan kerja. Zaman sekarang orang mencari karyawan yang masih segar dan muda," ledek Dimas sambil menaikkan satu sudut bibirnya.

"Tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan, jika Dia sudah berkehendak. Jangankan itu, membuatmu di PHK dari pekerjaanmu saat ini adalah hal yang gampang bagi-Nya. Lagi pula, umurku masih 35 tahun. Masih layak untuk bekerja," sela Alin.

Sakit hatinya diremehkan terus oleh Dimas. Kesabarannya sebagai istri yang selalu menurut apa kata suami sudah habis. "Mulai sekarang, sekali kamu sakiti aku, aku sakiti kamu dua kali dan ini berlaku untuk kelipatannya," batin Alin.

Dimas melengos. Dia segera menghabiskan sarapannya, mencium pipi putrinya dan langsung berangkat kerja tanpa pamit pada Alin.

Alin menghembuskan nafasnya kasar. Tekadnya sudah kuat, untuk mencari pekerjaan. Alin harus mampu berdiri sendiri.

Pagi ini Alin berangkat ke sebuah perusahaan, setelah mengantarkan Nayla ke sekolah. Dia ingin memasukkan surat lamaran yang tadi subuh sudah disiapkannya. Setelah menitipkan surat lamaran ke satpam, Alin bergegas melakukan urusan yang lainnya.

Alin mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, menuju rumah saat semua urusannya hari ini selesai. Diliriknya jam yang melingkar di pergelangan tangan.

"Sudah lewat jam 10:00, cukup lama juga aku di luar," ucapnya pelan.

Alin mengernyitkan keningnya saat melihat mobil Dimas terparkir di luar pagar. "Kenapa Dimas ada di rumah? Ini jam kerja, 'kan?"

Alin memarkirkan mobilnya di belakang mobil Dimas karena menghalanginya untuk masuk ke halaman. Dia keluar dari mobil sambil memandang ke sekeliling. Namun, tidak melihat ada Dimas.

Dia mengintip ke dalam mobil, di sana juga tidak ada. Alin mengangkat bahunya dan perlahan berjalan menuju rumahnya.

Alin membuka pintunya pelan. "Tidak dikunci. Sepertinya Dimas ada di dalam," batinnya.

Alin menutup kembali pintunya perlahan. Dia memandang sekeliling rumahnya, tetapi tetap tidak melihat keberadaan pria berkulit coklat itu.

"Mungkin dia lagi di kamar."

Alin bergegas ke kamar. Perlahan tangannya memutar knop pintu dan mendorongnya. Tubuhnya menegang. Tas yang dipegangnya terjatuh, saat melihat dua orang yang berlainan jenis tanpa pakaian sedang melakukan hubungan terlarang.

Hal yang lebih parah adalah hal itu dilakukan di kamarnya. Di atas ranjang yang biasa dia pakai dengan suaminya.

Dua orang manusia bejat itu terkejut melihat kehadiran Alin dan segera memisahkan diri. Mengambil apapun yang bisa diambil untuk menutupi tubuh mereka.

Alin meraung. Entah kekuatan dan keberanian dari mana, dia mengambil tasnya yang terjatuh dan berlari memukul mereka secara bergantian.

"Mas, sakit," rengek wanita itu pada Dimas. Dimas segera memeluk dan melindungi wanita itu dengan tubuhnya. Hal itu membuat hati Alin semakin hancur. Dia semakin kalap memukul mereka.

"Hentikan, Alin! Kamu bisa membuat kami babak belur!" bentak Dimas.

"Biar saja! Aku tidak peduli! Kalau perlu kalian mati sekalian!" teriak Alin.

Dimas segera meraih tangan Alin dan ingin merebut tas yang dipegangnya. Namun, Alin berkelit, dia segera mengayunkan kakinya dan mengarahkannya ke inti tubuh Dimas yang terbuka.

Dimas terpekik saat kaki itu mendarat keras di sana. Tubuhnya gemetaran menahan sakit. Pada akhirnya, kaki Dimas tidak mampu lagi menahan beban tubuhnya dan merosot ke lantai.

"Sakit! Dasar, Wanita Brengsek!" teriak Dimas sambil memegang inti tubuhnya.

"Rasakan! Biar hancur sekalian. Dasar, Pezina!" teriak Alin.

"Kamu juga Meri. Tega sekali mengkhianatiku, sahabatmu sendiri. Kamu di depanku sangat prihatin dengan nasib rumah tanggaku."

"Mengajarkan aku supaya membeli lingerie. Namun, apa ini? Di belakang kamu menusukku! Tega kamu, Meri!" pekik Alin.

"Pelankan suaramu, Alin. Kamu bisa membuat semua orang datang ke sini," tukas Dimas.

"Aku tidak peduli! Biar semua orang di dunia tahu, betapa busuknya kalian!" raung Alin.

"Sayang, bagaimana ini? Kita bisa ketahuan. Aku takut," rengek Meri.

"Apa kurangnya aku, Dimas? Kenapa kamu lebih memilih melakukannya dengan Sundal ini daripada aku, istri sah, yang sudah halal bagimu?" tanya Alin sambil terisak.

"Kamu tidak menarik dan menggairahkan, Alin. Melihatmu saja aku sudah muak!"

Pernyataan itu merupakan hantaman besar bagi Alin. Dia tercekat dan menatap Dimas dengan nanar.

"Lalu, kenapa dulu kamu berprilaku seolah-olah sangat mendamba dan melamarku?" tanya Alin pelan.

"Entahlah. Itu juga yang menjadi pertanyaan seumur hidup bagiku. Menikahimu adalah kesalahan terbesar dalam hidupku!"

Darah Alin mendidih. Dia bergegas mengambil dua buah koper dari atas lemari dan memasukkan semua pakaian dan barang milik Dimas ke dalamnya.

Alin menarik kedua koper itu keluar dan melemparkannya ke teras. Dimas yang melihat hal itu segera memakai pakaiannya yang berserakan di lantai diikuti oleh Meri.

Dimas segera menyusul Alin keluar kamar dan menatap istrinya yang sedang duduk di sofa sambil bersedekap.

"Apa-apaan ini, Alin? Kamu mengusirku?"

"Iya, silahkan angkat kaki dari rumahku. Namun, ingat! Jangan pernah membawa mobil. Tinggalkan semua kunci dan surat-suratnya. Kamu tidak lupa, 'kan, kalau rumah dan dua mobil itu adalah pemberian orang tuaku?"

"Kalau bersikeras membawa, silahkan saja. Biar papaku membawa tukang pukul untuk menjumpaimu," ucap Alin sambil menaikkan satu sudut bibirnya.

Dimas mengerang. Lalu meletakkan kunci dan surat-surat mobil dengan kasar ke atas meja dan dengan langkah gontai berjalan keluar disusul Meri.

"Mas, kamu takut pada istrimu? Kenapa langsung mau saat di usir pergi?" tanya Meri.

"Kamu mau Alin membuat keributan yang mengundang semua orang datang ke sini? Masih untung ini jam kerja, jadi tidak ada orang yang mendengar teriakannya. Bisa diarak warga, jika semua orang tahu."

Meri merengut. "Mas mau kemana?"

"Entahlah, lihat nanti. Cepat masuk ke rumahmu, sebelum Alin mengamuk lagi."

Dimas segera masuk ke dalam mobil bututnya yang selama ini tidak pernah tersentuh karena lebih memilih memakai mobil baru pemberian mertuanya dan meninggalkan Meri yang memandangnya dengan cemberut. Dia tidak peduli, karena dia hanya menganggap Meri selingan semata.

Dimas mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, di jalan yang sepi dia berhenti dan memukul stir mobil. Dia membanting-banting kepalanya ke stir sampai meninggalkan bekas merah di sana.

"Sial! Alin mengusirku. Siapa nanti yang akan mengurus semua kebutuhanku?" Dimas mengacak-acak rambutnya dengan kasar.

Sejenak Dimas tertegun. Seulas senyum tipis hadir di bibir tebalnya saat teringat sesuatu.

"Mungkin inilah saatnya! Aku sudah tidak sabar ingin melakukan itu!" seru Dimas sambil menjentikkan jarinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status