Share

Bab 5. Kebenaran Yang Lainnya Terkuak

"Kenapa berhenti, Ma? Mama capek?" Nayla menatap Alin heran.

"Iya, Sayang. Namun, sudah hilang capeknya. Sekarang kita pulang, ya. Biar bisa istirahat."

Alin mengendarai mobilnya dengan hati kacau. Menahan tangisan saat ingin menangis adalah hal yang sulit dan diposisi itulah Alin saat ini.

Selesai mengerjakan tugas, Nayla tidur di kamarnya, sedangkan Alin termenung di kamar. Dengan berbaring di atas tempat tidur, Alin menangis sejadi-jadinya. Menumpahkan kesedihan yang dari tadi ditahannya. Entah berapa lama Alin menangis, hingga tertidur karena lelah.

Pagi hari mereka beraktivitas seperti biasa. Setelah mengantarkan Nayla ke sekolah, Alin melajukan mobilnya ke suatu tempat.

Hari ini, penampilan Alin sangat berbeda. Pakaian sangat modis dan semuanya bermerek, dipadu dengan riasan wajah flawless. Ada satu hal yang harus dia pastikan saat ini juga.

Alin berhenti di sebuah rumah yang kemaren sore dilihatnya. Dia memarkir mobilnya tidak jauh dari sana dan terus menatap rumah itu. Tidak lama kemudian pasangan yang dilihat Alin kemaren muncul dari dalam rumah. Mereka berjalan berangkulan menuju mobil sambil sesekali saling bertatapan mesra.

Perlahan Alin keluar dari dalam mobil dan menguncinya. Dia menghela nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan gejolak hatinya.

"Berapa banyak lagi rahasia yang kamu sembunyikan, Dimas?!" tanya Alin sambil berjalan dengan anggun mendekati pasangan itu. Mereka menoleh.

Ya.

Pria itu adalah Dimas, suami yang kemaren dipergoki Alin sedang berbagi peluh dengan wanita lain, saat ini sedang merangkul mesra wanita yang hamil besar.

Dimas tergagap. Wajahnya pucat memandang Alin sambil sesekali menatap wanita yang disampingnya.

"Jawab aku, Dimas! Kenapa diam saja?! Kemana perginya kemampuan bicaramu yang selama ini selalu menekanku?! Apa nyalimu mendadak ciut disebelah wanita hamil itu?!"

"Apa tidak cukup memberiku luka dengan berbagi peluh bersama sahabatku sendiri, sekarang kau beri aku luka yang baru. Berapa stok luka yang akan kau berikan padaku?"

"Kenapa kamu bisa ada di sini, Alin. Lalu apa-apaan penampilan kamu itu? Uang darimana kamu untuk beli pakaian bermerek dan ke salon seperti ini? Apa kamu jual diri?" tanya Dimas sambil menatap Alin dari puncak kepala sampai ujung kaki. Entah kenapa hatinya terasa nyeri membayangkan Alin jual diri.

Tangan Alin melayang di udara dan mendarat keras di pipi kanan Dimas. Menyisakan rasa nyeri dan jejak merah di sana.

"Jaga mulutmu Dimas! Selama ini aku menerima semua omongan kasarmu kepadaku. Namun, aku tidak pernah mengizinkan mulut busukmu itu, untuk menuduhku berbuat nista. Aku bukan semurahan kamu, yang mengobral murah selangkangan!"

Alin menarik satu sudut bibirnya dan menatap Dimas dengan pongah. "Kamu lupa siapa aku? Aku putri Sultan! Jangankan pakaian, dirimu pun bisa aku beli. Namun, aku tidak sudi mengeluarkan sepeser uang pun untuk sampah sepertimu."

"Jaga mulutmu, Mbak! Siapa kamu yang dengan lancangnya menghina suamiku seperti ini?"

Alin menatap wanita itu dengan bengis. "Ah, jadi kamu istrinya? Apakah kamu sudah menikah resmi dengannya?"

Wanita itu terdiam sejenak. Lalu berkata tegas. "Kami memang masih menikah siri, karena suami tercintaku memberikan alasan yang sangat bisa aku terima. Namun, setelah ini kami akan menikah resmi."

Alin tertawa mengejek lalu mengeluarkan 2 buah buku nikah dari dalam tasnya. Dimas yang melihat itu semakin ketar ketir.

"Kamu tahu, pria bajing*n disebelahmu itu adalah suamiku! Kami sudah menikah 10 tahun yang lalu dan memiliki anak berusia 8 tahun."

"Laki-laki gatal ini, juga telah memadu kasih dengan sahabatku di kamar tidur kami. Mereka selingkuh selama 2 tahun ini. Namun, aku dengan bodohnya sangat mempercayai mereka!"

Alin membuka kedua buku nikah itu dan mengacungkannya ke depan muka istri siri Dimas. Mata wanita itu membola lalu menutup mulutnya yang menganga. Sesaat kemudian, dia menatap Dimas dengan netra yang sudah basah.

"Tolong jelaskan, Mas! Kenapa kamu tega menipuku dan Ibu. Kamu bilang kamu sangat mencintaiku dari SD. Oleh karena itu, kamu tidak pernah menikah karena terus mencariku."

"Kamu juga bilang, kita menikah siri dulu, karena sedang memiliki masalah perusahaan yang harus diselesaikan di kota lain. Aku percaya karena aku mencintaimu, tetapi fakta apa ini, Mas?"

"Kasihan sekali anakku memiliki Ayah bejat sepertimu!"

"Mayang, dengarkan aku, Sayang. Aku jujur sangat mencintaimu. Hanya kamu satu-satunya di hatiku dari dulu hingga saat ini. Semua wanita di dunia ini tidak ada seorangpun yang bisa menggantikan posisimu di hatiku."

Dimas mencoba memeluk Mayang, tetapi di tepis oleh wanita cantik berwajah teduh itu.

"Lepas! Jangan sentuh aku! Aku jijik sama kamu, Mas! Kamu pembohong dan kotor! Semua yang ada di badanku, mulai dari puncak kepala sampai ujung kaki terasa kotor karena telah disentuh olehmu!"

"Dulu aku sangat terluka, saat calon suamiku menikahi wanita lain, 3 hari menjelang pernikahan kami. Kamu hadir dengan menawarkan cinta yang baru. Setiap hari selalu menambal hatiku yang terkoyak. Hingga akhirnya membuatku luluh."

"Namun, sekarang kamu memberikanku luka yang lebih parah. Kalian para lelaki sama saja! Tidak ada yang benar! Aku benci kalian! Aku benci kamu, Mas. Semua yang ada ditubuhku mengutukmu!"

Mayang meraung, memukul-mukul dada dan perutnya. Lalu menjambak rambutnya sendiri.

Dimas kalut melihat kondisi Mayang. Dia mencoba menenangkannya. Namun, setiap dia mencoba memeluk, Mayang menepis dan mendorongnya.

Alin yang melihat dan mendengar semua itu ikut menangis. Hatinya teriris mengetahui kebenaran, cinta Dimas tidak pernah ada untuknya melainkan untuk Mayang.

Pantas saja, selama ini Dimas begitu dingin dan kasar kepadanya. Manisnya hanya saat bulan madu. Semua kebenaran sudah terkuak. Hati Alin sakit, tetapi dia juga merasa kasihan dengan Mayang yang sedang hamil tua.

"Ini semua bukan salah Mayang, melainkan salah Dimas yang berotak kotor. Semoga Mayang bisa melewati semua ini," batin Alin sambil berlalu menuju mobilnya dengan netra yang sudah sangat basah. Alin mengendarai mobilnya sambil menangis.

Sementara itu Dimas dan Mayang sedang berebut kunci mobil. Penampilan Mayang sudah sangat kusut.

"Ini kunci mobilku, Mas. Pakai saja mobilmu yang butut itu!" teriak Mayang sambil menangis.

"Aku tahu Mayang, tetapi kamu lagi hamil besar. Biar aku yang menyetir."

"Tidak usah! Aku bisa tanpamu! Mulai sekarang aku akan pergi dari rumah terkutuk ini! Lepaskan aku atau aku bunuh diri!"

Dimas terpaksa menurut. Dia sangat mencintai Mayang. Namun, godaan dan nafsu mengalahkannya.

Mayang memasuki mobilnya, hatinya sangat sakit. Luka lama menganga kembali, ditambah dengan luka yang baru.

Mayang menyetir mobil, keluar dari pagar menuju jalan raya tanpa melihat kiri kanan. Pada saat itu, sebuah truk melaju kencang ke arahnya. Pengemudi truk tidak sempat lagi merem laju truk dan menabrak mobil Mayang hingga terpental dan terguling.

"Mayang!" teriak Dimas dan berlari ke sana dengan tubuh gemetaran.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status