Share

Bab 3. Dendam Meri

Alin yang kini sendirian di ruang tamu merasakan sepi menyergapnya. Dia tidak mampu lagi membendung tangis.

"Sekarang semuanya sudah usai. Hati ini sangat sedih dan terluka. Namun, mungkin ini yang terbaik daripada terus tersakiti karena sikapnya. Aku harus kuat demi Nayla" ucap Aleena pelan

Cukup lama Alin menangis. Semua kejadian demi kejadian yang melibatkannya dengan Meri dan Dimas muncul satu demi satu di kepalanya.

Alin tidak habis pikir Meri yang sudah dianggap seperti saudara sendiri tega menusuknya dari belakang. Perlahan Alin berdiri dari duduknya lalu berjalan dengan gontai keluar rumah, menuju rumah Merry.

Alin masuk ke halaman rumah Meri melalui pagarnya yang tidak tertutup rapat. Perlahan Alin mengetuk pintu rumah Merry. Tidak lama kemudian Mari keluar.

Saat melihat Alin, Meri mencoba untuk menutup pintu kembali. Namun, dengan cepat Alin mendorong pintu itu dan masuk tanpa persetujuan Meri.

"Jangan lancang masuk rumahku!" bentak Meri.

Alin menatap Meri dengan tajam. "Sejak kapan?"

"Apanya?" tanya Meri.

"Sejak kapan kamu menjadi duri dalam rumah tanggaku?"

Sejenak Meri terdiam lalu balik menatap Alin dengan tajam. "Dua tahun yang lalu."

Alin mendesah.

"Sudah selama itu. Sewaktu aku menceritakan semua masalah rumah tanggaku padamu, kamu menghibur seolah sangat perhatian terhadapku. Namun, ternyata kamu yang menjadi duri dalam rumah tanggaku!"

"Kenapa kamu melakukan ini, Meri? Padahal kamu tahu aku dan Nayla sangat menyayangimu." Alin menatap Meri dengan netra yang mulai basah.

"Ini semua karena aku mencintainya dari dulu. Bahkan, jauh sebelum kamu mengenalnya. Hatiku sakit saat dia menikahimu."

"Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menjadi sahabat yang menusukmu dari belakang," desis Meri.

Alin terisak. "Seandainya waktu itu kamu mengatakannya kepadaku, semua ini tidak akan terjadi Meri. Aku akan menolak saat dia melamarku. Kenapa harus dengan cara seperti ini."

"Aku menyayangi dan memperlakukanmu seperti saudaraku sendiri. Begitu juga dengan Nayla, yang sangat menghormatimu."

"Apakah pasangan yang memberikan nafkah lahir dan batin itu adalah suamiku?" tanya Alin. Di dalam hati dia berharap Meri membantahnya.

"Iya. Dimas memberikan apapun yang aku inginkan. Walau terkadang suamiku jauh, tidak masalah buatku, karena ada Dimas yang menggantikannya di sisiku, tanpa sepengetahuan dirimu yang bodoh!" seru Meri.

Kamu benar-benar iblis! kamu berlaku seolah-olah sangat menyayangi aku dan Nayla. Nyatanya kamu adalah ular berbisa."

"Sudahlah, Alin. Tinggalkan saja Dimas, dia bahagia bersamaku."

"Silahkan! Ambil saja! Aku tidak sudi menampung bekasmu. Kalian berdua sangat cocok. Sudah sepatutnya maling dan penipu bersatu!" seru Alin.

Alin keluar dari rumah Meri dengan dada yang sesak. Berulang kali dia memukul dadanya dengan harapan bisa menghilangkannya sedikit saja.

Begitu sampai di depan pagar rumahnya, Alin tertegun. Di teras rumah sudah menunggu mama dan papanya. Alin menghapus semua jejak air mata dan berjalan cepat ke arah mereka dengan hati was-was.

'Mataku sangat sembab sekali. Mama dan Papa pasti menyadarinya. Apa yang harus aku katakan pada mereka nanti?'

"Mama dan Papa kenapa tidak bilang mau datang?"

Melisa, mama Alin, tersenyum dan menatapnya lembut. "Kami mau memberikan kejutan buatmu dan Nayla. Tadi Mama dan Papa mengecek hotel dan kontrakan. Jadi sekalian saja mampir ke sini."

"Kamu dari mana, Nak?"

"Dari rumah Meri, Ma," ucap Alin sambil menunduk menyembunyikan matanya yang sembab.

Namun, hal itu sia-sia saja, karena Melisa dan Bram sudah terlanjur melihatnya.

"Ayo, masuk dulu. Kita mengobrol di dalam saja," ucap Bram merangkul anak dan istrinya dan membawanya masuk ke dalam rumah.

Di sofa, mereka duduk berhadapan. Bram dan Melisa menatap Alin yang sedari tadi menunduk.

"Ada apa? Jika ada yang membuatmu resah, ceritakan saja pada Mama dan Papa. Tidak usah ragu dan malu," ucap Melisa lembut.

Alin yang sedari tadi menahan sesak di dada, tidak sanggup lagi. Pertahanannya luruh. Dia menangis menumpahkan semua kepedihannya.

Melisa dan Bram saling bertatapan dengan penuh kekhawatiran. Melisa bangkit dan duduk di sebelah Alin. Memeluk putri semata wayangnya dengan erat.

"Dahulu, untuk mendapatkanmu, Mama dan Papa melakukan berbagai upaya, hanya demi kamu hadir di perut Mama. Mendapatkanmu itu sangat susah, sehingga selama ini kami sangat menjaga dan memanjakanmu."

"Sedih hati kami saat kamu harus ikut suami setelah menikah. Namun, kami sadar itulah kodrat. Satu hal yang harus kamu tahu, sampai kapanpun kamu tetap putri kecil kami," lirih Melisa sambil mengelus punggung Alin lembut.

"Sekarang sedih rasanya melihatmu menangis seperti ini. Tumpahkan semua kesedihan kamu sayang. Jangan ada yang tersisa. Biar nanti kamu kembali tegar menjalani hari-harimu. Mama dan Papa akan selalu ada buatmu.

Cukup lama Alin menangis dipelukan Melisa. Hingga akhirnya tangisan itu berhenti, menyisakan sesenggukan sesekali. Bram bangkit dan menuju dapur, tidak lama kemudian dia datang membawa segelas air putih.

"Minumlah, Nak," ucap Bram sambil menyodorkan gelas ke Alin.

Alin mengambil dan menyeruput isi gelas sampai habis. Lalu kembali memeluk Melisa.

"Ceritalah, biar bebanmu berkurang," ucap Melisa lembut sambil mengelus punggungnya lembut.

Perlahan Alin mengangkat kepalanya dan menatap orang tuanya secara bergantian. Rasanya berat sekali mulutnya untuk bergerak menyampaikan semua lara ke orang tua.

Selama ini, Alin menyimpan semua duka dan nestapa sendiri. Semua kesulitan hidup, yang dialami selama berumah tangga ditutup rapat. Padahal orang tuanya sangat mampu untuk membantunya. Mereka adalah pemilik kontrakan dan hotel bintang lima di berbagai kota.

"Dimas mana? Lagi kerja?" tanya Bram karena Alin tidak kunjung membuka mulutnya.

Alin menggeleng. "Tidak tahu, Pa. Aku mengusirnya. Dia sudah membawa semua barang-barangnya tanpa ada yang tersisa." Alin tertunduk menyeka air matanya.

Bram dan Melisa terkejut. Bram bangkit dan duduk di samping Alin. Dia meraih tangan Alin dan mengelusnya.

"Nak, Papa dan Mama selalu bilang, setiap biduk rumah tangga pasti ada ujiannya. Begitu juga dengan kami, tetapi selagi masih bisa diselesaikan dengan baik-baik, lakukanlah! Apa kesalahannya sudah sangat fatal, sampai kamu tidak bisa memaafkannya?"

Alin kembali terisak mengingat semuanya. Dia mengangguk. "Sangat fatal, Pa. Hatiku remuk saat melihat dengan mata kepala sendiri, Dimas memadu kasih dengan sahabatku, Meri, di kamar tidur yang biasa kami pakai. Aku hancur, Pa. Rasanya sangat sakit."

"Entah kurang apalagi aku ini. Aku sudah mengikuti permintaannya untuk berhenti dari pekerjaanku! saat karir sedang di puncaknya."

"Aku juga ikhlas, saat dia tidak memberikan nafkah lahir dan batin kepadaku. Namun, ternyata semua itu yang menerimanya adalah wanita lain. Mereka telah berselingkuh selama 2 tahun di belakangku."

Alin menangis sambil memukul-mukul dadanya untuk melegakan rasa sesak yang membuncah di dada. Melisa yang mendengar dan melihat kondisi anaknya ikut menangis sambil memeluk Alin dengan erat.

"Alin, lihat Papa. Apakah kamu mau menjawab satu pertanyaan Papa? Ini sangat penting!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status