Share

Bab 4. Kembali Terguncang

Alin menatap Bram dengan berurai air mata. Dia mengangguk.

"Apa sebelum Dimas pergi, kalian pernah melakukan hubungan suami istri?"

Tangisan Alin semakin keras mendengar pertanyaan papanya. Hal ini membuat Bram memandangnya dengan penuh kekhawatiran.

"Tidak apa-apa, Nak. Katakan saja semuanya pada Papa," ucap Melisa sambil terisak.

Alin mengangguk. "Dia memaksaku, Pa! Dia memperlakukan aku seperti sampah!" raung Alin.

Bram mengepalkan tangannya dengan kuat. Wajahnya memerah menahan amarah. Seandainya saja, saat itu di depannya ada Dimas, mungkin dia akan memukulnya sampai tidak bernyawa.

Bagi Bram, Alin adalah harta paling berharga di antara semua harta benda yang dia miliki. 10 tahun dia dan Melisa berjuang dan akhirnya lahirlah Alin, tetapi sekarang seseorang malah semena-mena terhadap anaknya.

"Mulai sekarang kamu ikut dengan Mama dan Papa. Kamu uruslah beberapa hotel dan kontrakan. Papa akan mengurus perceraian kamu dengan Dimas. Manusia biadab itu tidak akan pernah Papa maafkan.

"Mudah-mudahan saja kamu tidak hamil. Namun, walaupun kamu hamil, kamu jangan pernah kembali padanya. Papa tidak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi!"

Dimas mengeluarkan kartu debit berwarna hitam dan menyerahkannya ke Alin. Alin menerimanya dan memandang papanya dengan bingung.

"Mulai sekarang, kartu ini untukmu. Pakailah sesuka hati. Belilah apapun yang ingin kamu beli. Perbaiki penampilanmu. Tunjukkan pada Dimas, kamu bisa bersinar dan berkilau tanpanya. Maafkan Papa, karena tidak mengetahui semua kesulitan hidupmu selama ini."

Bram menangis. Hatinya remuk melihat keadaan putri semata wayangnya. Dia merasa gagal menjaga Alin, padahal itu bukan lagi tanggung jawabnya.

Alin memeluk dan menghapus air mata Bram. Diikuti dengan Melisa. Mereka bertiga menumpahkan semua duka bersama.

"Kamu ikut tinggal dengan Mama dan Papa di kota Metro, ya, Nak. Rumah ini dan seluruh isinya kita jual saja. Biar kamu tidak teringat lagi dengan semua itu, setiap memasuki kamarmu," ucap Melisa saat mereka semua sudah tenang.

"Maaf, Ma. Aku tinggal di kota ini saja, ya. Nayla sekolah di sini. Lagipula aku sedang menunggu panggilan atas surat lamaran kerja yang sudah disebar di beberapa perusahaan."

Bram menatap Alin dengan lembut. "Untuk apa mencari kerja lagi. Kamu itu pewaris kami, Nak. Semua hotel dan kontrakan itu, kamu yang akan mengurusnya nanti."

"Justru itu, Pa. Aku ingin mencari pengalaman dulu dengan bekerja ditempat lain. Supaya, suatu saat nanti aku bisa menjadi pemimpin yang baik. Namun, untuk hotel dan kontrakan yang ada di kota ini, biar aku yang memantaunya. Supaya Papa tidak capek bolak-balik ke sini.

"Baiklah kalau begitu. Namun, rumah ini tetap di jual. Sekarang kita bereskan semua barangmu dan Nayla. Papa akan menyuruh anak buah ke sini. Hari ini juga, pindah ke rumah yang di dekat sekolah Nayla. Papa tidak mau kamu tinggal lagi di rumah penuh kenangan buruk ini."

Alin mengangguk pasrah. Dia duduk dengan memeluk Melisa di sofa sedangkan Bram menelpon anak buahnya yang ada di kota ini. Semua itu adalah hal yang mudah untuk Bram Wijaya.

Tidak lama kemudian, mereka datang. Mereka bergerak cepat membereskan dan memindahkan semua barang yang penting-penting saja dan membawanya ke rumah baru.

Semua bekerja dipantau oleh Bram. Mobil, rumah dan semua perabotan akan dijual oleh pria separuh baya itu. Alasannya, tidak mau membawa semua kenangan tentang Dimas. Untuk Alin akan dibelikan yang baru.

Sore menjelang saat semuanya beres. Alin sudah ada di rumah baru yang jauh lebih besar dan bagus. Rumah ini adalah rumah khusus orang tuanya, jika ke kota ini untuk mengurus bisnis mereka. Bram dan Melisa sudah kembali ke kota Metro, karena ada keperluan mendesak.

Di rumah ini semua lengkap. Ada Pak Narno, satpam yang menjaga rumah karena sering kosong dan Bik Narsih, Asisten Rumah Tangga, yang adalah istri Pak Narno. Mereka tinggal di rumah minimalis yang terpisah dengan rumah induk. Namun, masih dalam satu pekarangan. Sebenarnya masih ada satu satpam lagi, Joko, tetapi tidak tinggal di sini.

"Kita mau kemana, Ma? Kenapa jalan kaki? Nanti mobil Mama hilang kalau di tinggal," ujar Nayla saat mereka berjalan beriringan ke ke rumah yang berjarak 100 m dari sekolah.

Alin menatap anaknya sambil tersenyum misterius. "Mama punya kejutan buat kamu!" seru Alin.

"Wah, aku tidak sabar mau lihat kejutannya, Ma."

"Kalau begitu, ayo, semangat jalannya!"

Nayla menatap kagum, begitu sampai di depan rumah baru mereka. Lalu menoleh ke mamanya.

"Ma, ini rumah siapa? Bagus dan besar sekali. Ada satpam juga.

"Ini rumah Oma dan Opa. Mulai sekarang kita tinggal di sini," kata Alin sambil membawa Nayla masuk.

"Benar, Ma? Aku suka, Ma. Kamar aku mana?" Nayla menatap bingung karena rumah itu terdapat banyak kamar.

Alin tersenyum dan merangkul Nayla. Dia membawa Nayla ke sebuah kamar yang lebih besar dari kamar lamanya. Di sana sudah di lengkapi dengan tempat tidur dan meja belajar baru.

"Mama yang beli semua ini? Mama hebat. Biasanya untuk membeli baju saja, Mama tidak mau karena masih bisa dijahit. Kita juga lebih sering makan tahu dan tempe karena harus irit agar bisa bayar uang sekolah aku."

Alin tersenyum getir dan memeluk anaknya. "Sekarang itu semua tidak akan terjadi lagi, Sayang. Mulai sekarang, kita akan belanja sepuasnya dan memakan apapun yang kamu mau. Maafkan Mama, karena selama ini tidak bisa memenuhi semua kebutuhan kamu, Sayang."

Nayla mengangguk. "Kamar Mama dan Papa dimana? Aku mau lihat," rengek Nayla manja.

Alin membawa Nayla ke kamarnya. Nayla kembali takjub melihat kamar Alin yang besar dan tempat tidur yang bagus. Ada meja kerja juga di sana.

"Ini meja kerja Papa, Ma?"

Alin menggeleng. "Ini punya Mama, karena akan mulai bekerja. Lalu, Papa tidak akan tinggal dengan kita di sini."

Nayla memandang Alin dengan tatapan tidak mengerti. "Maksud Mama, kita di sini berdua saja?"

Alin mengangguk. Ini saatnya dia memberitahu anaknya. Kalau semua tidak akan lagi sama.

"Mulai sekarang, Mama dan Papa tidak bisa bersama-sama lagi, karena dengan tinggal bersama, kami hanya akan menyakiti satu sama lain. Itu semua tidak bagus untuk kondisi kejiwaan kami."

"Namun, Nayla jangan khawatir. Itu bukan berarti Nayla akan kehilangan kasih sayang Papa. Kamu boleh ketemu dengan Papa, sebanyak apapun yang kamu mau dan papamu bisa.

"Setiap Nayla rindu, bisa telepon Papa. Jangan khawatir, ya."

Gadis kecil berusia 8 tahun itu mengangguk. Otaknya yang cerdas mampu mencerna penjelasan mamanya dengan baik.

"Sekarang, kamu mandi sore. Habis itu, kita belanja di Mall. Kamu boleh beli apapun yang kamu mau."

Nayla mengangguk dan tersenyum senang. Lalu berlalu ke kamarnya. Sementara Alin, terduduk di pinggir tempat tidur sambil menangis. Selama bertahun-tahun menahan semua perlakuan zalim dari suami, hanya demi Nayla tetap memiliki keluarga yang utuh.

Namun, sekarang tibalah saatnya semua itu harus berakhir. Alin berharap kejiwaan Nayla tidak terguncang oleh perpisahan orang tuanya.

Sore ini, Alin dan Nayla berbelanja di Mall, membeli apapun yang mereka inginkan. Sampai mereka kerepotan mengangkut tas belanjaan berisi pakaian dan barang-barang bermerek lainnya.

Mereka juga ke salon ternama. Alin melakukan perawatan serta memotong dan mewarnai rambutnya. Hal yang selama ini tidak bisa dia lakukan karena tidak memiliki uang.

"Mama cantik sekali. Terlihat lebih muda. Seperti mama temanku yang kaya raya itu, Ma." Nayla takjub melihat penampilan baru Alin dengan rambut sebahu berwarna blonde.

Alin tersenyum. Lalu membawa Nayla pulang. Diperjalanan dia tertegun, karena melihat, beberapa meter di depannya, sebuah mobil yang tidak asing lagi berhenti di depan sebuah rumah di pinggir jalan yang akan dilewatinya.

Alin menghentikan mobilnya dan memperhatikan mobil itu. Tidak lama kemudian muncullah seorang laki-laki dari balik kemudi dan bergegas membuka pintu di sebelahnya.

Seorang wanita yang sedang hamil besar muncul dan dirangkul oleh sang pria berjalan memasuki rumah. Mereka terlihat sangat bahagia. Dada Alin sesak dan sebisa mungkin menahan tangisnya agar Nayla tidak khawatir.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status