Share

DIBUANG KARYAWAN, DINIKAHI SANG CEO
DIBUANG KARYAWAN, DINIKAHI SANG CEO
Author: MIREYA

Bab 1. Dari Lingerie Menjadi Oh, Ngeri!

Sempurna!" seru Alin sambil mematut dirinya di depan cermin. Riasan wajah tipis dilengkapi dengan lingerie warna ungu membuat dirinya terlihat cantik dan menggoda.

"Tidak sia-sia aku menyisihkan sedikit uang belanja beberapa bulan ini untuk membeli pakaian kurang bahan hanya demi membahagiakan suamiku," batin Alin.

Bukan tanpa alasan Alin melakukan itu. Semua itu berawal dari hasil diskusinya dengan Meri, sahabatnya, beberapa bulan yang lalu.

5 bulan yang lalu.

"Wajah kamu berseri-seri sekali. Apa rahasianya?" tanya Alin pada Meri yang tinggal di sebelah rumahnya.

"Ah, biasa saja. Hanya nafkah lahir dan batin yang cukup dari pasangan," jawab Meri sambil tersipu malu. Alin dapat melihat pancaran kebahagiaan dari wajah wanita berlesung pipi itu.

Seketika senyum di wajah Alin menghilang, dia tercenung. Hal ini membuat Meri menatap Alin dengan heran.

"Kamu kenapa? Apa ada yang salah dengan perkataanku?" tanya Meri pelan.

Alin menggeleng. "Tidak, kok. Hanya saja aku merasa kamu sangat beruntung. Andai aku juga mendapatkan hal yang sama dari suamiku," lirih Alin.

Meri menyentuh bahu Alin. Kemudian mengusapnya dengan lembut.

"Maaf sebelumnya. Apa kamu tidak bahagia dengan pernikahanmu?" tanya Meri.

"Dulu aku sangat bahagia. Namun, semakin lama banyak hal yang mengganjal di hatiku. Suamiku tidak pernah lagi memberikan nafkah lahiriah maupun batiniah."

"Bahkan, aku tidak ingat lagi kapan terakhir kali dia menyentuhku. Dia juga tidak peduli dengan kebutuhanku," jawab Alin sambil menatap Meri dengan netra yang berkaca.

Mata Meri membola. Dia menutup mulutnya dengan sebelah tangan.

"Alin, kenapa kamu tidak pernah cerita. Lalu bagaimana jika kamu menginginkan sesuatu kalau dia tidak memberikan nafkah?"

"Aku menyisihkan sedikit demi sedikit uang dapur pemberiannya untuk membeli kebutuhanku," bisik Alin. Dadanya terasa sesak menahan semua kesedihannya.

"Alin, coba pancing suamimu dengan lingerie di saat kalian sedang di dalam kamar berdua. Berdandanlah dengan cantik. Pria suka dengan hal yang seperti itu. Kamu memilikinya, 'kan?" nasehat Meri.

Alin menggeleng. "Dulu aku punya, tetapi semuanya sudah robek karena aku membelinya saat akan menikah dulu. Kamu tahu sendiri, sekarang anakku sudah SD. Ingin sekali membelinya lagi, tetapi setiap kali aku menyisihkan sedikit uang dapur, selalu saja ada kebutuhanku yang lebih mendesak.

"Kasihan sekali kamu, Al. Kenapa kamu tidak bekerja saja? Nayla sekarang sudah sekolah di full day school. Pergi pagi dan pulang sore. Kamu punya banyak waktu luang untuk bekerja," usul Alin.

"Itu yang belakangan ini aku pikirkan. Semoga saja suamiku memberi izin. Dulu dia yang menyuruhku berhenti bekerja karena cemburu dengan lelaki yang mengagumiku."

Meri menarik nafas panjang dan menghembuskannya kasar. "Semoga dia memberikan izin," ucap Meri pelan.

Lamunan Alin terhenti saat terdengar suara mobil berhenti di garasi. Dia bergegas keluar kamar dan menyambut suaminya dengan senyum cerah.

"Kenapa baru pulang, Mas? Lembur, ya?" tanya Alin lembut. Dia sengaja berdiri di depan Dimas, agar suaminya itu bisa melihat penampilannya.

Namun Alin sedikit kecewa, saat Dimas berlalu tanpa memperhatikannya.

"Mana?" tanya Dimas sambil menatap sekeliling.

"Apa yang mana?" tanya Alin heran sambil berjalan mendekati Dimas.

"Nayla mana?" Seketika Alin tercenung mendengar pertanyaan suaminya.

"Mas, ini sudah jam 12 malam. Nayla sudah tidur. Lagipula kamu sedikitpun tidak menanyakan kabar tentangku. Hanya Nayla yang ditanya. Aku sudah menunggumu pulang dari tadi. Melihatku saja kamu enggan, Mas," protes Alin.

"Kamu itu sudah tua, Al. Tidak perlu ditanya juga tetap hidup, 'kan?" ketus Dimas sambil berlalu menuju kamar.

Dimas meletakkan tas di atas sofa kamar dan bergegas ke kamar mandi tanpa mempedulikan Alin yang mengikutinya dengan pandangan penuh kekecewaan.

"Sampai kapan kamu akan mengabaikan aku, Mas?" desah Alin.

Alin bergegas mengambilkan pakaian ganti di lemari dan meletakkannya di atas kasur. Dia duduk di samping baju itu, dengan harapan suaminya memperhatikan penampilannya saat mengambil baju.

Alin tertegun saat mendengar suara getaran dari tas suaminya. Karena penasaran, dia mengambil telepon genggam suaminya dari dalam tas dan menyentuh layarnya. Terlihat pemberitahuan sebuah pesan di sana.

"Siapa yang menghubungi Dimas jam segini?" tanya Alin pelan.

Rasa penasaran membuatnya membuka pesan itu. Dia tertegun saat membaca isi pesan dari seseorang yang bernama Hendro.

Hendro: terima kasih, ya, Mas. Besok lagi.

Alin berpikir sebentar lalu mengabaikannya. Dia merasa tidak ada hal istimewa dari pesan itu.

Dia bergegas menghapus pesan dari Hendro, karena takut ketahuan suaminya sudah lancang membuka pesan. Kemudian meletakkan kembali telepon genggam di posisi semula.

Alin kembali duduk di dekat baju suaminya. Tidak lama kemudian Dimas membuka pintu kamar mandi dan berjalan menuju lemari.

"Mas, bajunya sudah aku ambilkan. Ini," kata Alin.

Dimas tetap melanjutkan mengambil baju tanpa menoleh. "Aku tidak mau pakai baju itu."

"Kamu itu kenapa, Mas? Kalau aku ada salah, bilang. Kenapa ketus terus. Apa kurangnya aku ini?" Alin menatap tajam suaminya.

"Tidak usah drama, Alin. Selalu seperti itu. Aku itu capek pulang kerja. Butuh istirahat, bukan butuh protes kekanakan kamu itu! Semakin lama tingkahmu membuat aku jijik!" seru Dimas sambil naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti tubuhnya.

Alin menghela nafas panjang. Lalu mengikuti suaminya naik ke atas tempat tidur dan berbaring di sebelah suaminya.

"Mas," desah Alin.

"Apa?" tanya Dimas datar dengan tetap memejamkan mata.

"Kamu mau langsung tidur, Mas. Apa kamu tidak mau memberikan aku nafkah batiniah?" tanya Alin sambil memainkan jarinya di pipi Dimas.

Dimas berdecak dan menepis jari Alin. "Jangan macam-macam, Al. Aku lelah!" bentaknya. Dia membelakangi Alin dengan kasar.

Alin mengelus dada. Netranya mulai berkaca. Dia sudah sampai di titik lelahnya. "Baiklah, Mas. Jika itu mau kamu. Aku juga sudah lelah merendahkan harga diriku di hadapanmu," batin Alin.

Alin memejamkan mata dan mencoba berdamai dengan luka hatinya. Tidak lama kemudian dia tertidur pulas.

Alin terbangun saat merasakan penuh di kantung kemihnya. Dia segera bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Selesai menunaikan hajatnya, dia kembali menuju tempat tidur.

Sesaat dia tertegun saat menyadari Dimas tidak ada di kamar. Alin keluar kamar untuk mencari keberadaan suaminya.

"Di mana Dimas? Kenapa dia tidak tidur? Tadi katanya lelah, sampai tidak mau menafkahi aku," batinnya.

Sayup-sayup Alin mendengar suara dari kamar tamu. Perlahan Alin berjalan ke sana dan menempelkan telinganya ke pintu kamar yang tertutup.

Alin terkejut saat mendengar suara desahan Dimas dari dalam.

"Kamu hebat sekali, Di. Lagi," erang Dimas.

Alin membuka pintu yang tidak terkunci dengan kasar. Matanya membola saat melihat kondisi Dimas saat itu. Tubuhnya gemetaran dan kaki terasa lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status