"Maksudmu, kamu meminta kembali mahar yang sudah kamu berikan padaku?" tanyaku pada Mas Bayu.
"Tentu saja kau harus mengembalikan mahar itu," jawabnya tanpa ragu. Mas Bayu berhenti bicara sejenak untuk mengambil napas.
Tidak ada rasa bersalah sedikitpun di antara perkataanya. Semua diucapkan dengan yakin.
Seharusnya dia malu mengatakan semua itu. Meminta kembali mahar yang sudah dia berikan, setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Seperti mencabik harga dirinya sendiri.
"Anggap saja pernikahan kita tidak pernah ada," lanjutnya.
Jantungku terasa diremas mendengar ucapan Mas Bayu. Bagaimana dia bisa mengatakan itu? Apakah aku begitu buruk sehingga dia tidak ingin mengakui pernah menikah denganku?
"Kenapa kamu terburu-buru sekali meminta mahar itu? Jangan-jangan kau masih berhutang mahar untuk istri barumu?" tanyaku sembari memiringkan bibir.
Aku merasa puas melihat Mas Bayu terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kurasa perkiraanku benar, bahwa Mas Bayu belum memberikan mahar untuk Sinta.
"Mengapa diam, Mas? Jadi aku benar? Kasihan sekali istri barumu, Mas!" sindirku penuh kemenangan.
"Jaga ucapanmu, katakan saja padaku apa syarat kedua agar kamu mau mengembalikan mahar itu?" Mas Bayu menatapku dengan penuh kebencian. Tatapan ini lebih menyeramkan daripada tatapan Pak Manajer HRD saat sedang mewawancaraiku.
"Semua orang berpikir aku adalah wanita yang tidak suci. Ini karena ulahmu dan keluargamu, Mas. Jadi, syarat kedua adalah kamu dan keluargamu harus membersihkan nama baikku." Aku membalas tatapan Mas Bayu dengan penuh amarah.
"Apa maksudmu?" tanya Mas Bayu dengan dahi berkerut.
"Keluargamu sudah menyebarkan kabar tidak baik tentangku, 'kan? Kalian harus kembali membersihkan nama baikku." Aku terus menatapnya dengan amarah.
"Apa yang kamu katakan? Aku dan keluargaku tidak pernah melakukan itu," elak Mas Bayu tidak ingin mengakui kesalahannya.
"Aku tidak percaya, siapa lagi yang melakukannya jika bukan kalian?" tanyaku tidak mengerti.
"Mana aku tahu." ujar Mas Bayu masih dengan ekspresi pura-pura bodohnya.
"Aku tidak peduli, Mas. Pokoknya kalian harus membersihkan nama baikku," ucapku sembari meninggalkan Mas Bayu yang masih berdiri mematung.
Aku bergegas meninggalkan kantor dan pulang ke rumah dengan perasaan dongkol. Mas Bayu sudah merusak hari pentingku.
"Kamu kenapa, Nak?" tanya ibu saat aku sudah sampai di rumah. Ibu yang melihatku sedang kesal, membawakan aku segelas teh hangat. Ah, ibu memang paling mengerti aku.
"Tidak apa-apa, Bu. Aku hanya lelah saja," jawabku berbohong.
"Kamu sudah melakukan bagianmu dengan berusaha sebaik mungkin. Berdoalah, lalu serahkan bagian lainnya kepada Tuhan," ucap ibu menyemangatiku.
Ibu duduk menemaniku minum teh hangat. Aku memang memiliki kebiasaan minum teh hangat di saat pikiranku sedang kacau.
Entah karena efek dari kandungan teh, atau karena perkataan ibu, pikiranku menjadi lebih tenang.
Hari ini Thalia mengunjungiku sepulang dia bekerja. Dia mengajakku untuk jalan-jalan dan makan di luar. Aku menolaknya, karena hari ini aku sangat lelah.
"Aku jadi ingat masa sekolah dulu, Na. Kamu selalu menolak kalau diajak jalan-jalan. Ternyata kamu masih sama seperti dulu ya," ucap Thalia tanpa sedikit pun menunjukkan rasa kecewa. Dia malah tertawa-tawa, mungkin karena ingatannya yang berkelana di masa lalu kami.
"Aku hanya merasa lelah jika terlalu lama di luar rumah, Tha. Lagi pula bukankah baru kemarin kita jalan-jalan?" protesku pada Thalia.
Aku ingat betul hobi Thalia sejak kami masih duduk di bangku sekolah. Thalia memang sangat suka jalan-jalan. Setelah hampir satu tahun kami tidak bertemu, ternyata dia tidak berubah sama sekali. Dia juga selalu baik hati.
"Aku mengerti, kamu pasti lelah setelah wawancara kerja tadi. Lagi pula, ini sudah terlalu sore. Kamu butuh istirahat. Aku akan pulang saja," ucap Thalia setelah kami berbasa-basi.
"Maaf ya, Tha. Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku akan mentraktirmu setelah aku diterima kerja?" tanyaku dipenuhi rasa bersalah.
Sebenarnya aku juga tidak terlalu yakin akan diterima bekerja di perusahaan itu. Apalagi setelah kehadiran Mas Bayu di ruang tunggu, membuat konsentrasiku terganggu saat wawancara berlangsung.
"Itu masih lama. Paling tidak seminggu lagi, kamu baru akan mendapatkan panggilan kerja. Bagaimana kalau besok aku datang lagi ke rumahmu? Kita bisa masak-masak dan makan bersama seperti dulu, bagaimana?" tanya Thalia dengan bersemangat.
"Ide yang bagus, Thalia. Ke sinilah besok. Ibu yang akan berbelanja. Naina pasti senang jika kamu datang ke sini. Akhir-akhir ini dia sering melamun dan menyendiri." Ibu tersenyum menghampiri kami sambil membawakan kudapan dan secangkir teh hangat untuk Thalia.
Kami menikmati kudapan yang dibawakan ibu sembari mengobrol tentang banyak hal.
Sejak saat itu, Thalia jadi sering main ke rumahku. Ibu benar, kehadiran Thalia cukup menghiburku, meski aku tidak pernah menceritakan masalahku dan kecemasanku kepadanya.
"Ternyata kamu masih mau berteman denganku, Tha? Kamu menjauhiku semenjak diwisuda, kukira kamu sudah tidak mau berteman denganku yang hanya lulusan SMA ini," keluhku pada Thalia.
"Kamu ini bicara apa, Na? Aku menjauhimu bukan karena itu. Aku menjauhimu karena …." Thalia menggantungkan kalimatnya. Dia tampak sedang memikirkan sesuatu.
"Karena apa, Tha?" tanyaku dengan tidak sabar.
"Aku menjauhimu karena kamu bertunangan dengan Bayu." Thalia menghentikan perkataannya sejenak untuk mengambil napas."Aku kecewa, Na. Aku sudah berkali-kali bilang bahwa Bayu tidak baik untukmu, tapi kamu tidak pernah mendengarkan aku. Bahkan, tiba-tiba saja kamu bertunangan dengan Bayu tanpa memberitahuku. Jadi waktu itu, aku pikir untuk apa lagi kita berteman?" lanjutnya kemudian."Maafkan aku, Tha," pintaku pada Thalia. Aku merasa bersalah karena sudah keliru menilai dirinya. Aku juga merasa bersalah karena tidak pernah mendengarkannya waktu itu."Aku yang bersalah, Na. Aku baru tahu kalau kamu bertunangan dengan Bayu atas keinginan bapakmu. Seharusnya aku tetap berteman denganmu apa pun yang terjadi. Ke depannya, tidak peduli kamu akan menikah dengan siapa, aku akan tetap berteman denganmu," ujar Thalia sembari
"Thalia? Kamu mengagetkanku saja." Aku melihat Thalia sudah tersenyum di belakangku. Kami berjalan beriringan menuju gedung kantor."Selamat ya, Nania! Akhirnya kamu diterima juga. Ngomong-ngomong, aku tidak lupa dengan janjimu mentraktirku," ujar Thalia sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum menggodaku."Aku mau bakso, sate ayam, gado-gado, mie pangsit …. " Thalia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawabnya."Sebutkan saja semua, sudah kuduga kamu pasti paling bersemangat kalau soal makanan." Aku memotong perkataan Thalia sebelum dia berhasil menyebutkan semua nama makanan yang ada di kota ini."Ya, kalau gak boleh semua, kamu boleh pilih salah satu. Lagi pula mana mungkin perutku cukup untuk memakan semua itu," ujarnya sambil cengar-cengir memperl
Melihat Sinta duduk di teras rumah, aku bergegas berputar, berjalan ke arah lain. Bermaksud untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Semoga saja Sinta tidak melihatku. Rasanya tulang-tulangku sudah remuk dan otakku hampir mengeluarkan asap panas akibat bekerja seharian. Aku ingin segera beristirahat. Rasanya sudah tidak sanggup menemui Sinta dalam kondisi lelah seperti ini. Bekerja sebagai customer service ternyata tidak mudah. Seharian harus bersikap ramah dan mengembangkan senyum kepada para pelanggan meskipun suasana hati sedang tidak mendukung untuk itu. Ditambah lagi beberapa pelanggan yang marah-marah tidak jelas membuatku semakin kesal. Aku jadi teringat dengan salah satu pelanggan perempuan yang sedang memiliki masalah percintaan. Dia menelepon sambil menangis, lalu berkata, "Saya mau mengembalika
Rupanya ini tujuan Sinta yang sebenarnya? Memintaku berhenti bekerja karena dia tidak mau suaminya satu kantor dengan mantan. "Memangnya siapa kamu menyuruhku berhenti bekerja? Kamu bukan pemilik perusahaan kan?" sergahku tidak ingin menuruti permintaannya. "Aku tidak main-main, Naina! Aku belum menarik ucapanku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu," ucap Sinta dengan suara sopran yang melengking membuat sakit di telinga. "Aku juga tidak main-main, kamu pikir aku takut kepadamu? Kamu bukan siapa-siapa. Dimataku kamu tidaklah lebih dari seorang wanita yang menikahi bekas suami orang," sergahku diselimuti amarah. "Jaga mulutmu, Naina! Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai aku melihatmu menggoda Mas Bayu," tukas Sinta kepadaku.
"Ibu seharusnya tidak membiarkan Sinta menunggu, lain kali jangan izinkan dia bertemu denganku, Bu. Dia hanya mau membuat masalah saja," ujarku sambil bersungut-sungut kesal."Ada baiknya Sinta menemuimu, jadi Pak Hadrian datang menyelamatkanmu," ujar ibu sambil tersenyum girang. Ekspresinya seperti seorang ibu yang baru saja mendengar kabar anaknya akan dilamar seseorang. Persis seperti dulu, saat Mas Bayu akan melamarku."Apa yang Ibu katakan? Memangnya apa yang Pak Hadrian lakukan? Tanpa Pak Hadrian datang, aku juga akan mengusir Sinta," sanggahku pada ibu."Kelihatannya Pak Hadrian menyukaimu. Kalau tidak, mengapa dia repot-repot datang ke sini," cetus ibu sembari memicingkan mata dan tersenyum menggoda."Itu tidak mungkin, Bu. Lagi pula, Pak Hadrian bilang dia ke si
Aku sudah mencari Thalia di seluruh ruangan kantor, tetapi nihil, tidak kutemukan dia di mana-mana. Mungkin, Thalia sudah pulang. Kuputuskan untuk kembali ke ruang kerjaku. Besok saja aku akan menemui Thalia.Di ruang kerja, netraku tertuju pada buket mawar merah yang sudah layu. Di sampingnya sudah ada buket bunga mawar merah baru dengan kartu dan inisial yang sama. Apakah ini artinya, bunga ini memang benar-benar untukku? Bukan salah kirim seperti dugaanku sebelumnya?"Bunga lagi? Wah-wah, setelah Pak Hadrian siapa lagi yang kamu incar? Lebih baik kamu tidak usah bekerja jika tujuanmu hanya untuk menggoda laki-laki," ucap seorang rekan kerja wanita dengan tatapan sinis. Suaranya nyaring membuat seisi ruangan mendengarnya dan menoleh ke arahku.Seorang wanita yang duduk berdekatan denganku tidak tinggal diam. Kulih
Entah mengapa, aku tidak ingin Hyuga melihatku bersama Pak Hadrian. Aku dan Pak Hadrian akhirnya ke luar dari pintu belakang dan kembali ke kantor. Aku mendengkus kesal sambil memegangi perut mengingat kejadian tadi. Padahal air liurku sudah menetes saat mencium aroma gurih ayam kampung yang sedang berenang-renang di penggorengan. Sudah kubayangkan satu potong ayam yang akan berhadapan denganku di atas sepiring nasi putih dan sambal korek. Seseorang datang tepat saat perutku berbunyi. Rupanya Pak Hadrian sempat memesan makanan untuk dikirim ke kantor. Tidak hanya untukku, tetapi untuk semua pegawai yang sedang lembur. Senyumku merekah ketika menerima kotak nasi itu. Tidak perlu menunggu, langsung saja aku menyantapnya dengan lahap. "Lihatlah, dia masih bisa makan set
"Sudahlah Thalia, berhentilah berharap. Pak Hadrian tidak pernah menyukaimu, jadi mengapa kamu terus mengharapkannya? Lebih baik kamu membuka hatimu untukku," ucap lelaki itu dengan suara bariton. Meski samar-samar, aku masih bisa mendengarkan suaranya dengan jelas.Jadi ini sebabnya Thalia marah? Apakah Thalia menyukai Pak Hadrian? Tapi bukankah Thalia pernah bilang bahwa dia sudah bertunangan?Atau jangan-jangan tunangan Thalia adalah Pak Hadrian, itu sebabnya Pak Hadrian seperti takut ketahuan Thalia saat sedang berada di rumah makan denganku?Ribuan pertanyaan menari-nari di kepalaku. Aku harus mencari tahu jawaban dari semua pertanyaan itu. Pelan-pelan aku menarik handle pintu supaya sedikit terbuka, agar aku bisa mendengar dengan lebih jelas.Tidak sengaja aku meli