“Syarat pertama, sampaikan pada Mas Bayu untuk segera mengurus surat perceraian di pengadilan,” ucapku sambil mengambil buku nikah di dalam tas kemudian menyerahkannya kepada mantan mertua.
“Apa? Syarat pertama? Memangnya ada berapa syarat lagi?” tanya Bu Sara dengan mata terbelalak.
“Kenapa, Bu? Bukankah ini syarat yang sangat mudah? Dan memang sudah seharusnya Mas Bayu mengurusnya.”
“Baiklah, nanti akan saya sampaikan kepada Bayu untuk segera mengurusnya. Lalu apa syarat kedua?” tanya Bu Sara tidak sabar.
“Sabar, Ibu! Kenapa harus buru-buru? Syarat kedua menyusul. Aku akan mengatakannya setelah syarat pertama terpenuhi,” lanjutku.
Akhirnya aku bisa merebahkan diri dan beristirahat dengan tenang setelah Bu Erni dan Bu Sara pulang. Malam ini aku harus tidur nyenyak, agar besok bisa menghadiri wawancara kerja dengan semangat.
Meskipun Thalia sudah menjamin bahwa aku pasti diterima, tetap saja hatiku merasa gugup. Sebenarnya aku merasa janggal. Mengapa Thalia begitu yakin, sedangkan aku hanya lulusan SMA?
Buru-buru kutepis keraguan di hatiku. Bagaimanapun, saat ini aku sangat membutuhkan pekerjaan. Keraguan ini akhirnya lenyap seiring dengan mata yang terlelap.
Keesokan paginya aku sudah siap untuk melakukan wawancara kerja. Aku menunggu di ruang tunggu dengan mengenakan kemeja putih dan rok hitam pemberian Thalia.
Thalia juga sudah berpakaian rapi dan modis. Penampilannya khas seorang sekretaris.
"Semangat kamu, Na. Pak Rio nanti akan mewawancaraimu, beliau manajer HRD di sini. Orangnya baik kok." Thalia tersenyum dan menyemangatiku. Dia tidak bisa menemaniku lebih lama, karena sebentar lagi sudah masuk jam kerja.
Netraku membulat dan membesar saat melihat sosok lelaki memasuki ruangan. Lelaki itu duduk di bangku seberang, berhadapan dengan bangkuku. Segera aku menundukkan kepala dan menutupi wajahku dengan tas.
Untungnya lelaki itu lebih dulu dipanggil untuk melakukan wawancara, sehingga dia tidak perlu mendengar namaku saat dipanggil nanti. Aku tidak mau sampai dia melihatku di ruangan ini.
Pikiranku menjadi tidak karuan. Saat ini, dia adalah manusia yang paling kuhindari. Setelah apa yang terjadi, aku tidak ingin lagi berurusan dengannya. Siapa lagi lelaki itu jika bukan Mas Bayu.
Aku kira Mas Bayu segera pergi dari ruang tunggu setelah wawancaranya selesai, tetapi dia malah duduk di tempat semula hingga giliranku dipanggil. Entah apa yang dia tunggu.
Sambil terus menutupi wajahku dengan tas, aku berjalan pelan-pelan menuju ruang wawancara. Berharap Mas Bayu tidak menyadari keberadaanku.
Pelan-pelan kutarik gagang pintu hingga terbuka dan aku segera memasuki ruangan. Terlihat seorang lelaki duduk di sebuah kursi yang menghadap ke arah tembok, membelakangi meja.
Aku tidak sadar ketika aku masih berjalan dengan lambat sambil menutupi wajah dengan tas. Mendengar suara langkah kakiku, lelaki itu segera memutar kursinya menghadap ke arahku.
Aku terkesima untuk sesaat dengan atraksi yang dibuat oleh lelaki itu. Segera kuturunkan tas dari wajahku dan duduk di kursi setelah dipersilakan.
Seketika keringat dingin menjalar ke seluruh tubuhku. Tatapan mata lelaki itu seperti ingin menerkamku. Aku semakin gugup.
"Silakan perkenalkan diri Anda!"
"Ceritakanlah kisah hidup Anda!"
"Apa keberhasilan terbesar yang pernah Anda raih?"
Jantungku memompa darah dengan lebih cepat saat pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari lisan lelaki di hadapanku. Apa Thalia tidak salah menilai orang? Tadi kata Thalia, orang yang akan mewawancaraiku memiliki sifat baik, tetapi yang kulihat orang ini begitu menyeramkan.
"Apa kegagalan terbesar yang pernah Anda hadapi?"
Aku mengumpat di dalam hati. Bagaimana mungkin pertanyaan seorang manajer HRD seperti mengorek luka di masa lalu? Apa dia tidak tahu begitu sulit rasanya seseorang yang baru saja bangkit untuk menceritakan kegagalannya?
"Ceritakan beberapa masalah tersulit Anda, dan bagaimana cara Anda menyelesaikannya?"
Mengapa harus pertanyaan itu sih. Membuatku teringat kenangan pahit bersama Mas Bayu. Apa Pak Manajer HRD yang terhormat tidak tahu, bahwa sekarang ini aku sedang menghadapi masa tersulit dalam hidupku? Bahkan sampai sekarang masalah ini belum selesai. Rasanya aku ingin menangis saat ini juga.
"Bagaimana cara Anda berinteraksi dengan orang-orang di ruang tunggu?"
Aku menahan diri untuk melebarkan mata demi mendengarkan pertanyaan terakhir yang terlontar dari manajer HRD tersebut. Tidak menyangka pertanyaan itu bisa terlontar dalam wawancara kerja kali ini.
Teringat saat di ruang tunggu, aku hanya diam sambil menutupi wajah dengan tas. Bahkan saat beberapa orang berusaha menyapaku, aku hanya mengangguk dan tersenyum, tidak berani bicara sepatah kata pun. Ini semua gara-gara Mas Bayu. Ah, mengapa aku harus bertemu dengannya di sini?
Dengan hati berdebar aku melangkah keluar dari ruangan menegangkan ini.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" sergah Mas Bayu sesaat setelah aku menutup pintu ruang wawancara. Rupanya Mas Bayu sudah berdiri di balik pintu ini.
"Pertanyaan macam apa itu. Apa cuma kamu yang boleh melamar kerja di sini?" jawabku berpura-pura tegar. Semua usaha yang kulakukan untuk menutupi wajah akhirnya ketahuan dia juga.
"Jadi kamu melamar kerja di sini? Lupakan semua harapanmu, karena kamu tidak akan diterima," ujarnya sambil menyeringai.
"Kamu sungguh terlalu percaya diri," umpatku penuh emosi sembari melangkah ingin menghindar darinya. Beberapa orang yang masih duduk di ruang tunggu terlihat memperhatikan kami. Menyadari itu, Mas Bayu menarik lenganku keluar dari ruang tunggu.
"Secepatnya aku akan mengurus surat perceraian kita, jadi sekarang katakan padaku apa syarat kedua?" tanyanya hampir berbisik.
"Maksudmu, kamu meminta kembali mahar yang sudah kamu berikan padaku?" tanyaku pada Mas Bayu. "Tentu saja kau harus mengembalikan mahar itu," jawabnya tanpa ragu. Mas Bayu berhenti bicara sejenak untuk mengambil napas. Tidak ada rasa bersalah sedikitpun di antara perkataanya. Semua diucapkan dengan yakin. Seharusnya dia malu mengatakan semua itu. Meminta kembali mahar yang sudah dia berikan, setelah apa yang sudah dia lakukan kepadaku. Seperti mencabik harga dirinya sendiri. "Anggap saja pernikahan kita tidak pernah ada," lanjutnya. Jantungku terasa diremas mendengar ucapan Mas Bayu. Bagaimana dia bisa mengatakan itu? Apakah aku begitu buruk sehingga dia tidak ingin mengakui pernah menikah denganku?
"Aku menjauhimu karena kamu bertunangan dengan Bayu." Thalia menghentikan perkataannya sejenak untuk mengambil napas."Aku kecewa, Na. Aku sudah berkali-kali bilang bahwa Bayu tidak baik untukmu, tapi kamu tidak pernah mendengarkan aku. Bahkan, tiba-tiba saja kamu bertunangan dengan Bayu tanpa memberitahuku. Jadi waktu itu, aku pikir untuk apa lagi kita berteman?" lanjutnya kemudian."Maafkan aku, Tha," pintaku pada Thalia. Aku merasa bersalah karena sudah keliru menilai dirinya. Aku juga merasa bersalah karena tidak pernah mendengarkannya waktu itu."Aku yang bersalah, Na. Aku baru tahu kalau kamu bertunangan dengan Bayu atas keinginan bapakmu. Seharusnya aku tetap berteman denganmu apa pun yang terjadi. Ke depannya, tidak peduli kamu akan menikah dengan siapa, aku akan tetap berteman denganmu," ujar Thalia sembari
"Thalia? Kamu mengagetkanku saja." Aku melihat Thalia sudah tersenyum di belakangku. Kami berjalan beriringan menuju gedung kantor."Selamat ya, Nania! Akhirnya kamu diterima juga. Ngomong-ngomong, aku tidak lupa dengan janjimu mentraktirku," ujar Thalia sambil mengulurkan tangannya dan tersenyum menggodaku."Aku mau bakso, sate ayam, gado-gado, mie pangsit …. " Thalia melanjutkan perkataannya sebelum aku menjawabnya."Sebutkan saja semua, sudah kuduga kamu pasti paling bersemangat kalau soal makanan." Aku memotong perkataan Thalia sebelum dia berhasil menyebutkan semua nama makanan yang ada di kota ini."Ya, kalau gak boleh semua, kamu boleh pilih salah satu. Lagi pula mana mungkin perutku cukup untuk memakan semua itu," ujarnya sambil cengar-cengir memperl
Melihat Sinta duduk di teras rumah, aku bergegas berputar, berjalan ke arah lain. Bermaksud untuk masuk ke dalam rumah lewat pintu belakang. Semoga saja Sinta tidak melihatku. Rasanya tulang-tulangku sudah remuk dan otakku hampir mengeluarkan asap panas akibat bekerja seharian. Aku ingin segera beristirahat. Rasanya sudah tidak sanggup menemui Sinta dalam kondisi lelah seperti ini. Bekerja sebagai customer service ternyata tidak mudah. Seharian harus bersikap ramah dan mengembangkan senyum kepada para pelanggan meskipun suasana hati sedang tidak mendukung untuk itu. Ditambah lagi beberapa pelanggan yang marah-marah tidak jelas membuatku semakin kesal. Aku jadi teringat dengan salah satu pelanggan perempuan yang sedang memiliki masalah percintaan. Dia menelepon sambil menangis, lalu berkata, "Saya mau mengembalika
Rupanya ini tujuan Sinta yang sebenarnya? Memintaku berhenti bekerja karena dia tidak mau suaminya satu kantor dengan mantan. "Memangnya siapa kamu menyuruhku berhenti bekerja? Kamu bukan pemilik perusahaan kan?" sergahku tidak ingin menuruti permintaannya. "Aku tidak main-main, Naina! Aku belum menarik ucapanku, kamu harus mengundurkan diri dari pekerjaanmu," ucap Sinta dengan suara sopran yang melengking membuat sakit di telinga. "Aku juga tidak main-main, kamu pikir aku takut kepadamu? Kamu bukan siapa-siapa. Dimataku kamu tidaklah lebih dari seorang wanita yang menikahi bekas suami orang," sergahku diselimuti amarah. "Jaga mulutmu, Naina! Aku tidak akan tinggal diam kalau sampai aku melihatmu menggoda Mas Bayu," tukas Sinta kepadaku.
"Ibu seharusnya tidak membiarkan Sinta menunggu, lain kali jangan izinkan dia bertemu denganku, Bu. Dia hanya mau membuat masalah saja," ujarku sambil bersungut-sungut kesal."Ada baiknya Sinta menemuimu, jadi Pak Hadrian datang menyelamatkanmu," ujar ibu sambil tersenyum girang. Ekspresinya seperti seorang ibu yang baru saja mendengar kabar anaknya akan dilamar seseorang. Persis seperti dulu, saat Mas Bayu akan melamarku."Apa yang Ibu katakan? Memangnya apa yang Pak Hadrian lakukan? Tanpa Pak Hadrian datang, aku juga akan mengusir Sinta," sanggahku pada ibu."Kelihatannya Pak Hadrian menyukaimu. Kalau tidak, mengapa dia repot-repot datang ke sini," cetus ibu sembari memicingkan mata dan tersenyum menggoda."Itu tidak mungkin, Bu. Lagi pula, Pak Hadrian bilang dia ke si
Aku sudah mencari Thalia di seluruh ruangan kantor, tetapi nihil, tidak kutemukan dia di mana-mana. Mungkin, Thalia sudah pulang. Kuputuskan untuk kembali ke ruang kerjaku. Besok saja aku akan menemui Thalia.Di ruang kerja, netraku tertuju pada buket mawar merah yang sudah layu. Di sampingnya sudah ada buket bunga mawar merah baru dengan kartu dan inisial yang sama. Apakah ini artinya, bunga ini memang benar-benar untukku? Bukan salah kirim seperti dugaanku sebelumnya?"Bunga lagi? Wah-wah, setelah Pak Hadrian siapa lagi yang kamu incar? Lebih baik kamu tidak usah bekerja jika tujuanmu hanya untuk menggoda laki-laki," ucap seorang rekan kerja wanita dengan tatapan sinis. Suaranya nyaring membuat seisi ruangan mendengarnya dan menoleh ke arahku.Seorang wanita yang duduk berdekatan denganku tidak tinggal diam. Kulih
Entah mengapa, aku tidak ingin Hyuga melihatku bersama Pak Hadrian. Aku dan Pak Hadrian akhirnya ke luar dari pintu belakang dan kembali ke kantor. Aku mendengkus kesal sambil memegangi perut mengingat kejadian tadi. Padahal air liurku sudah menetes saat mencium aroma gurih ayam kampung yang sedang berenang-renang di penggorengan. Sudah kubayangkan satu potong ayam yang akan berhadapan denganku di atas sepiring nasi putih dan sambal korek. Seseorang datang tepat saat perutku berbunyi. Rupanya Pak Hadrian sempat memesan makanan untuk dikirim ke kantor. Tidak hanya untukku, tetapi untuk semua pegawai yang sedang lembur. Senyumku merekah ketika menerima kotak nasi itu. Tidak perlu menunggu, langsung saja aku menyantapnya dengan lahap. "Lihatlah, dia masih bisa makan set