Pov : Zen"Om yakin istriku aman di rumah Ibu?" tanyaku saat tubuhku sudah sempurna berada di dalam taksi. "Om sudah mengirimkan orang secepatnya ke sana. Sekalian, membawakan ponsel, makanan dan uang tunai." Pak Fandi menghembuskan nafasnya dalam-dalam, kemudian menoleh ke arah Zen yang duduk di sampingnya. "Biarkan istrimu tenang di rumah Ibumu, karena neng Lea juga punya masalah yang cukup pelik. Kalau saja masalah itu terkuak ke media dan tentang pernikahan kalian pun sama, maka bukan hanya bisa menghancurkan nama kamu sendiri, tapi juga nama Kesultanan Birania. Bahkan, nak Zen bisa-bisa tak dianggap layak untuk mendapatkan harta mendiang bu Alisa," ungkap pak Fandi membuat Zen menoleh ke arahnya. "Apa Om masih mencintai Mama?" tanya Zen membuat pak Fandi menelan salivanya. Pak Andi yang duduk di depan, di samping pengemudi taksi pun memasang kupingnya baik-baik. Sebagai orang kepercayaan yang membersamai pak Fandi puluhan tahun, Ia se
Pov : Zen (2) "Mohon maaf karena ini tidak ada kaitannya dengan Anda, kecuali jika Anda ikut campur maka Anda pun tidak bisa masuk!" ucap lelaki berseragam tersebut dengan tatapan mengintimidasi. Tangan kanannya Ia letakkan di pinggang, seolah Ia mau mengambil senjata yang Ia sampirkan di pinggangnya. Jelas, gerakannya seolah sedang mengancam. "Om!" Ku tarik lengan pak Fandi untuk menjauh dari mereka. Meskipun ku lihat mereka tersenyum sinis dan meremehkan, tapi untuk saat ini, mereka bukan tandinganku ataupun pak Fandi. "Zen, para pemegang saham sudah mulai kumpul di atas! Kita tak bisa tetap di sini, kita harus masuk!" pekik pak Fandi, meskipun langkahnya tetap terseret olehku. Aku tak mendengarkan ucapan pak Fandi karena merasa hal ini percuma. Aku terus menarik tangan pak Fandi, membawanya menjauh dari lobby utama. Pak Andi terus mengekori dari belakang, meski ada kekhawatiran yang Ia tampakkan saat majikannya terus ku seret.
Pov : Zen (3) "Tapi Alea...? Alea dan Ibuku dalam bahaya, Om!" seruku lagi. "Pak Zen harus segera datang ke tempat meeting!" ucap Randi membuatku merasa ingin menggetok kepalanya. "Enggak bisa, Om. Aku harus mastiin keadaan Alea dan Ibu.""Tunggu!" titah pak Fandi membuatku menghentikan langkah. "Kita selesaikan dulu masalahmu sendiri. Kau mau jika semua harta Ibumu jatuh ke tangan nenek sihir itu? Jika kau pergi sekarang, bukan saja kau akan terlambat melakukan sesuatu, tapi kau juga tidak akan bisa melindungi mereka. Bayangkan jika wajah istrimu sudah bocor ke media dengan tuduhan... ""Oke. Ayo, kita harus segera ke atas!" potongku sebelum pak Fandi melanjutkan kalimatnya yang pasti tidak ku sukai. Meskipun begitu, apa yang diucapkannya benar adanya. Aku harus memiliki power jika ingin melindungi Ibuku. Juga Alea, Aku harus memiliki power untuk melindungi dirinya. Kedua lelaki berbeda generasi itu
"Dina, kok ngomongnya begitu?" tanya bu Asih bernada kecewa. Dari gurat wajahnya yang telah memiliki banyak keriput, tentu saja bu Asih bersungguh-sungguh saat meminta gadis itu untuk tetap tinggal. Aku tahu jika bu Asih sangat menyayangi Dina seperti halnya Ia menyayangi Zen. Bahkan, bu Asih sangat tahu darimana asal-usul Dina. "Hemmhhh... begini Bu, rasanya Dina akan tetap aman karena mereka yang sedang mengincar rumah ini, tidak mengincar Dina. Kemarin kan Dina pulang, karena Ibu bilang kalau kak Zen harus menikahi Dina agar mendapatkan haknya. Sekarang, Dina sudah tak diperlukan di rumah ini, banyak pekerjaan Dina yang terbengkalai di tempat kerja. Jadi, Dina mau pulang buat menyelesaikan semua pekerjaan Dina yang sempat tertunda," ucap Dina lebih pelan. "Tapi Nak... Ini udah maghrib. Orang pada pulang dari tempat kerja, kenapa kamu malah baru berangkat?""Bu, tempat kerja Dina kan paling satu jam nyampe. Lagipula, di sana Dina ada tempat buat bermalam, ada mess. Ibu juga tahu i
"Apa maksudnya polisi mencarimu? Wartawan-wartawan itu mencari berita tentangmu?" tanya bu Asih masih dengan tatapan nyalang. "Lea bisa jelaskan, Bu." Aku meringis karena merasakan perih karena luka di hati yang menganga, seolah kembali menemukan cuka. "Jadi benar apa yang dibilang sama Dina, kalau kamu adalah seorang pel4*ur?" tanya bu Asih tanpa tedeng aling-aling. "Astaghfirullah. Enggak begitu, Bu. Aku enggak seperti yang Ibu tuduhkan, enggak seperti yang Dina tuduhkan. Fitnah itu, Bu. Fitnah," sangkalku seraya menangis tersedu. Entahlah, rasanya hatiku begitu teriris saat disebut bahwa Aku seorang pel4*ur alias penjaja diri, seolah-olah apa yang dituduhkan padaku benar-benar terjadi. Meskipun sebenarnya kasusku adalah dinikahi, tapi berdasarkan jumhur ulama (kesepakatan) mayoritas ulama bahwa kawin kontrak (nikah mut'ah) itu hukumnya haram. Jadi, apa bedanya dengan Aku yang menjajakan diri, karena meskipun di sana ada pernikahan tapi status haram nya pernikahan itu tak membua
"Sshhh... Sshhh...!"Aku dan Awan menoleh, mencari sumber suara. Dari dalam rumah yang tak memiliki teras, tepat berada di depan gang tempat Aku dan Awan berdiri, ada seorang bocah laki-laki melambaikan tangannya, dengan pintu yang sedikit Ia buka. "Sini!" ucapnya pelan. Tanpa pikir panjang, Aku dan Awan langsung mengikuti titah bocah lelaki itu, dan masuk ke dalam rumahnya. "Makasih ya, Dek!" ucapku pelan. Sedangkan Awan, Ia tak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya memindai seluruh ruangan yang berukuran sekitar empat kali empat. Bocah lelaki itu langsung menutup kembali pintu rumahnya, kemudian mengunci nya dari dalam. Aku bernafas lega karena sudah berada di ruangan ini, saat di gang yang berada tepat di depan rumah ini, dilewati oleh polisi yang berjumlah tiga orang, dengan membawa senjata api. Nafasku serasa berhenti sampai ketiga polisi itu betul-betul melewati rumah ini. Aku luruh
"Polisi?!"Aku memekik tanpa suara saat mendengar perkataan Awan. Mengapa polisi ikut masuk ke rumah ini? Langkahku langsung terhenti, serta langsung ku langkahkan kakiku menuju kamar mandi yang... uh, Aku harus kuat memasukinya. Rumah ini hanya memiliki satu akses untuk keluar masuk yaitu melalui pintu depan. Jadi, tak ada pintu lain untukku keluar dari sini. Aku terdiam sebentar saat akan membuka kembali pintu kamar mandi yang tadi telah ku tutup. Meskipun tak terlalu berisik, tapi pintu toilet ini cukup berderit saat tadi ku buka dan ku tutup. Apabila Aku membukanya saat ini, maka pasti akan menimbulkan kecurigaan. Aku meraup wajahku frustasi. Apakah perjalananku akan berakhir sampai di sini?" tanyaku dalam hati. "Bagus, kamu temani anak ini makan. Kalau masih diperlukan, bawa adiknya ke IGD untuk mendapatkan perawatan. Saya akan kembali menyisir setiap rumah, untuk mencari buron," ucap seseorang dengan suara bariton yang terdengar tega
Aku berdiri mematung, tak jadi melangkahkan kaki yang rasanya seperti tertancap ke bumi. "Kapan Awan dibawa ke kantor polisi? Kok, Kakak enggak dengar suara ribut-ribut?" tanyaku penasaran. "Tadi ribut, Kak. Lagipula, Ka Awan enggak tahu kalau Kakak masih ada di sini. Tadi, dia ngira Kakak kabur. Aku juga enggak ada kesempatan buat bilang kalau kakak ada di kamar mandi," sahut Adib membuatku semakin tercenung. Sedahsyat apa kejadian tadi siang sampai-sampai Aku tak mendengar apapun. Sepertinya, Aku tak sadarkan diri cukup lama, seperti saat Aku pingsan di toilet sekolah. "Apa enggak ada yang nyari sampai ke toilet?" tanyaku merasa heran. "Kakak ingat tadi saat Aku dari kamar mandi?" tanya Adib yang hanya bisa ku angguki saja. "Tadi ada yang bilang mau ke kamar mandi. Aku bilang kalau kamar mandinya dikunci sama Ayah, udah lama. Untungnya, Aku memang sering ke toilet umum di Mesjid, jadi pak RT juga percaya," sahut Adib membuatku faham, me