Pov Dewi Semenjak pulang dari acara talk show, pikiranku semakin tak nyaman. Apalagi Tante Lani tampak lebih banyak diam dari pada berbicara. Bahkan beberapa kali aku memanggil, tampak sekali dia tak fokus. Aku semakin ketar-ketir, apalagi status aku dan Dion masih belum jelas ujung pangkalnya. Dia hanya tengah mengajukanku pada Om Subekti sebagai calon istri Dion. Namun, Om Subekti seperti tak menanggapi. Masa iya aku harus nangis-nangis minta bantuan Mama?Syuting minggu ini tak terlalu padat. Memang tak padat, sih, sebetulnya. Aku hanya sering menghabiskan waktu saja di luaran dengan nongkrong bareng Salsa dan Mirna lalu info ke orang rumah kalau lagi syuting. Pekerjaan yang bebas ini, membuat hidupku semakin menyenangkan. Hal ini pastinya akan sempurna jika aku bisa bersanding dengan Dion. Siang ini aku tengah berada di sebuah cafe bareng Mirna dan Salsa. Aku harus mencari ide agar citra Ayu rusak di depan Tante Lani dan Om Subekti.“Duh, aku beneran lagi bingung. Masa iya Tan
Kalau bukan karena desakkan Mas Subekti, aku malas sekali memenuhi permintaan mereka. “Mama lihat ‘kan, gadis yang selalu Mama anggap kampungan dan udik itu bahkan memiliki prestasi luar biasa! Bahkan dalam acara talk show kemarin, Papa bisa lihat seberapa luas pemikirannya dan dewasa juga sikapnya!” tukasnya satu hari setelah acara talk show itu terjadi. Sial, bukannya dia memuji penampilanku di depan kamera. Justru dia malah terus-menerus memuji gadis kampung itu. “Dia hanya beruntung, Pa! Kalau Mama lihat, jauh lebih mentereng karir Dewi lah, Pa! Apalagi jelas Dewi ini anak sahabat Mama! Jadi sudah terjamin babat, bibit dan bobotnya!” Aku, seperti biasa akan membela Dewi di depannya. “Jangan Mama pikir Papa gak tahu latar belakang pernikahan sahabat Mama itu! Papa bukan orang bodoh ketika dikatakan Dewi dilahirkan prematur pada bulan ketujuh pernikahan orang tuanya! Papa punya mata, seperti apa bayi prematur dan bukan? Jadi jangan mentang-mentang Dewi anak sahabat Mama, lalu se
Pov Dewi“Sudah! Sudah! Kita pergi sekarang! Dewi dan Ayu boleh ikut semua!” Akhirnya Om Subekti memperbolehkan Tante Lani mengajakku. Sedikit terkejut sebetulnya ketika mengetahui secepat itu Om Subekti menyambut kedatangan Ayu di dalam keluarga mereka. Gila saja, mau diajak makan siang sekeluarga. Aku saja yang sudah kenal lama dan digadang-gadangkan Tante Lani untuk menjadi calon menantu, belum mendapatkan perlakuan spesial seperti ini.Dia, hanya modal nama yang mendadak viral saja, sudah bisa merebut hati Om Subekti. Awas saja, ya! Sebentar lagi juga paling kamu ditendang jauh-jauh dari kehidupan Dion. Tante Lani bahkan sudah percaya pada apa yang kusampaikan. Kadang heran, Tante Lani selalu bilang mengurus bisnis ini, itu dan menggunakan otaknya yang brilian. Hanya saja, kok segitu mudahnya aku kecoh. Namun, justru ini yang menjadi kekuatanku untuk masuk ke keluarga Om Subekti. Akhirnya kami pun pergi. Mampir ke minimarket dulu. Aku dan Tante Lani menunggu dalam mobil saja. Me
Pov Dewi“Dari mana Tante mendapatkan informasi menyesatkan ini? Hati-hati ngambil berita dari media Tante, banyak yang hoax! Tante bisa tanya sama Sobat Peri, cerita ini memang baru terbit satu tahun yang lalu dalam bentuk novel cetak, tetapi saya membuatnya jauh sebelum itu! Cerita itu adalah cerita pertama saya yang saya release dalam sebuah platform online! Jejak digitalnya masih ada dan nyata! Surat kontraknya masih saya pegang sampai saat ini! Saya membuatnya lima tahun lalu, tiga tahun lebih awal dari pada postingan di akun sosial media itu! Jadi, sekarang bisa dipastikan, siapa yang mencuri cerita siapa?” Deg! Penjelasan Ayu seketika membuat kedua tungkai ini terasa lemas. Sialan, Salsa kurang jauh cari infonya. Harusnya dia edit postingan sepuluh tahun lalu, jadi tak semudah ini tuduhan ini dia patahkan. Hancur sudah reputasiku sekarang di depan Tante Lani, astagaaa. “Kamu jangan ngarang! Tunjukkin saja buktinya kalau memang bukan omong kosong! Kalau bukan dari sumber yan
Pov DewiSalsa belum memulai pembicaraan ketika dering gawai dari dalam tasku terdengar. Lekas aku mengambilnya. Rupanya panggilan dari Mama. Ada apa juga dia menelpon di saat tengah genting kayak gini. Kuabaikan, lalu kembali aku fokus pada Salsa dan Mirna. Aku benar-benar butuh solusi untuk semua masalah ini. Kali ini notifikasi pesan masuk. Karena gawai masih di tangan, mau tak mau aku bisa membaca deretan pesan yang dikirimkan Mama.[Dewi, kamu di mana? Kamu bilang apa sama Tante Lani?] Astagaaa? Tadi aku bilang Mama jatuh dari tangga dan mau ke rumah sakit. Jangan-jangan Tante Lani menelpon Mama atau jangan-jangan dia ke rumah. Mampus aku kalau kayak gini. “Jadi sekarang gini-”“Bentar!”Aku menyela ucapan Mirna. Lekas aku mengusap layar gawai dan menelpon Mama. Otakku sudah panas saat ini gak bisa mikir. Hanya ingin memastikan apakah Tante Lani hanya menelpon Mama atau ke rumah? Dering panggilan tak diangkat-angkat. Kadang Mama tuh suka gini. Seolah-olah dirinya penting. Bar
Pov Dewi“Keknya masalahnya makin ribet, Wi! Mending kamu pulang saja dulu, pastiin sama nyokap gimana-gimananya sama Tante Lani! Besok kita ketemu lagi di sini! Kita pikirin lagi solusinya. Kali otak si Salsa juga sudah dingin jadi kalian bisa baikan lagi!” Ucapan Mirna masuk akal. Aku pun setuju. Kuhabiskan setengah gelas lagi es kopi yang gelasnya sudah mengembun dan bersiap pulang. Namun, baru saja aku bangkit, gawai bergetar. Aku mengambilnya dari dalam tas, tampak panggilan dari nomor tak dikenal dan tanpa foto profil. Baru saja kuusap layarnya dan hendak kuangkat, tiba-tiba panggilan dimatikan. Hanya saja, rupanya dia sudah mengirim pesan. [Ini bukti rekamanmu. Pengakuan ini bisa dijadikan alat buat hancurin karir kamu. Kalau mau selamat, temui aku besok malam di hotel Citra.] Jemariku gemetar ketika memijat tombol putar pada video yang dia kirimkan. Mirna pun mendekat karena aku kembali duduk karena kaki ini terasa lemas dan tak menyahut ucapannya. “Apa sih, Wi?” tanyanya
Pov AyuAkhirnya rasa penasaranku terjawab sudah. Sepanjang jalan, aku bertanya pada Dion, tetapi dia tak mau menjawabnya. Aneh sebetulnya, masa iya bisa, Tante Lani secepat itu berubah. Apa karena gara-gara talk show kemarin? Begitu pikirku pada awalnya, tetapi ketika tiba di rumah Dion dan melihat ada Dewi di sana, pikiranku sudah mulai tak karuan. Rasanya ada yang ganjil. Namun, tentu saja aku tetap bersikap ramah dan sopan seperti biasa, apalagi Tante Lani pun tampak menyambutku meskipun entah dengan tulus atau tidak, soalnya tak ada getar yang sampai pada hati. Rupanya Dion mengajakku makan siang bersama keluarganya. Hal yang sangat mendebarkan pada awalnya. Apakah ini pertanda jika dia sebetulnya memang masih menyimpan rapat rasa itu untukku? Dion mengajakku mampir di salah satu minimarket milik Papanya. Dikenalkannya aku pada konsep waralaba. Rupanya mudah ya jika memiliki uang. Bahkan yang tak bisa bisnis pun bisa belajar tanpa harus pusing memikirkan perusahaan start up y
Pov Dewi Seharian ini aku menghabiskan sisa waktuku di rumah Mirna. Malas sekali pulang, Mama itu orang yang tipe orang yang suka ngungkit. Walau tadi pagi sudah lolos dari amukannya, tetapi hal ini bisa saja dia ungkit setiap kali bertemu denganku dan ada kesempatan. Sore menjelang. Nomor tersebut sudah mengirimi pesan. [Hotel Citra, langsung naik ke kamar 606.] Kalimat itu terkesan memerintah, bukan memberitahu. Aku lekas mandi dan berganti pakaian, beberapa pakaian milikku memang ada di rumah Mirna. Kadang ketika menginap, ganti baju di sini dan tak kuambil. Sekitar pukul tujuh malam, aku sudah tiba di depan hotel Citra, tempat yang dijanjikan oleh orang tersebut yang entah siapa. Bahkan aku tak tahu, apakah dia lelaki atau perempuan. Mobil kuparkir di area yang kurasa nyaman. Lekas turun dengan melenggang. Hati ini aku memakai minidress di atas lutut yang pastinya mengeksploitasi kaki jenjangku. Apalagi bagian depannya membentuk huruf V dengan potongan sedikit rendah, membu