Aku kerja seperti biasa. Rita sudah kuusir pulang. Pagi-pagi malah bawa gosip yang tak penting. Aku duduk di balik meja kasir sambil memainkan kartu ATM. Entah kenapa kok rasanya malah tak menentu. Ada yang hilang dari sudut hati ini, meski tak pasti itu apa. Hanya saja, tak ada alasan lagi untuk aku menunggu kedatangannya, Bang Zayd. Eh, pemikiran apa ini? Wake up, Asyfa!“Selamat datang di Mama Mart, Kakak!” Mario menyenggol lenganku yang bengong. Mario tersenyum sambil mengucap selamat datang. Aku menoleh. Eh, rupanya Pak supervisor lagi visit. Mood yang sedang tak baik, bertambah parah akibat kedatangan dia. Mukanya kusut, sorot matanya terlihat lelah. Apa seperti itu kalau akan jadi calon Bapak rumah tangga? Bukannya bahagia ya nunggu hari H?Aku tak menertawakannya, tapi entah kenapa karma memang bisa datang lebih cepat. Padahal aku tak mendoakan yang jelek untuk mereka. Aku lebih fokus doa yang baik-baik buat diriku sendiri. “Syfa, abang mau bicara!” tukasnya sambil mendekat
Pov MerinaSakit, ketika sering melihat Mama menangis karena pengkhianatan Papa. Kurang apa Mama dan keluarganya selama ini mendukung karir Papa? Kata Mama, dulu waktu Papa ingin membuka klinik di tempat ini, kakek dan nenek yang memang punya usaha toko bahan bangunan ternama itu langsung mendukung Papa. Hanya saja apa yang didapat oleh Mama yang sudah rela ditinggalkan bertahun-tahun lamanya dalam kedok membangun karir dan masa depan? Tak lain, hanyalah sebuah pengkhianatan. Aku waktu itu masih kecil, ketika Mama memutuskan untuk tinggal di kampung ini. Kata Mama usiaku baru dua atau tiga tahunan. Tepat setelah Mama mencium pernikahan siri Papa dengan seorang perempuan. Pelakor itu enak-enak memetik hasil jerih payah Mama dan keluarga. Enak-enak menikmati usaha Papa. Hidup di madu, kata Mama banyak pahitnya. Dia pun tak tega menuntut cerai ketika melihat perempuan itu punya balita. Dia melihatku juga, katanya. Aku dan anak dari perempuan itu hanya berbeda sekitar satu tahunan. Bera
Pov IrfanAsyfa, gadis yang membuatku tertarik pada pertemuan pertama. Kala itu, dia merupakan seorang pramuniaga baru di salah satu minimarket yang berada di bawah pengawasanku. Sebagai supervisor, aku memiliki jadwal visit pada beberapa minimarket Mama Mart. Pada saat itu, aku lihat-lihat dia cukup manis. Kami pun ngobrol dan dia adalah orang yang menyenangkan. Bisa kusebut periang, kadang ceplas-ceplos, tapi selalu nyambung ketika diajak mengobrol. Awalnya hanya sebatas senang. Orang tuaku meminta aku menikah dengan anak dari orang terpandang, sedangkan Asyfa atau yang sering kupanggil Syfa, entahlah … orang tuanya aku tak paham. Mungkin dia dari kalangan biasa. Aku pun tak berniat memacarinya. Namun, perlahan rasa nyaman ini mulai tumbuh dan selalu ingin bertemu dengan dia. Kedekatan kami, tak serta merta membuat aturan keluarga berubah. Dia tetap memintaku mencari kalangan dari keluarga yang berada. Setidaknya, tak mempermalukan keluarga. Ayahku, kebetulan sebagai seorang pejab
“Kamu pikir Syfa gak punya hati, Mas! Sejak kecil, kenapa kamu selalu semena-mena pada hidup kami, Mas? Sekarang, Syfa dewasa juga, hidupnya kamu ungkit-ungkit juga.” Baru kali ini aku mendengar ibu yang benar-benar marah.“Nur, biarkan Mas ngomong dulu sama Syfa. Kamu jangan mematahkan harapan Mas, dong! Lagian … Irfan juga kerjanya sudah mapan. Jadi, tak ada salahnya kalau mereka menikah, Nur!” Keras kepala memang. Bapak pun bersikukuh dengan pendapatnya.“Kamu kenapa keras kepala begitu, Mas? Apa kurang luka dan nama buruk karena kelakuan kamu di masa lalu pada kami?” Suara Ibu terdengar bergetar. “Merina sudah mempermalukan keluarga, Nur! Mas harus menebus harga diri keluarga Irfan dengan menikahkannya dengan putri Mas yang lain. Merina dan Reza sudah melakukan tindakan di luar batas. Mas kemarin sudah marah-marah juga sama Irfan karena menampar Merina. Namun ketika dijelaskan, Mas merasa sangat malu dengan Irfan dan keluarganya! Tolonglah, Nur! Mas harus bicara dengan Syfa. Ini
“Nyari apa, Fa?” “Bang, amlop cokelat yang ada di sini mana, ya?” “Oh, itu punya kamu ya, Fa! Kirain punya siapa. Hmm, tapi tenang, Fa! Sudah saya kasihkan ke Bang Ican tadi sekalian! Kan mau ada rotasi dan penambahan besar-besaran! Semoga saja titipan kamu lulus juga, ya!Astaghfirulloh … itu ‘kan amplop isi CV aku untuk taaruf! Bukan berkas lamaran. Ya Tuhaaan!Mendengar jawaban itu, aku speechless. Gak tahu harus ngomong apa. Diam beberapa detik sambil melongo. “Memangnay itu lamaran siapa, Fa? Saudara?” Suara Bang Agil membuatku menoleh. “Hehehe, iya, Bang!”Jawaban lebih cepat adalah mengiyakan. Aku berjalan kembali menghampiri Rita. Eh, tampak Mario lagi tebar pesona. Gayanya sok cool dan lagi menjelaskan entah apa. Aku hanya mencebik, lalu sengaja kusenggol bahunya.“Aduh!” Aku terkekeh sendiri, tetap saja suaranya lembut dan mendayu. Mario melotot, tapi kau hanya mengedipkan mata. “Mana CV-nya, Fa?” Rita tampak heran menatapku. “Ck, telat sih kamu, Ta!” gerutuku sambil m
“Hallo, Siang menjelang sore!” “Selamat siang Mbak Asyfa Maulida Husna?” “Ya, Bu! Dari mana ini, ya?” “Saya ada baca CV ta’arufnya! Apa kita bisa bertemu sore ini?” “Loh, Ibu siapa, ya? Kenapa tiba-tiba punya CV saya?” “Saya punya anak laki-laki, Mbak. Kebetulan memang sedang cari jodoh. Jam berapa bisa ketemu?”“Aduh, Bu! Saya gak merasa kirim CV taa’ruf pada anak Ibu. Ibu mending jujur, deh. Ibu dari mana? Dari pinjol, ya?” Kudengar perempuan malah terkekeh. Lalu tak berapa lama dia bicara lagi, “Enggak kok, Mbak Syfa! Saya bukan dari pinjol. Nanti saya jelaskan pas ketemu. Di warung nasbek depan PMM ya sore ini bakda maghrib, jam tujuh malam. Saya tunggu!”Eh, kok dia maen memutuskan saja. Emang aku mau? “Mbak Syfa gak usah bawa apa-apa. Saya gak butuh dokumen apapun, kok. Kita ngobrol santai saja nanti. Untuk makanan, saya yang traktir nanti, ya!” “Apa jaminannya kalau Ibu gak akan nyulik saya?” Perempuan itu terkekeh lagi lalu bicara, “Saya perempuan, Mbak. Sendirian pul
Pov Ayu “Hallo, Siang menjelang sore!” Suara gadis itu kudengar. Aku tersenyum. Seperti yang aku lihat kemarin, pembawaannya memang lugas dan ceria. “Selamat siang Mbak Asyfa Maulida Husna?” Aku sengaja menyebut nama lengkapnya. Agar dia yakin, aku adalah orang yang benar.“Ya, Bu! Dari mana ini, ya?”tanyanya dari seberang sana. “Saya ada baca CV ta’arufnya! Apa kita bisa bertemu sore ini?” tukasku memulai pembicaraan.“Loh, Ibu siapa, ya? Kenapa tiba-tiba punya CV saya?” Kudengar dia kaget. Aku sudah menduganya. Mungkin sekali kalau CV taarufnya tertukar dengan amplop lamaran. “Saya punya anak laki-laki, Mbak. Kebetulan memang sedang cari jodoh. Jam berapa bisa ketemu?”Aku langsung saja pada inti pembicaraan. Tak sabar ingin bertemu dengannya. Kalau dilihat dari CV dan pembawaannya ketika bertemu di Mama Mart kemarin, orangnya itu tulus. Entah kenapa naluri keibuanku percaya kalau dia memang cocok untuk Zayd. “Aduh, Bu! Saya gak merasa kirim CV ta’aruf pada anak Ibu. Ibu mendin
Kepalaku terasa berat. Aku mengerjap-ngerap menyesuaikan dengan sinar yang cukup membuat pupil ini terasa silau. “Astaghfirulloh, di mana ini?” Kuedarkan pandangan ke sekitar. Tembok bercat putih dengan tirai menjuntai berwarna abu-abu sebagai penutupnya pada bagian kanan dan depan. Lalu ranjang ini. Aku meraba tempat tidur ini lalu duduk. Fix ini berada di klinik. Setelah kesadaranku terkumpul, tiba-tiba bayangan yang menakutkan tadi muncul. Tubuh Bang Irfan yang setengah telanj*ng berkelebat lagi, lalu semprotan spray ke wajahnya dan terakhir temannya yang menyemprot ke wajahku. “Duh, kebobolan gak, ya?” Aku memeriksa pakaianku dan terasa longgar di bagian dada. BH-ku sudah tak ada. Lalu jeansku pun sudah aku kenakan lagi. Kini, aku hanya mengenakan rok longgar entah punya siapa. “Brengs*k!” Aku melempar bantal karena kesal. Sepertinya para bedebah itu sudah berhasil melakukannya. Lalu kini aku hanya harus bersiap-siap menikah dengan dia. Suara deritan pintu disertai suara deh