Share

4. Bab 4

DIKIRA MISKIN 4

Mbak Ranti jatuh pingsan saat mendengar adiknya punya utang sebesar tiga puluh juta. Suasana menjadi panik, tetapi Mbak Wiwid masih saja santai. Aku harus meminta pertolongan pada beberapa orang yang lewat, tidak mungkin aku mengangkatnya seorang diri, secara tubuh Mbak Ranti lebih besar dari pada aku.

Syukurlah ada beberapa orang yang dengan senang hati membantu kami. 

Akhirnya Mbak Ranti berhasil dibawa masuk ke rumah Mbak Wiwid dan dibaringkan di atas kasur.

"Aduh, nyusahin banget, sih, Mbak Ranti ini, gitu aja pakai pingsan segala, lebay," ucap Mbak Wiwid dengan mengerucutkan bibir dan tangan bersedekap. 

Aku mengambil minyak kayu putih dan mendekatkan ke lubang hidung Mbak Ranti, semoga saja ia cepat sadar. Syukurlah tidak begitu lama, perlahan-lahan ia mulai membuka mata dan mengerjap-ngerjap kemudian mengamati sekeliling.

"Tiga puluh juta? Tiga puluh juta?" Mbak Ranti berkata lirih seperti orang mengigau.

"Mbak tolong ambilkan teh hangat," titahku pada Mbak Wiwid yang sedari tadi hanya berdiri saja di depan pintu tanpa melakukan apapun. Heran aku, Kakaknya pingsan tak ada simpatinya sama sekali padahal Mbak Ranti pingsan juga karena dia.

"Air putih dingin?" Mbak Wiwid balik tanya meski masih menunjukkan raut wajah kesal. 

"Teh hangat, Mbak, biar badannya cepet anget." Aku meralat. 

"Aku nggak ada minuman teh, apalagi hangat, kalau air putih dingin ada, es juga ada, aku kan punya kulkas, nggak kaya kamu. Percuma punya kulkas kalau masih minum yang hangat-hangat. Lebih segar minum yang dingin agar rasanya nyes di tenggorokan," ucapnya santai. Ia meraba lehernya. 

Meski hatiku gedek melihat kelakuan Mbak Wiwid, tetapi saat melihat Mbak Ranti yang sepertinya begitu lemah, aku jadi kasihan melihatnya. Terpaksa aku pulang ke rumah untuk mengambil minuman teh hangat. Setahuku begitu, kalau baru sadar dari pingsan dan dikasih teh hangat pasti langsung mak pyar alias cepat fresh, mata yang tadinya sepet langsung jreng.

Aku mengambil minuman dengan tergesa sehingga membuat ibu yang sedang duduk bersama Sasya menjadi heran. 

"Ada apa, Tik?" tanya ibu. 

"Em, enggak ada apa-apa, kok, Bu. Aku ke rumah Mbak Wiwid sebentar, ya, Bu." 

"Memangnya kenapa?" 

Aku terdiam, aku tidak mau ibu tahu kalau Mbak Ranti baru saja pingsan karena tidak mau membuat ibu khawatir. 

"Enggak apa-apa, Bu. Ini Mas Ajun katanya mau minum teh hangat," ucapku berbohong. 

Benar saja, setelah minum teh hangat, panas lebih tepatnya, mata Mbak Ranti kembali bugar. Meski masih berulang kaki ia memijit pelipisnya.

"Gimana, Mbak? Udah enakan? Gitu aja pingsan, aku yang punya utang saja santai kok. Kan, Mbak sudah janji mau pinjamin, uangnya ada, kan, Mbak?" tanya Mbak Wiwid. Tanganku jadi gatal ingin mencolek mulutnya, Kakaknya baru saja siuman dari pingsan, sudah ditanya uang.

"Memangnya utang sebanyak itu buat apa? Nggak mungkin kalau hanya untuk beli kulkas sama mesin cuci? Kalau kulkas seperti punya orang kaya yang otomatis dan pernah viral itu atau seperti miliknya artis papan atas sih, Mbak, percaya. Tetapi, Mbak lihat kulkas kamu biasa aja. Paling harganya cuma sekitar dua jutaan," ucap Mbak Ranti setelah duduk, ia masih memijit pelipisnya perlahan.

"Aku pinjam bukan hanya untuk beli kulkas saja, Mbak, tapi juga untuk biaya selamatan Rifki waktu itu," jawab Mbak Wiwid masih santai.

Rifki adalah anak Mbak Wiwid yang pertama. Ia sekarang duduk di Sekolah Dasar kelas enam. 

"Apa? Jadi, biaya pesta khitan Rifki itu hasil utang? Aku pikir itu karena memang kamu punya banyak uang, makanya selamatan diadakan secara besar-besaran." Mbak Ranti melotot.

"Nggak usah kaget gitu kenapa, Mbak?" Mbak Wiwid kesal. 

Acara syukuran khitan Rifki memang diadakan secara besar-besaran, apalagi anak Mbak Wiwid hanya satu. Aku maklum, memang sudah kebiasaan di kampung ini kalau anak khitanan akan dirayakan layaknya pesta pernikahan. Sebenarnya mau sederhana juga tidak masalah, tetapi sepertinya Mbak Wiwid gengsi. 

Beberapa waktu yang lalu aku juga datang saat acara khitan si Rifki itu dan memang acaranya tidak main-main, bahkan berlangsung tiga hari tiga malam. Ada pengajian, orgen tunggal dan dangdutan. 

Mbak Wiwid memang seperti itu, ia ingin di anggap orang mampu dengan mengadakan acara di luar kemampuannya. Padahal, aku pernah lihat di televisi, anak sultan saja tidak mengadakan acara besar-besaran, khitan di rumah sakit, selesai. Sedangkan Rifki, sebelum khitan diantar atau lebih tepatnya diarak menggunakan satu bus besar oleh anak-anak seusianya karena memang satu kampung diundang semua. Belum lagi, anak-anak itu juga masih diberi uang saku setelah pulang nanti. Wajar saja kalau Mbak Wiwid harus menggelontorkan uang yang tidak sedikit. 

Menurutku, boleh saja mengadakan acara besar-besaran untuk menunjukkan rasa syukur karena anaknya sudah baligh dan untuk menyenangkan anak-anak. Para orang tua biasanya akan malu jika saat anaknya tidak melakukan acara seperti itu karena anaknya sudah biasa diundang oleh temannya, masa nggak mau mengundang balik? Bisa-bisa menjadi bahan gunjingan nanti. Tetapi, itu kalau memang ada dana, lalu bagaimana dengan kasus Mbak Wiwid yang harus rela utang demi mengikuti kebiasaan ini? 

"Gimana, Mbak, jadi, kan ngasih pinjaman?" tanya Mbak Wiwid memastikan.

"Harusnya kalau kamu nggak punya uang, nggak usah mengadakan acara besar, repot sendiri, kan?" kata Mbak Ranti mengerucutkan bibir.

"Sudah terlanjur, Mbak," kata Mbak Wiwid.

"Terus Ajun, suamimu, tahu nggak kalau kamu punya utang sebanyak itu?" tanya Mbak Ranti lagi.

"Ya, tahu, lah, Mbak, acara khitanan yang besar-besaran itu memang ide dan maunya dia," jawab Mbak Wiwid.

Oh, pantes, mereka pasangan yang cocok, gengsi  dan ingin dianggap wah, padahal sebenarnya zonk. Ini namanya gaya sosialita, dompet menderita. 

Mbak Ranti kembali memijit pelipisnya dan bola matanya tampak bergerak ke kiri dan ke kanan, sepertinya ia sedang memikirkan sesuatu. Benar saja, tidak lama kemudian, matanya berbinar, dan menjentikkan jarinya, kalau dalam animasi, kepalanya itu akan muncul gambar lampu yang bersinar terang sebagai pertanda kalau ia mendapat ide cemerlang.

"Aha, Mbak ada ide, kamu nggak usah khawatir, utang itu biar Mbak yang bayar," ucap Mbak Ranti dengan senyum mengembang.

"Mbak juga nggak mau kalau kamu sampai nggak bisa bayar utang, masa adiknya Ranti Anggita nggak bisa bayar utang, malu-maluin, ah," ucap Mbak Ranti lagi dengan membusungkan dada.

Ide apa yang tiba-tiba muncul di kepala Mbak Ranti sehingga ia bisa berubah ceria seperti itu? Padahal sebelumnya ia sampai pingsan saat mendengar tiga puluh juta? Dari mana ia bisa mendapatkan uang itu dalam seminggu?

    

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Jawabannya minta ke emaknya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status