Terimakasih sudah mengikuti cerita ini. Sambil menunggu update, silahkan ikuti cerita best sellerku: BIARKAN AKU PERGI KETIKA DIRIMU MENDUA. Semoga suka. Terimakasih.
Sebagaimana kata Papa, hidup dengan Rizal, akhirnya aku diperlakukan bak seorang ratu. Dia memberiku apa saja yang aku mau. Jika tidak mampu, dia akan berusaha hingga keinginanku tercapai. Tak pernah ada cela selama hidup dengannya. Tak lama, hadirlah buah hati kami. Meski aku tak bekerja, hari-hariku hanya diisi dengan kegiatan bersantai, namun aku tak mengurus Sasti seratus persen. Ada kakak sepupu Rizal yang sudah kami angkat sebagai baby sitter Sasti. "Kenapa kamu nggak kasih ASI kamu sendiri, Dik?" tanya Rizal saat beberapa hari usai melahirkan. Dia tak langsung bertanya, meski sejak hari pertama aku tak memberinya ASI. "Aku nggak mau bentukku jelek, Mas. Toh, Sasti juga kita beri susu formula yang berbaik. Harga satu kalengnya ratusan ribu," terangku, sambil memberikan penjelasan kalau anak-anak orang kaya juga melakukan hal yang sama, buktinya, anak-anak mereka tetap cerdas dan sehat. Rizal tak pernah menyanggah apa pun yang kukatakan padanya. Baginya, aku selalu benar
“Des, kamu bukan Desti yang dulu lagi. Hubungan ini salah. Kamu harus kembali pada keluargamu,” ucap Gavin ketika kesekian kalinya Desti mengajaknya bertemu. Mereka menjalin kembali cinta yang pernah kandas. Beruntung, Gavin segera menyadari, bahwa yang dilakukan tidak benar. “Kak, aku mencintaimu. Aku selalu menunggumu. Aku tak pernah mencintai Rizal. Bahkan sampai sekarang, hubunganku dengan Rizal hanya sebatas formalitas saja,” ucap Desti. Gavin memejamkan matanya seraya menghela nafas. “Apapun itu, kamu masih punya ikatan dengan Rizal. Dan aku tak mau menjadi orang ketiga dalam hubungan kalian,” ucap Gavin. “Kak, katakan padaku, kalau kamu masih mencintaiku,” ucap Desti seraya meraih tangan Gavin. Mereka berdua sedang makan malam di salah satu restoran mewah di bilangan Jakarta Pusat. Gavin hanya terdiam. “Kak, aku akan minta pisah dari Rizal, asal kamu mau kembali padaku!” ucap Desti dengan penuh kesungguhan. Serta merta Gavin menarik tangannya. “Kamu jangan gila
Siang itu, Rizal bergegas pulang ke rumah untuk makan siang. Rizal mencoba ingin memperbaiki hubungannya dengan Desti. Siapa tahu selama ini, Desti hanya merasa kesepian karena kesibukan Rizal. “Mamanya Sasti kemana, Mbak?” tanya Rizal saat mendapati rumah sepi. Sasti, meskipun baru tiga tahun sudah disekolahkan ke playgroup. Mbak Siti yang sebenarnya sudah mewanti-wanti jauh-jauh hari agar Rizal mulai banyak membagi waktu untuk Desti ragu untuk berbicara. Bagaimanapun, dia tak ingin mengadu domba antara mamanya Sasti dengan adik sepupunya itu. Dia takut menjadi penyebab hancurnya rumah tangga. Rizal menatap Siti lekat, namun kemudian memahami bahwa kakak sepupunya sedang tak ingin dicecar. Usai menghabiskan makan siangnya, Rizal buru-buru menelpon Anto, supir pribadi Desti. “Kamu dimana, Tok?” tanya Rizal. “Ehh…lagi nganter ibu, Pak. Di mall,” sahut Anto. “Kirimkan share loc, ya, aku mau bikin kejutan untuk ibu. Kamu nggak usah bilang-bilang,” ucap Rizal. Rizal sesung
Hampir saja Rizal menonjok wajah Gavin, andai Anto tak segera datang menahan tangannya. Entah kapan Anto sudah berdiri di belakangnya. Padahal tadi Rizal melihat wajah Anto yang pucat dan hendak dibelikan minum olehnya. Justru kini Anto lah yang menenangkannya.“Sabar, Pak!” bisik Anto sembari menarik tangan Rizal, agar pria itu mundur. Rizal menghela nafasnya sembari berjalan menjauh. Tangannya masih gemetar. Jantungnya masih berdegup kencang. Bahkan rasanya darah masih naik di ubun-ubun. Anto mengikutinya di belakang, setelah Desti memberinya kode agar Anto pergi. “Sebaiknya kamu selesaikan masalahmu dengan Rizal. Aku tak ingin menjadi orang ketiga dalam pernikahan kalian,” ucap Gavin pada Desti. “Kamu bukan orang ketiga, Kak. Justru Mas Rizal adalah orang ketiga dalam hubungan kita.” Desti masih saja membela dirinya sendiri. “Yang jelas, selama kamu masih istri sahnya, aku tak ingin lagi bertemu denganmu. Aku tak ingin di antara kita mendapat masalah. Berat resiko yang harus
Lagi-lagi Rizal menghela nafas berat. Setelah selesai menyesap kopinya, Rizal pun mengajak Anto pulang. Mereka mengemudikan mobil masing-masing. Anto sudah mendapat kabar kalau Desti pulang dengan menumpang taksi. Sesampai di rumah, tekat Rizal bulat, dia harus memperbaiki hubungannya dengan Desti. Apapun itu kesalahan, selama masih dapat diperbaiki, masih ada jalan untuk kembali. Entah jam berapa Desti tiba di rumah. Rizal menunggu hingga larut, namun tak kunjung pulang. Hingga ia pun terlelap.Namun Rizal lega, saat pagi-pagi hendak ke masjid, dilihatnya Desti sudah tidur di kamar sebelah. Rizal menghela nafasnya berat. Tak mudah ternyata menjadi nahkoda dalam rumah tangga. Selama ini, dia sangat membebaskan Desti, sebagai bentuk cintanya pada wanita yang diperlakukan laksana barang mahal yang khawatir pecah jika disentuh. Namun, Rizal kini paham. Seharusnya, dia menjaga Desti dan mengarahkan, agar tidak tersesat. Bukan membiarkannya, hanya karena dia terlalu mencintainya. R
Mobil yang dikendarai Rizal berhenti di depan rumah besar milik keluarga Desti. Desti segera turun dan masuk rumah saat Rizal masih turun dari mobil. Pria itu hanya mampu menatap wanita yang masih resmi jadi istrinya. Rizal menyusul masuk, lalu menemui mertuanya yang sedang santai di ruang tengah. "Duduk, Nak Rizal." Bibi yang bekerja di rumah orang tua Desti dengan sigap mengeluarkan minum dan cemilan. Papa Desti sedikit heran dengan sikap Rizal yang agak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Meski putrinya tak pernah berubah, namun biasanya Rizal bersikap hangat. Pagi itu, ada ketegangan tergambar di wajah Rizal. "Bi, bisa panggilkan Desti?" pinta Rizal pada bibi yang akan undur diri. "Saya perlu bicara dengan Papa dan juga Desti," lanjut Rizal seraya menatap Papa Mertuanya. Dengan malas, Desti menuruni tangga. Tingkahnya belum berubah, meski kini sudah menjadi seorang ibu. “Pa, saya antar Desti pulang, karena dia menginginkannya." Rizal membuka pembicaraan, setelah Dest
“Aku sudah menuruti kata-kata Papa dan Bang Desta untuk menikah dengan Mas Rizal. Tapi, ternyata aku tak bisa mencintainya, Pa. Aku tak bisa hidup tanpa cinta,” ucap Desti. Dada Rizal bergetar. Pedih hati rasa hatinya mendengar kata-kata Desti. Cinta yang selama ini dia upayakan ternyata sudah lama pupus tanpa dia ketahui. Selama empat tahun hidup bersama Desti, dia gagal menumbuhkan benih cinta itu di hati Desti untuknya. Selama ini, dia hanya dapat menumbuhkan cintanya sendiri. Mengupayakan segalanya yang dipikirnya dapat menyemaikan cinta. Dan ternyata dia salah besar. Dia telah menyemai benih yang salah. Dia telah menyiram benih yang sama sekali tak ingin tumbuh. Hati Rizal terluka mendengar perkataan jujur itu. “Desti! Tarik ucapanmu! Kamu tidak tahu, dengan siapa kamu bicara?” Suara Pak Hamdani meninggi. Pria itu sangat malu pada menantunya. Dia merasa gagal mendidik putrinya, sehingga putrinya tak punya rasa hormat pada suaminya, sebagaimana almarhumah istrinya yang tulus
Sepeninggalan Rizal, Pak Hamdani menelpon putranya. Dia meminta Desta segera datang. Usai memarkir mobilnya dengan asal, Desta berjalan tergesa masuk rumah. Ada Papa dan adiknya duduk di ruang tengah. Meski sudah empat tahun menikah, gaya adiknya tak berubah. Semaunya sendiri. "Benar apa yang papa katakan?" tanya Desta sambil menghempaskan tubuhnya ke sofa. "Benar, Dik?" ulang Desta karena Desti malah asyik memainkan ponselnya. Tak ada kecemasan tersirat di wajahnya. Padahal Papa dan Kakaknya sangat gusar. Desti hanya mengangkat kedua bahunya, setelah meletakkan ponselnya ke atas meja. "Nasehati adikmu, Ta!" titah Sang Papa. “Bodoh kamu, Dik! Apa kurangnya Rizal?” seru Desta. Dia dulu turut andil dan merayu Desti agar menerima Rizal, karena baginya, Rizal itu sosok sempurna. Pekerja keras, ulet dan berani mengambil resiko. Sangat cocok menjadi bisnisman, selain juga bertangan dingin. Tapi rupanya, mahir dalam bisnis, belum tentu juga berhasil dalam rumah tangga. “Aku bos