Rizal dan Ratih tiba di rumah barunya bersamaan dengan mobil box yang membawa barang-barang mereka. Setelah minta bantuan untuk menurunkan, Ratih dan Rizal segera menata rumah baru mereka. Selain barang dari rumah lama, juga beberapa barang yang mereka barusan beli. Bahkan, tak lama, barang yang di antar juga datang. "Malam ini, kita kembali ke hotel dulu. Kamu pasti lelah. Rumah ini masih perlu dibersihkan lagi," ujar Rizal saat mereka berdua istirahat. Sebagian besar barang sudah ditata. Hanya barang Mbak Siti yang masih dalam dus. "Biar Mbak Siti yang taruh barangnya," ujar Rizal saat meletakkan dus ke dalam calon kamar Siti. "Iya. Tapi, besok kita sudah bisa tinggal di sini, Mas. Biar aku bisa bersih-bersih. Kita juga perlu belanja." "Belanja? Belanja apalagi?" Rizal mengerutkan keningnya. Bukankah tadi mereka habis belanja? "Kulkas kan kosong. Emang kamu mau puasa?" tanya Ratih. Rizal menaikkan alisnya. "Emang kamu bisa masak?" Rizal merasa aneh. Bertahun menikah den
“Kamu bisa masak?” tanya Rizal saat mengantar Ratih ke supermarket. Dia mengamati Ratih yang cekatan berbelanja. "Kamu meragukan?" "Nggak sih. Malah nggak sabar pengen nyicip masakan istri itu kayak gimana?" Ratih menaikkan alisnya, tapi buru-buru disembunyikan keheranannya. Ia mematri ucapan Rizal dalam ingatan. Apa mantan istrinya nggak pernah masak? Atau maksudnya masakan istri barunya? "Sebenarnya, aku lebih suka belanja di pasar tradisional." Ratih mengalihkan pembicaraan. "Kenapa? Bisa kenalan sama abang-abangnya?" goda Rizal. "Ck! kamu itu." Ratih berdecak. "Ya enggak lah. Kalau di pasar tradisonal, pilihannya lebih banyak. Harganya lebih miring. Lihat, ini harganya berapa?" Ratih menunjukkan harga bandrol salah satu sayuran yang tertata di lemari pendingin supermarket. "Kan ini udah bersih, udah dikemas. Ya wajar, harganya lebih mahal," ujar Rizal. "Iya. Jadi, kita beli kemasan dan kebersihan." "Mutu juga beda." Rizal menyela. "Tapi, kalau sudah dimasak, ya sa
Ratih segera menyelesaiakn cucian piring dan membereskan peralatan masaknya. Dengan seksama ikut mendengarkan sekilas jawaban Rizal dengan seseorang di seberang sana. Dari intonasinya, terdengar ada yang tak beres. “Besok aku ke kantor. Kita meeting semua ya. Jam delapan harus sudah siap.” Rizal tegas memberikan instruksi. “Minum, Mas.” Segelas air putih disodorkan Ratih, agar tersamar dari tindakan mengupingnya. Dia berharap Rizal mengatakan sesuatu padanya. Rizal tak mengatakan apapun. Dia sibuk membuka kontak di ponselnya, lalu menghubungi lagi seseorang, membuat Ratih tak punya kesempatan untuk bertanya. "Kamu istirahat dulu saja," titah Rizal, memberi kode tak ingin diganggu. --- "Ke kantor, Mas?" tanya Ratih pagi-pagi usai menyiapkan sarapan. Dia ingat percakapan Rizal yang mengatakan hari itu akan ada meeting dengan seseorang di telepon. Sampai malam, Rizal tak sempat mengajaknya ngobrol. Dia sibuk menghubungi orang-orang dari teleponnya. Hingga Ratih masih sungkan
"Ada apa, Mas? Siapa yang ke pengadilan?" tanya Ratih. Dia takut ada perkara hukum yang menjerat Rizal. "Kamu tenang saja. Semua bisa aku atasi," sahut Rizal. "Kamu nggak percaya sama aku?" "Ratih, ini bukan masalah percaya dan nggak percaya. Ini masalah aku dan pekerjaanku. Kamu tahu, kan. Semua pekerjaan ada resikonya." "Iya. Tapi, kalau resikonya berbahaya, kamu pikir, aku akan membiarkanmu?" "Ratih, makasih atas perhatianmu. Aku janji, semua akan baik-baik saja. Aku berangkat ya." Rizal mengacak kepala Ratih, lalu mengecup keningnya lembut, sebelum dia naik ke mobil. -- Ratih masih setia menunggu, meski malam sudah larut. Dia sudah bertekad akan membujuk Rizal untuk membuka semua rahasianya. Toh, dia sudah menikah. Kalau ada apa-apa, bukannya dia juga akan terseret? “Gimana, Mas?” tanya Ratih. Meski sudah pukul sembilan, Ratih masih menawarkan makan malam untuk Rizal. Pria itu tak menolak meski dia sudah makan malam di kantor dengan teman-temannya. Namun, kali ini
PoV Rizal Namaku Rizal. Entah kenapa, saat SMA hingga kuliah, aku lebih suka pada gadis yang cantik, yang menjadi idola kaum lelaki. Meskipun aku biasa saja, namun, aku akan berusaha mengejar cintaku. Sayangnya, saat SMA, cintaku pada Dewi kandas, karena kesalahpahaman. Itulah awal mula aku tak menyukai temanku satu sekolah yang bernama Ratih. Ratih bukannya tidak cantik. Hanya, dia gadis biasa saja. Aku tak pernah tertarik padanya. Tak ada sedikitpun yang menonjol, malah justru aku muak dengan sikapnya yang terlalu baik. Aku pernah sekelas dengannya. Anaknya lembut dan sering mengalah. Dia akan selalu mementingkan orang lain dibanding dirinya sendiri, dan menurutku itu berlebihan. Tersebutlah Dewi, gadis tercantik di SMAku, yang kebetulan sahabatnya Ratih. Kemanapun mereka pergi, selalu bersama. Jangan tanya, betapa menariknya Dewi. Dia benar-benar bak seorang Dewi. Selain pintar dalam pelajaran sekolah, juga pintar bergaul. Banyak kaum lelaki yang menaruh hati padanya, t
Aku tak terlalu mengingat apa yang pernah kulontarkan pada Ratih. Karena aku terlalu fokus pada diriku dan kegagalan cintaku. Sejak menikahnya Dewi, aku kembali fokus mengejar cintaku pada Desti. Bukan hal yang mudah menjerat cinta Desti, karena aku hanya mahasiswa biasa saja dan tak punya banyak kelebihan. Beruntung, Prita, sepupuku kenal baik dengan Desti karena kebetulan satu jurusan. Lewat bantuannya lah aku dapat dekat dengan Desti. “Mas Rizal lagi sibuk, nggak?” tanya Prita suatu hari menemuiku. “Biasa saja,” sahutku. “Mbak Desti lagi butuh bantuan,” jawab Prita. Mataku seketika melebar, serasa mendapat durian runtuh. “Bantuan apa?” tanyaku. “Supirnya sakit. Dia butuh orang untuk antar jemput dia,” ucap Prita. “Mas Rizal katanya lagi cari tambahan uang saku. Siapa tahu cocok,” lanjutnya. Aku dan Prita memang berasal dari keluarga biasa. Makanya Prita biasa saja menawarkanku kerja sambilan, meskipun hanya sebagai supir. Aku sudah bisa mengemudi sejak SMA. Salah
Namaku Desti Maharani. Saat kuliah, semua mengakui bahwa aku adalah primadona dengan wajahku yang cantik dan body yang proporsional. Apalagi didukung oleh kondisi ekonomi orang tua yang mapan. Sejak kuliah, aku sudah biasa diantar jemput supir, meski aku sendiri bisa mengemudikan mobil. Sebagaimana seorang primadona kampus, aku pun memiliki pacar yang juga termasuk pangeran kampus. Namanya Gavindra Aditya Pratama, atau dipanggil Gavin. Dia adalah kakak angkatanku, dua tahun di atasku. Kami saling mengenal saat dia menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru. Selain mahasiswa berprestasi dan juga berasal dari anak pengusaha, Gavin juga rebutan gadis-gadis di kampusku. Dan aku bersyukur, akulah yang terpilih sebagai pacarnya. Sayangnya hubungan kami tak terjalin lama, karena begitu dia lulus kuliah, yang kala itu aku masih tingkat tiga, Gavin harus dikirim orang tuanya ke USA untuk belajar bisnis. - Sejak kepergian Gavin, aku tak lagi bisa menghubunginya. Nomor teleponnya ganti.
"Des, salamin dong buat supir gantengmu," tukas Indira suatu hari. Dia adalah sepupuku yang kadang ke rumah. "Heh, ganteng dari mana? Matamu lupa nggak pake contact lens ya?" balasku. Bagiku, Rizal biasa saja. Dia hanya seorang mahasiswa. Secara fisik ya hanya postur yang boleh lah, tinggi. Tapi, body kerempeng, dan kulit lusuh dan kusam, sama sekali tidak terawat. Tak heran juga kalau dia menerima pekerjaan sebagai supir. "Eh, dia itu cuma dekil doang. Ibarat batu permata, belum digosok. Coba kalau udah digosok, kilaunya baru terlihat." "Hmmm. Sok tau kamu!" Sepintas lalu, aku tak menanggapi ucapan Indira. Tapi, karena dia berulang-ulang menyebutnya, mengagung-agungkannya, bagaimana bisa aku tak berubah pikiran? "Anak muda jaman sekarang, nyambung ngobrol sama orang tua, apa nggak hebat? Di saat anak muda memikirkan dirinya sendiri, dia bisa menanggapi hal-hal serius," puji Indira. Selain Indira, BAng Desta dan Papa juga tak henti-hentinya memuji. "Anaknya baik, sopan, t