Alarm kukkuruyukku kembali berbunyi. Aku terbangun dengan selimut masih menutupi tubuh polosku yang super aduhai ini. Beruntung sekali itu cowok bisa lihat dengan gratis. Maksa lagi. Kulihat Zein udah nggak ada di sampingku. Dasar cowok nggak ada akhlak. Main ngilang gitu aja, setelah apa yang dia lakukan. Awas aja, bakal aku laporin polisi dia, biar kapok. Aku keluar menuju dapur setelah merasakan segarnya keramas pagi-pagi. Kulihat Zein lagi-lagi telah selesai menyiapkan sarapan seperti biasa untuk kami nikmati. Aroma sampo dari rambutnya mengalahkan wangi teh melati yang ada dihadapanku kini. "Pagi, Sayang," sapanya, sok mesra. "Pagi, Seyeng... ," ucapku menirukan ucapannya dengan bibir bawah yang kumajukan biar tambah seksi. "Sinis amat. Masih kurang, yang tadi malam?""Hih, berisik tauk! Awas ye, tunggu aja pembalasanku," ancamku. "Lho, kamu mau balas menodai aku? Kapan?""Hish... Zeeiiin... Bisa diem nggak!" "Iya, iya. Aku diem. Nggak akan ngelawan," sahutnya sembari dud
Tapi udah lewat sepuluh menit, dia belum juga muncul. Apa, lagi banyak pekerjaan? Atau jangan-jangan, dia udah nggak perduli lagi gara-gara udah mendapatkan apa yang dia mau. Hish.. awas aja ya kalo sampek berani melanggar kontrak dan ninggalin aku. Aku bergegas keluar. Mencari-cari keberadaannya. Ini anak kok hobi nya menghilang terus sih. Cari-cari perhatian aja."Pak Zein mana, Gus?" tanyaku pada klining servis yang sedang berseliweran mungutin sampah."Barusan saya lihat di luar, Buk. Sama cewek. Eh," Dia spontan menutup mulutnya.Hatiku langsung terbakar, gosong. Baru aja pagi tadi dia mesra-mesraan, hari gini udah main gilak? Ou, mau macam-macam ya! Aku meninju telapak tanganku sendiri. "Udah, Gus. Nggak usah ditutup mulutnya. Saya udah denger. Percuma di tutupin. Mending kumur-kumur aja!" ucapku kesal. Aku bergegas menuju keluar. Dengan gaya rotasi, mataku berkeliling mencari jejak jejak keberadaannya. Dan di situlah dia. Ketemu juga kamu ya, Zein. Eiitt, tar dulu. Bukannya
"Kamu jangan marah ya, Yas?" pintanya, saat kami baru saja sampai di ruanganku. Aku menghentakkan bokong seksi berisi ke singgasanaku, dengan wajah kesal."Ngapain kamu ngasi tau dia, kalau kamu kerja di sini? Mo pamer? Kalau sekarang kamu kerja kantoran. Terus orang tuanya suka, dan nerima kamu lagi buat jadi mantunya. Gitu?" Aku membuang muka. Kesal. Benar-benar kesal! "Nggak mungkin lah. Buat apa?""Terus? Kok dia bisa tau? Ouh... masih telpon-telponan?""Jangan nuduh sembarangan, Yas. Mana mungkin aku kek gitu. Gini-gini, aku tipe setia tau!""Terus, dia tau dari mana?""Katanya dia main ke rumah. Ngobrol-ngobrol sama Ibuk dan Zahra. Pasti mereka yang ngasi tau, kalau sekarang aku kerja di sini.""O.. o o o... " Aku membulatkan bibirku. "Jadi udah akrab nih? Sering di ajak ke rumah?" Aku mulai sewot. Hareudang."Itu kan dulu, Yas. Waktu masih pacaran.""Ibuk sama adik kamu, suka sama dia?""Ya gitu deh. Bela langsung bisa dekat sama mereka, sejak pertama kali aku kenalin.""Oh,
Sebenarnya aku malas, tapi tentu aja aku nggak mau mantan pacar suamiku mengambil posisiku di rumah kumuh itu. Ibu dan adiknya harus tau, bahwa akulah menantu di rumah mereka. Duh, pasti begitu aku melangkahkan kaki di depan pintu, mereka langsung histeris dan menyambutku. Bisa-bisa, semua warga kampung di undang untuk merayakan kedatanganku. Mereka pasti bangga, dan sudah pamer sana sini, bahwa anaknya yang tampan, tapi kere ini menikahi seorang wanita cantik, terpelajar, dan keturunan ningrat pula. Pasti aku selalu dielu-elukan. Lain lagi adiknya yang bernama Zahra itu. Matanya pasti akan berbinar-binar melihat pakaianku yang sangat modis ini. Apalagi sepatu, tas dan asesoris yang kupakai saat ini begitu berkelas. Kujamin seribu persen, air liurnya akan menetes, dan merengek minta dibelikan. Hish, dasar benalu. Bisa-bisanya mau morotin kakak ipar aja. Sori-sori ye. Ibu atau adiknya Zein nggak akan dapat a-pa-a-pa.Tak lama, kami pun sampai di sebuah rumah sederhana. Ya, sederhan
Eh, kok kebalik?"Apa ini?" sahutku, menerima pemberiannya. "Hadiah buat Mbak Tyas. Kemarin mau Zahra kasi pas nikahan. Kata temen Zahra, ini kado terbaik buat pengantin baru. Eh, nggak taunya belum nyampek-nyampek pas hari H nya.""Kamu pesan online?""Iya, Mbak. Kirain habis nikah, Mbak Tyas sama Mas Zein mau main ke sini. Tapi kata Mas Zein, dianya agak sibuk. Makanya baru sempet ngasi sekarang. Diterima ya, Mbak?"Aduuuh...ini adek sama abang kok baik banget sih. Bukannya mau minta, malah ngasi. Eh, tapi ini bukan umpan supaya aku terpancing, kan? Tak lama Zein masuk."Ya udah deh, Mbak. Zahra keluar dulu, ya.""Makasih...." sahutku manja. Dia pun keluar meninggalkan aku dan Zein berduaan di kamar. Mana pintunya di tutup lagi. Bikin deg-degan aja."Apa itu, Yas?""Tauk! Dikasi Zahra nih.""Buka dong. Atau mau aku yang bukain?" ucapnya dengan nada menggoda. Iyyuh... cari kesempatan banget pas lagi berdua. "Jangan macem-macem deh Zein. Nanti aku teriak nih!" Aku pura-pura mengan
Aku pun tersipu malu. "Kok tau, kalau Mas Zein setia?" selidikku. "Ya tau lah, Mbak. Yang suka sama Mas Zein kan banyak. Gadis-gadis di sekitar sini banyak banget yang naksir sama Mas Zein. Sering nitip salam sama Zahra. Teman sekolah Zahra pun sering datang, biar bisa ketemu sama Mas Zein.""Terus, Mas Zein Nya gimana? Tergoda nggak?""Ya, enggak lah Mbak. Kan Mas Zein setia banget sama Mbak Bela."What the f*ck! Bela? Jadi maksudnya Zein setia sama Bela gitu? Bukan sama aku? "Kalau sama Mbak gimana? Mas Zein ngomong apa aja?""Nggak ada!"Eh? Dasar si Zein. "Mas Zein nggak pernah cerita. Mas Zein cuman bilang, kalau sekarang jodohnya cuman Mbak Tyas. Udah, gitu aja."Ih.. dasar si Zein. Maksudnya apa tuh. Malu, mengakuiku sebagai istri di depan keluarganya. Apa karena aku terlalu tua buat dia? Ih, sebel! .Dalam perjalanan pulang, aku hanya berdiam diri. Masih kesal dengan penjelasan Zahra, bahwa ternyata Zein cinta banget sama Bela. Apa nanti setelah kami berpisah, Zein akan
Wajahnya tiba-tiba berubah pias. Mungkin nggak nyangka kalau aku akan kembali bertanya. Aku tetap nggak akan bisa tenang, kalau belum tau perasaan Zein yang sesungguhnya terhadap gadis itu. "Bela? Ya, enggak lah, Yas. Masa kamu nggak percaya sama suami kamu sendiri.""Tapi kata Zahra, kamu setia banget sama dia," gerutuku. "Setia karena saling memiliki. Kalau nyatanya dia berpaling, dan memilih laki-laki pilihan orang tuanya, masa aku harus tetap setia? Itu laki-laki bodoh namanya."Aku tertegun. Tak menyangka kalau Zein bisa berbicara setegas ini. Seperti menegaskan, bahwa gadis seperti Bela, sama sekali nggak pantas untuk ditunggu."Kamu nggak bakalan balik sama dia?""Tyas? Sekarang ini, kamu yang udah menjadi istriku. Cuman sama kamu aku bakal setia. Karena sekarang, kamu satu-satunya milikku."Mmm... so cute. "Kamu suka atau nggak suka, aku udah jatuh cinta saat pertama kali kamu melamar, dan memintaku untuk jadi suami kamu. Walaupun hanya sebagai suami bohongan."Jatuh cinta?
"Kenapa?""Karena aku ingin kamu membacanya dan tertarik meminangnya.""Tapi aku nggak tau yang mana.""Aku sengaja. Aku tahu kamu selalu membaca dan menyeleksi semua tulisan yang mau kamu pinang untuk di terbitkan. Aku hanya berharap kamu merasakan dan menandai bagaimana caraku merangkai kata dari setiap cerita yang kutulis. Tapi kamu nggak pernah peka. Kamu bahkan nggak pernah tau kalau part demi part promosi ceritaku lewat di beranda fesbuk kamu."Fesbuk? Dia punya fesbuk? Berteman denganku? Dan foto pernikahan dan komentar-komentar pedas itu? Haish.... Dia melihat semuanya? "Zein, maaf. Aku nggak pernah kepikiran kalau kamu bakalan sampe kek gitu.""Setelah uang yang kuhasilkan cukup dengan uang yang kamu berikan untuk operasi Ibuk, aku akan kembalikan semuanya sama kamu.""Jangan Zein. Itu bayaran kamu, karena udah mau menikah sama aku.""Nggak ada yang perlu dibayar, Yas. Aku bahagia jadi suami kamu, meski tanpa imbalan. Kamu wanita yang baik, Yas. Jangan rendahkan harga dirimu