"Lho, emang kenapa?""Kan udah ada kamu yang ngurutin." Aku membesarkan bola mata ke arahnya."Ish... Zein. Jorok. Jijik tau nggak." Aku memukul-mukul tangannya yang barusan tadi mengurut kakiku. Dia tertawa sambil memegangi perutnya. Sepertinya dia merasa sangat senang melihatku seperti itu. "Kenapa, sih?""Jorok tau nggak. Jangan sentuh-sentuh, ih.""Bercanda kali, Yas," ujarnya sambil terus tertawa. "Bohong. Pasti beneran tuh. Pikiran kamu kan selalu aja mesum.""Ya iyalah. Siapa juga yang bisa nahan diri lama-lama kalau dekat kamu. Ini aja otak aku udah travelling kemana-mana.""Ish, nggak mau. Enak aja." Aku mendorong tubuhnya. "Hayo mau kemana? Nggak bisa jalan, kan? Mau lari kemana lagi? Udah nyerah aja." Dia semakin mendekatkan dirinya."Ish, Zein nakal. Cari kesempatan." Aku kembali mendorong dadanya. Namun tenagaku tentu saja masih kalah jauh. Apalagi dengan keadaan kakiku yang sekarang ini. Aku kembali mencoba menjauhkan diri dari tubuhnya yang semakin merapat. "Zein
Dengan kaki yang masih terasa sakit, aku mencoba bangkit dan berdiri. Berusaha menyambut kedatangan Ibu mertua dan juga adik iparku. "Udah, Nak Tyas. Ndak usah bangkit. Nanti kakinya tambah sakit," ucap Ibunya Zein penuh perhatian. Iapun mendekat untuk menghampiriku. Dengan sungkan, aku meraih dan mencium punggung tangannya dengan takzim. Jangan heran dong. Kan udah jadi mertua beneran. Secara aku dan Zein udah nggak main kontrak-kontrakan lagi. Seperti yang horang-horang bilang, kalau mau sama anaknya, ya harus terima orang tuanya dong. Jadi nggak salah kan, kalau sekarang aku bersikap baik sama Ibu dan adiknya Zein. "Ibuk datangnya kok nggak bilang-bilang? Kan bisa Zein jemput," ucap Zein, sambil melepaskan atribut pembantunya itu. Iyyuh...malu-maluin aja deh. "Nggak apa-apa, Zein. Nanti malah ngerepotin. Ibuk sama Zahra jadi khawatir, saat kamu nelpon tadi malam. Takut kaki istri kamu kenapa-napa."Duh, Zein udah ngadu duluan rupanya. Pantes aja Ibunya cepat-cepat datang ke s
"Lho, jadi ngapain ngajak masuk ke kamar?""Aku cuman mau ngomong, biar Ibuk dan Zahra nggak denger.""Ada apa, Yas?""Ibuk sama Zahra kayaknya kecapean tuh. Suruh nginap di sini aja. Tapi kamu beresin kamar sebelah, ya. Ganti sprei sama bawa handuk sama perlengkapan kamu yang lain. Ntar ketauan lagi, kalau selama ini kita tidurnya di kamar terpisah.""Iya juga, sih. Tapi, udah sah nih, aku pindah ke kamar kamu?"Aku tersenyum dan mengangguk. "Kan kita udah nggak punya kontrak lagi," jawabku malu-malu. "Makasih ya, Yas.""Ish, makasih apaan sih. Udah dibahas juga tadi malam." Aku mulai sewot. "Makasih juga udah baik sama keluarga aku.""Keluarga kita kali, Zein. Udah deh, jangan sungkan-sungkan gitu. Buruan beresin. Ntar Ibuk sama Zahra keburu bangun tuh. Kalau kakiku juga nggak sakit, aku pasti udah bantuin kamu dari tadi.""Iya. Nggak apa-apa. Beresin kamar segitu doang, gampang. Apalagi pindah ke kamar kamu. Bikin tambah semangat, Yas.""Ish, Zein bisa aja deh. Buruan, gih.""Iy
Aku dan Zein saling berpandangan satu sama lain. Tentu saja dengan detak jantungku yang dag dig dug jer, juga dengan ginjalku yang hampir copot. Mana denyut di kaki tiba-tiba kambuh lagi. Lalu kami masing-masing menoleh ke arah Ibu dan Zahra yang sudah memasang wajah tak suka. Ish... pasti marah besar nih. "Jawab, Zein! Apa maksudnya ini?" Ibu mempertegas pertanyaannya.Zein meraih kertas-kertas yang disodorkan oleh Ibu mertua. Tanpa melihatpun, aku sudah tahu pasti apa yang sedang dipermasalahkan olehnya. Itu adalah surat kontrak yang kami tanda tangani bersama Zein. Satu rangkap untuknya, dan satu lagi aku yang pegang. Tapi bagaimana bisa, Ibu dan Zahra menemukannya. Zein teledor sekali. Menyimpan benda penting itu secara asal, hingga mudah untuk ditemukan. "Ibu nggak nyangka, sampai hati kalian membohongi Ibu dan Zahra." Mereka berduapun pergi berjalan kembali menuju kamar sebelah. Zein menoleh ke arahku, lalu kusertai dengan anggukan. Pergilah Zein, bujuk Ibumu. Zeinpun meny
Aku masih berdiri mematung di depan pintu. Sampai kulihat Ibu membuka pintu dengan kasar, disertai Zahra yang juga bertatapan langsung denganku sekilas, kemudian membuang pandangan. Duh, bertambah sakit hatiku. "Buk, jangan pergi. Maafin Zein sama Tyas, ya," ucapku dengan nada merayu. Omegot. Kok aku bisa jadi gini sih? Merendahkan diri sendiri dengan meminta maaf sama orang misqueen. Apa ini yang disebut jatuh cinta? Oh ya ampun. Kalau begini sih, bukan cuma Zein yang nggak punya harga diri. Tapi juga aku. "Tidak ada yang perlu dimaafkan. Akan kami ganti semua uang yang dipakai Zein. Jadi, lepaskan dan ceraikan saja Zein. Dia ndak perlu ngutang apa-apa lagi," ucap Ibuk tanpa memandangku. Aku terdiam. Lututku mendadak lemas. Mulutku seperti terkunci mendengar kata perceraian. Seharusnya malam itu juga kami hancurkan surat kontrak itu, biar nggak sampai menjadi masalah seperti ini. "Hentikan itu, Buk. Zein tidak akan pernah menceraikan Tyas!" Zein tiba-tiba menyela dan berdiri di
Lho, kok ada Bela, sih? Ngapain si bibit pelakor ngobrol akrab sama Ibuk. Nggak mungkin juga kan, dia yang mau bayarin rumah ini. Emang dia punya duit?Tiba-tiba saja hatiku menciut. Semangat yang tadi berkobar-kobar, mendadak redup. Kaki yang seharusnya sudah tidak terasa sakit karena terlalu berambisi datang kemari, tiba-tiba kembali berdenyut. Tiba-tiba saja kepalaku terasa pusing. Pandanganku mulai berkunang-kunang. Ibu mertuaku dan Bela terlihat mengembang. Tubuh mereka seperti bengkok ke sana bengkok ke sini. Seperti hantu, mereka kadang hilang, kadang muncul secara perlahan. Hi, serem. Lalu tiba-tiba saja ruangan tempatku berdiri ini menjadi gelap. Padahal hari masih siang. Mataku tiba-tiba seperti hendak menutup sendiri, dan aku tak bisa melihat mereka lagi. .Aku membuka mataku secara perlahan. Samar-samar kulihat tempat di sekitarku. Seperti pernah masuk ke sini, tapi aku lupa kapan. Aroma menyengat khas minyak angin terasa begitu kuat di lubang hidungku. Masih terasa han
Aku begitu terkejut. Kenapa tiba-tiba Zein bisa ada di sini? Padahal aku sama sekali tidak pamit padanya. Mana mungkin dia sampai berpikir, kalau aku akan berani menemui Ibunya seorang diri. Secara dia kan tau, kalau harga diri dan gengsiku terlalu tinggi. Atau jangan-jangan, dia ke sini karena udah janjian sama Bela? Eh, ngemeng-ngemeng, si bibit pelakor kemana, ya? Kok nggak kelihatan? Tadi kan ada. Apa tadi saat aku pingsan, mereka lagi berdua-duaan sama Zein? Huwaaaa..... kenapa Zein tega? Baru tadi malam dia janji agar tidak menceraikan aku. Nyatanya sekarang dia dan si bibit pelakor udah main gilak aja."Kamu kenapa nangis, Yas?" Dia mendekat, dan berjongkok di hadapanku. Kemudian mengelus pundakku. Aku menepiskan tangannya. Merasa tidak terima dengan sikapnya yang berpura-pura perhatian, padahal melakukan permainan di belakangku. "Kalau tau begini, aku nggak perlu datang Zein. Toh kamu juga udah nggak ingin mempertahankan hubungan kita. Aku pulang aja deh. Kalau mau cerai,
"Kamu ngomong apa sih, Yas? Jangan bercanda. Jangan main-main soal perpisahan," ucap Zein. Jujur, aku juga sakit dengan semua ini. Tapi andaipun dilanjutkan, itu akan lebih menyakiti hatiku yang lemah lembut ini. Kehadiran Bela benar-benar membuatku malas dan ingin menyerah saja. Aku sudah kehilangan banyak harga diri demi Zein. Sikap posesifku yang berlebihan, nyatanya tak membuat hati Zein jadi milikku seutuhnya. "Sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi, Zein!" Aku pun pergi dari rumah itu tanpa menoleh lagi. .Duh, sepi banget sih ini rumah. Nggak ada lagi Zein yang rajin dan nakal hadir untuk menggodaku. Nggak nyangka, usia pernikahan kami hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Aneh-aneh aja deh. Kenapa juga seorang Raden Roro Dining tyas harus merasa sakit sampai kayak gini. Bukannya dari awal, perceraian memang harus dilakukan? Toh juga aibku udah tertutupi. Jadi kayaknya nggak terlalu masalah deh kalau aku harus menyandang status janda. Kan emang dari awal niatnya seper