Aku begitu terkejut. Kenapa tiba-tiba Zein bisa ada di sini? Padahal aku sama sekali tidak pamit padanya. Mana mungkin dia sampai berpikir, kalau aku akan berani menemui Ibunya seorang diri. Secara dia kan tau, kalau harga diri dan gengsiku terlalu tinggi. Atau jangan-jangan, dia ke sini karena udah janjian sama Bela? Eh, ngemeng-ngemeng, si bibit pelakor kemana, ya? Kok nggak kelihatan? Tadi kan ada. Apa tadi saat aku pingsan, mereka lagi berdua-duaan sama Zein? Huwaaaa..... kenapa Zein tega? Baru tadi malam dia janji agar tidak menceraikan aku. Nyatanya sekarang dia dan si bibit pelakor udah main gilak aja."Kamu kenapa nangis, Yas?" Dia mendekat, dan berjongkok di hadapanku. Kemudian mengelus pundakku. Aku menepiskan tangannya. Merasa tidak terima dengan sikapnya yang berpura-pura perhatian, padahal melakukan permainan di belakangku. "Kalau tau begini, aku nggak perlu datang Zein. Toh kamu juga udah nggak ingin mempertahankan hubungan kita. Aku pulang aja deh. Kalau mau cerai,
"Kamu ngomong apa sih, Yas? Jangan bercanda. Jangan main-main soal perpisahan," ucap Zein. Jujur, aku juga sakit dengan semua ini. Tapi andaipun dilanjutkan, itu akan lebih menyakiti hatiku yang lemah lembut ini. Kehadiran Bela benar-benar membuatku malas dan ingin menyerah saja. Aku sudah kehilangan banyak harga diri demi Zein. Sikap posesifku yang berlebihan, nyatanya tak membuat hati Zein jadi milikku seutuhnya. "Sebaiknya kita nggak usah ketemu lagi, Zein!" Aku pun pergi dari rumah itu tanpa menoleh lagi. .Duh, sepi banget sih ini rumah. Nggak ada lagi Zein yang rajin dan nakal hadir untuk menggodaku. Nggak nyangka, usia pernikahan kami hanya bertahan selama beberapa bulan saja. Aneh-aneh aja deh. Kenapa juga seorang Raden Roro Dining tyas harus merasa sakit sampai kayak gini. Bukannya dari awal, perceraian memang harus dilakukan? Toh juga aibku udah tertutupi. Jadi kayaknya nggak terlalu masalah deh kalau aku harus menyandang status janda. Kan emang dari awal niatnya seper
"Atau, Yas. Jangan-jangan Zein...." Bino terlihat ragu-ragu."Jangan-jangan apaan?" Aku jadi penasaran. "Pasti sedang ada yang kalian sembunyikan, kan?""Ngomong apaan sih?""Pasti saat ini kalian punya rahasia nih."Dih, si Bino nakut-nakutin aja deh. Jangan-jangan, dia udah mulai curiga lagi tentang hubungan aku dan Zein. "Rahasia apaan?""Dari kemaren, sikap Zein udah mencurigakan. Ditambah lagi saat ini dia nggak masuk. Udah pasti deh. Kamu nggak usah nutup-nutupi lagi deh, Yas. Jujur aja sama aku.""Mencurigakan gimana, Bin? Emang waktu aku nggak ada, Zein sering ngapain?"Duh, kok aku jadi deg-deg ser sih. Jangan-jangan, Bino udah tau lagi kalau Zein selingkuh sama mantannya. "Zein sering bolak-balik ke kamar mandi. Keliatan gelisah gitu."Tuh, kan. Ngapain coba. Pasti bolak-balik nelpon si bibit pelakor tuh. Biar nggak kedengaran sama yang lain, makanya sembunyi-sembunyi di kamar mandi. "Emang kamu tau dia ngapain di kamar mandi, Bin?" Aku terus mengorek informasi."Nah, it
"Zein?" Aku langsung membuang pandangan saat Zein mendekati meja kami. Tetap nggak mau melihat wajah tampannya lagi. "Jadi, ini semua karena cowok ini?" Dia kembali bertanya. "Kamu pergi aja deh, Zein. Aku udah males ngomong sama kamu.""Ayo pulang! Kita bicarakan di rumah," perintahnya. "Nggak mau.""Kenapa?""Aku mau di sini aja.""Oh, jadi benar, sekarang kamu mau balikan lagi sama mantan kamu ini?" "Eh, bentar, bentar, Bro," sela Rama. Aku melotot ke arahnya. Ini anak, kira-kira mau ngomong apa ya? "Ada apa?" Zein terlihat menantang. Dih, gayanya itu macho amat sih. Bikin aku balik terpesona aja nih sama sikap jantannya. "Kek nya salah paham, deh. Aku baru aja duduk di sini Bro. Nggak ada janjian sama Tyas sama sekali.""Terus?""Ya, aku sama Tyas nggak ada ngapa-ngapain. Lagipula aku ini bukan mantannya."Duh, ternyata Rama juga orang baik. Nggak ingin memperkeruh suasana panas, antara aku dan Zein. Zein terdiam, lantas kembali menoleh ke arahku. "Ayo pulang. Kita bicarak
"Biarin. Emangnya kamu masih perduli?"Duh, Zein benar-benar ngambek rupanya. "Aku antar ke Dokter aja, gimana?" Dia diam tak menjawab. Tuh, kan. Marahnya banyakan dia. "Zein!""Kamu nggak usah perduliin aku lagi. Kalau aku sakit ataupun mati, juga nggak akan berpengaruh sama kamu. Bukannya kamu udah nemuin pengganti aku? Kamu sekarang udah bebas menikah sama siapapun.""Ish, Zein. Aku sama Rama nggak ada apa-apa, tau! Kamu jangan memutar balikkan fakta dong. Kamu duluan tuh yang selingkuh. Kalau kamu emang mau pulang, ya udah sana. Mana nomor Bela, biar aku suruh dia jemput kamu.""Aku nggak pernah selingkuh. Ketemu dia juga aku nggak ada. Terserah kamu mau percaya sama aku atau enggak. Yang jelas, aku sama keluargaku nggak pernah punya niatan untuk morotin uang kamu."Kan bener. Cuma karena masalah ini aja Zein sampai marah-marah dan nekat mau pulang walaupun sedang sakit. "Ya udah deh. Aku kompres kamu dulu. Setelah mendingan, baru kamu bisa pulang kemana aja. Aku juga nggak pe
Akhirnya, akupun mulai berperang di dapur. Dengan berbekal ingatan yang pernah aku lihat di rumah, ataupun Zein yang tengah mendadar telur. Untung membuatnya tidak terlalu sulit. Cuman begini mah, kecil. Walaupun dapur harus kotor, karena cipratan minyak yang sudah memercik kesana kesini. Mana kena tangan mulusku lagi. Sebel deh. Begini amat ngurusin orang yang lagi sakit. Aku kembali masuk ke kamar. Melihat Zein yang sedang berbaring sambil memejamkan mata. Duh, masih hidup nggak ya? Kalau ternyata dia mati saat kutinggal tadi, gimana?Aku meletakkan sepiring nasi dan juga telur dadar di atas nakas. Lalu menempelkan telinga ke dada bidangnya, untuk mengecek apakah jantungnya masih berdetak atau enggak. Tentu saja saat ini kulit kami saling bersentuhan, membuat diriku kembali merasakan sesuatu. Sayang, rindu, takut, ah entahlah. Masa bodo. "Aku masih idup kali, Yas," ucapnya tiba-tiba. Aku terkejut dan langsung mengangkat kepalaku menjauh dari dadanya. "Ngagetin aja. Pura-pura ti
Duh, sedih banget sih hidup mereka. Udah miskin, dihina-hina pula. "Ya udah deh, soal Ibuk aku ngalah. Aku salah, dan aku minta maaf sama kamu. Puas?" ucapku sungguh-sungguh. Dasar akunya aja yang bucin. Gampang banget sih minta maaf. Merendahkan diri sendiri aja."Iya, Yas. Aku udah maafin kamu. Makasih, ya?""Tapi, masalah kita berdua belum selesai, ya! Pokoknya, setelah kamu sembuh, kamu pergi dari rumah ini. Sana, minta urus sama pacar kamu itu. Aku udah iklas ngelepas kamu.""Kamu ngusir aku, Yas?""Iya. Bukannya kamu, yang tadi sibuk banget mau pulang.""Oh, terserah kamu aja. Aku juga nggak mungkin maksa, kalau kamu emang nggak mau baikan sama aku lagi. Kamu mau balikan sama pacar kamu itu, kan? Kurasa aku emang nggak punya hak lagi untuk ngatur-ngatur kehidupan kamu, Yas.""Ish, Zein. Jangan ngaco deh. Ini nggak ada hubungannya sama Rama, kali. Kamu jangan cari-cari alasan deh," ketusku, sambil menarik-narik tanganku. Mana nggak bisa lepas lagi. Kuat banget sih tenaganya, wa
Setelah selesai mandi, keramas dong pastinya, aku kembali ke dapur untuk membereskan kekacauan-kekacauan yang ku perbuat akibat mendadar telur tadi. Kubiarkan Zein yang masih tertidur pulas di bawah selimut. Pasti kecapean tuh. Nggak pernah-pernah dia langsung tertidur seperti itu. Biasanya langsung bergegas bangun, dan membiarkan aku sendirian di tempat tidur. Udah tau lagi sakit, pasti lemah dong ya, eh tau-tau minta yang macem-macem. Aneh-aneh aja, kan, permintaan orang sakit yang satu ini. Pake alasan supaya berkeringat segala. Iyyuh... Ngeles banget. Usai berberes, aku kembali ke kamar. Ku bawakan Zein secangkir teh hangat. Dengan pelan kutepuk pipinya yang mulus. "Zein!" Dia menggeliat. Aku meraba keningnya, merasakan suhu yang tadi begitu panas, kini sudah berkurang. "Minum teh dulu, Zein. Panasnya udah mulai reda, tuh," perintahku. Dia membuka matanya sedikit demi sedikit. Idih, kok kesannya lemah banget. Padahal tadi pas maksa aku, masih semangat-semangat aja. Kulihat