Share

Cemburu

Suara pintu dibanting terdengar dari kamar Selena, tak lama Mas Aksa keluar hanya memakai celana kolor tanpa memakai baju.

"Selena," teriaknya.

Aku meninggalkan dapur menghampiri Mas Aksa.

"Mas, kamu itu kenapa masih pagi teriak-teriak?" tanyaku bingung.

Suamiku mengusap wajahnya kasar, rahang kokohnya mengeras menandakan Mas Aksa sedang dalam keadaan benar-benar marah.

"Ini sudah siang, Selena tidak membangunkanku," ujarnya.

"Aksa, kamu itu kenapa teriak-teriak berisik, tau!" protes ibu berdiri diambang pintu dengan rambut acak-acakkan.

"Selena tidak membangunkanku, sekarang sudah setengah 7 kalau aku telat gimana, Bu? Ibu, sih, menyuruh aku tidur dengan Selena. Kalau gajiku dipotong karena telat apa ibu mau jatah ibu dikurangi!" ungkap Mas Aksa begitu kesal.

Memangnya enak beristri dua, pusing sendiri kan. Gaji Mas Aksa sebenarnya tidak terlalu besar, dia hanya karyawan biasa di sebuah perusahaan jasa. Gaya hidup ibu mertua dan adik iparku selalu mewah. Menurut cerita Mas Aksa, mereka dulu orang kaya, selepas bapak mertua meninggal hidup mereka berantakan karena ibu gemar berhutang.

Warisan bapak mertua hanya tinggal rumah ini yang kami tempati sekarang. Tanah, aset-aset yang lain sudah dijual untuk biaya hidup dan membayar hutang ibu.

"Ibu tidak mau jatah ibu dipotong. Harusnya kamu salahin Aira. Kenapa dia tidak membangunkan kamu," bentak ibu.

"Maaf, ya, Bu. Hari ini tugas sebagai istri Mas Aksa aku alihkan ke Selena karena mulai sekarang aku mau kerja lagi," sahutku sembari membenahi blazer yang aku kenakan.

Mata ibu melotot, melihatku dari atas sampe bawah. Sepertinya wanita paruh baya itu baru sadar aku sudah rapi hendak berangkat kerja.

"Loh, loh, kalau kamu kerja siapa yang masak sama beres-beres rumah," protesnya.

"Tadi aku sudah bilang, Selena yang menggantikanku," jawabku santai.

"Kamu tidak bisa membuat keputusan seenaknya, Aira. Aksa, kamu harus larang Aira bekerja. Ibu tidak mau Selena yang masak dan beres-beres rumah," tolak ibu.

"Bu, sudah biarkan Aira bekerja karena ku sudah mengizinkannya," sahut Mas Aksa.

"Apa, Mas," sela Selena dari arah dapur. Mata Selena sembab karena habis menangis. "Aku tidak mau masak apa lagi beres-beres rumah," tolak Selena berang.

"Selena kamu dari mana saja! Kenapa tidak membangunkanku," bentak Mas Aksa melihat istri keduanya keluar dari arah dapur.

Wajah Selena berubah sendu. "Aku minta maaf, Mas. Tadi papa telepon, katanya abis kena tipu. Orang yang biasa memesan ayam potong belum membayar, kami rugi besar," jelas Selena sembari terisak.

Aku mengeryit kening mendengar perkataan Selena. Bukannya tadi di telepon Selena mengatakan peternakan mereka kebakaran? Lalu kenapa Selena berbohong.

"Ya ampun, jadi besanku kena tipu. Kasihan sekali," sahut ibu ikut prihatin.

Selena mengangguk, air matanya luruh membanjiri pipi mulusnya. "Iya, Bu. Papa tadi menanyakan, apa Mas Aksa mau membantu papa untuk menambah modal, nanti kalau usaha ayam potong berjalan lagi, ibu dan Mas Aksa akan dapat untung besar," jelas Selena antusias.

Aku masih belum paham arah pembicaraan Selena. Tapi, sudah lah aku tidak mau pusing memikirkan masalah mereka. Lebih baik aku fokus membesarkan usaha restoku, aku akan menunjukkan ke ibu dan Mas Aksa kalau aku bukan beban mereka.

"Bu, Mas, aku mau berangkat kerja dulu," selaku berpamitan.

Ibu yang tadinya ingin menghibur menantu barunya terhenyak kaget. "Tidak boleh, pokoknya kamu jangan bekerja, Aira. Kamu harus siapkan sarapan pagi kami lalu membereskan rumah," tegasnya.

Aku merubah wajah sedih seraya menatap Mas Aksa. Suamiku terlihat bingung, memilih antara istrinya atau ibu yang melahirkannya. Beberapa kali dia menyugar rambutnya, frustasi.

"Mas, kamu harus tegas dengan Mbak Aira. Jangan biarkan Mbak Aira bekerja, pokoknya aku nggak mau menggantikan Mbak Aira jadi babu di rumah ini," tolak Selena tegas.

"Mas, kamu mengizinkanku bekerja, kan?" tanyaku dengan tampang memelas. Aku yakin dia tidak akan tega.

"Cukup ibu memperlakukan Aira seperti babu, dia juga istriku. Selena, kamu harus menggantikan Aira kalau kamu masih mau menjadi istriku. Selama ini Aira sudah mengabdi di keluarga ini, sekarang gantian karena kamu juga sudah bagian keluarga ini kamu harus mengikuti aturanku," tegas Mas Aksa.

Kuberikan senyum jahat kearah Selena, karena Mas Aksa membelaku. Gadis itu begitu kesal, ingin membantahnya pun dia pasti takut akan jadi janda. Selena menghentakkan kakinya, kesal.

Ibu hanya diam tidak membantah perkataan putranya. Ternyata ibu juga takut jika Mas Aksa marah.

"Selena, untuk sekarang kamu dengarkan omongan suami kamu, jangan sampai membuat Aksa marah," bisik ibu masih bisa aku dengar.

"Tapi, Bu. Aku tidak biasa memasak apa lagi beres-beres rumah," lirih Selena.

"Selena cepat kamu siapkan pakaian kerjaku," titah Mas Aksa.

Selena menghela napas berat. "Baju kamu ditaroh di mana, Mas?" tanya Selena kebingungan.

"Selena, aku lupa belum menyetrika baju kerja Mas Aksa," sahutku santai.

Selena melebarkan mata coklatnya. "Apa," gumamnya dengan mulut melongo.

"Selena cepat kamu setrika bajuku," perintah Mas Aksa lantang. "Ai, kamu jangan berangkat duluan. Kita berangkat bersama, nanti kita cari sarapan dulu di luar."

"Iya, Mas," balasku manja.

"Mas, kamu mau mengajak Mbak Aira sarapan. Lalu, aku gimana? Aku juga lapar."

"Kalau kamu lapar, kamu bisa masak. Nanti jangan lupa kamu juga masakin untuk ibu dan juga Ratu," titah Mas Aksa lalu meninggalkan Selena yang masih tertegun. Suamiku menarik tanganku masuk ke dalam kamar.

"Mas, kamu jahat. Terus gimana uang modal buat papa," teriak Selena.

"Selena, cepat kamu setrika baju Aksa. Kamu tidak mau kan jadi janda," ucap ibu masih bisa aku dengar dari dalam kamar.

Mas Aksa menuntunku kearah ranjang, lalu mendudukkanku di tepinya. "Kamu tunggu disini, ya, Ai. Mas cuma sebentar mandinya, ingat jangan kemana-mana."

"Iya, Mas. Aku tidak akan pergi, kamu cepat mandinya sudah siang. Oh, iya, terima kasih, ya, mas sudah membelaku di depan ibu," ucapku terharu.

"Ok, Sayang. Mas tidak akan lama. Kamu istriku, Ai. Mas akan membela kamu," ucapnya. "Ya sudah, mas mandi dulu, ya."

"Iya."

Sambil menunggu Mas Aksa, aku berselancar di dunia maya. Terkadang selesai tugas membereskan rumah, aku membaca novel di aplikasi untuk menghibur diri di tengah genjatan senjata dengan ibu dan juga Ratu.

Aku membaca novel di platform berbayar, di sana ada salah satu novel yang paling aku suka judulnya "Cinta Sang Duda" mengisahkan seorang gadis bernama Rania menjadi korban pelecehan, orang tua Rania mengusir Rania karena pengaruh ibu tirinya yang jahat. Di jalan Rania bertemu dengan polisi tampan bernama Dewa berstatus duda.

Kisah cinta Rania dengan Dewa begitu romantis, terbesit iri dengan perlakuan Dewa ke Rania. Andai Mas Aksa seperti tokoh Dewa, aku pasti menjadi wanita paling beruntung di dunia.

Brak!

Aku berjengit kaget, pintu dibuka dengan kencang, Selena masuk ke dalam kamar sambil membawa baju kerja Mas Aksa.

"Di mana Mas Aksa?" tanyanya dengan wajah masam.

Aku hanya membalas dengan melirikkan mata ke arah pintu kamar mandi. Selena mendengkus kesal. Tak lama pintu kamar mandi terbuka, Mas Aksa keluar hanya memakai handuk kecil melilit pinggangnya, tubuh kekarnya terpampang jelas membuat wanita mana pun pasti terpesona melihat pahatan sempurna wajah tampan Mas Aksa. Seandainya, suamiku tidak menikah lagi tentu saja waktu seperti ini yang aku suka.

"Mas Aksa, kamu tampan sekali," puji Selena. Wanita itu mendekati suaminya seraya mengelus dada bidangnya. Aku yakin Selena menginginkan Mas Aksa.

Aku membuang pandangan, tiba-tiba ada perasaan nyeri melihat mereka. Aku menepuk dada pelan untuk mengurangi rasa sesak.

"Selena, lepas. Aku mau berangkat kerja," tolak Mas Aksa seraya mendorong istri mudanya.

"Mas, tapi aku pengen," rajuknya manja.

"Memangnya kamu mau aku dipecat," bentak Mas Aksa.

"Sebaiknya aku menunggu kamu diluar saja, Mas. Cepat mas pakai baju, jangan lama-lama nanti aku tinggal," ucapku tegas.

"Ai, kamu tunggu mas, ya."

Aku meninggalkan kamar dengan hati berdarah. Walau sudah berusaha ikhlas tetap saja rasanya sakit sekali. Tiba di teras aku menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengurangi beban yang menghimpit di dalam dada.

Tidak sampai 5 menit Mas Aksa keluar dengan pakaian tidak rapi, malah aneh karena warna pakaian bertabrakan. Aku memijit pelipis melihat Mas Aksa tidak terurus.

"Ayo, Ai. Kita berangkat," ajaknya.

"Mas, yakin mau pakai baju seperti ini?" tanyaku.

Mas Aksa melihat pakaian yang dikenakan, keningnya berkerut. "Selena, tidak bisa memilih baju seperti kamu, Ai. Dia payah hanya bisa dandan, shoping, jalan-jalan," cetusnya sembari menarik napas panjang.

Aku tersenyum dalam hati, nikah baru beberapa hari kamu sudah kacau mas. Bagaimana kalau aku tinggalin kamu.

"Ya sudah, lebih baik kita berangkat," ajakku.

"Iya, Ai."

Mas Aksa membukakan pintu mobil untukku. Selama menikah dengannya baru kali ini dia membukakan pintu mobil untukku.

"Mas, tunggu. Kamu makan dulu, aku sudah buat telor ceplok spesial untuk kamu." Selena berlari mendekati kami, di tangannya dia membawa piring. Tapi bukan itu fokusku, aku melihat isi di dalam piring telor ceploknya berwarna hitam.

"Aku mau sarapan diluar saja," tolak Mas Aksa. Suamiku mendorong piring yang disodorkan Selena.

"Sedikit saja, Mas. Aku sudah capek-capek masak masa mas nggak mau mencicipinya." Selena terlihat kecewa karena suaminya menolak masakkannya.

"Selena, sudah aku bilang tidak mau. Kami sudah telat, cepatan minggir," bentak Mas Aksa. Tubuh Selena membeku, aku bisa melihat ada mendung di matanya dia hampir menangis.

Mas Aksa berjalan memutari mobil lalu masuk ke dalamnya, dia benar-benar menghiraukan tatapan sedih Selena. Suamiku melajukan mobil meninggalkan rumah.

"Ai, memangnya kamu kerja di mana?" tanya Mas Aksa memecah keheningan.

"Aku kerja di Resto lagi, Mas. Nadia sudah menerimaku kembali kerja di sana," sahutku tanpa mengalihkan pandangan keluar jendela.

Mas Aksa hanya tau pemilik Resto ayam bakar madu milik Nadia--sahabatku.

"Oh, kamu kerja lagi disana," gumamnya.

"Iya, Mas."

Beberapa saat kami saling diam terjebak dengan pikiran masing-masing. Mobil Mas Aksa menepi ke salah satu gerobak bubur ayam di pinggir jalan.

"Ai, kita sarapan dulu," ajaknya.

Rasanya lucu, aku seperti sedang pacaran dengan suami orang. Mungkin seperti ini sebelum Selena dan Mas Aksa menikah. Aku yakin mereka sudah banyak menghabiskan waktu bersama dibelakangku.

Mas Aksa keluar mobil lebih dulu, lalu dia membukakan pintu mobil untukku. Tangan Mas Aksa terulur, agar aku mengenggam tangannya. Namun, aku menghiraukannya. Aku memilih berjalan masuk ke dalam warung bubur ayam lebih dulu, sekilas aku melihat ada guratan kecewa di wajah tampan Mas Aksa karena aku sudah mengabaikannya.

"Pak, aku pesen bubur ayam yang pedes jangan pakai kacang tapi yang banyak daun bawangnya," kataku ke bapak penjual bubur ayam.

"Ai, kok, kamu cuekin Mas." Mas Aksa sudah berdiri disampingku.

"Maaf, Mas. Tadi aku laper, sebaiknya cepat mas pesan bubur setelah itu kita berangkat lagi."

Mas Aksa menghela napas berat. Kutinggalkan Mas Aksa yang sedang memesan bubur, aku memilih duduk di kursi paling pojok. Kulirik jam dipergelangan tangan sudah pukul 7.

Mas Aksa menghampiriku sembari membawa 2 mangkok bubur ayam di tangannya.

"Ini bubur kamu, Ai." Mas Aksa menaruh mangkok di depanku.

"Terima kasih, Mas. Oh, iya, sebaiknya kita makannya cepat nanti kita terlambat," titahku.

Mas Aksa memilih duduk berhadapan denganku. Aku melahap bubur dengan cepat, rasanya malas lama-lama dengan Mas Aksa.

"Ai, makannya jangan cepat-cepat."

"Sudah siang, Mas. Aku tidak mau hari pertama telat kerja, walau Nadia--sahabatku aku tidak mau membuat dia kecewa," balasku.

Aku menghabiskan mangkok bubur sampai tandas tapi tidak dengan Mas Aksa, sepertinya dia sedang tidak berselara makan. Dia hanya mengaduk-ngaduk buburnya.

"Kenapa tidak dihabiskan, Mas?" tanyaku.

"Ai, apa sebaiknya kita melakukan bulan madu kedua, mas merasa kita semakin jauh. Mas ingin mempererat lagi tali pernikahan kita, siapa tahu setelah bulan madu kedua kamu hamil, Ai."

Aku yang sedang minum hampir tersedak mendengar keinginan Mas Aksa. Apa tidak salah Mas Aksa meminta bulan madu kedua denganku, sedangkan dia saja sedang masa bulan madu dengan Selena.

"Maaf, Mas. Aku tidak bisa, aku mau fokus bekerja. Seadainya kamu tidak menikah lagi, ceritanya akan berbeda," tolakku tegas.

Mas Aksa menundukkan wajahnya, biarkan saja dia marah. Bukan, aku tidak mau memiliki anak, andai dia setia pasti dengan senang hati aku menuruti keinginannya untuk bulan madu kedua.

"Ayo, kita berangkat," ajakku.

Mas Aksa hanya diam lalu membayar bubur ayam yang kami makan. Kami kembali melanjutkan perjalanan.

Mobil Mas Aksa berhenti tepat di depan Resto, walau masih pagi mobil pengunjung di parkiran sudah lumayan ramai. Aku bersyukur berkat Nadia resto semakin maju.

"Mas, aku masuk dulu, ya," pamitku. Aku mengambil tangan Mas Aksa lalu menciumnya penuh takzim. Walau Mas Aksa berkhianat aku akan tetap menghormatinya sebagai suami.

"Ai, mas mohon pikirkan lagi keinginan mas. Mas ingin menebus kesalahan karena sudah menikah lagi," pintanya.

Aku menatap bola mata coklat dengan bulu mata tebal. "Nanti aku pikirkan lagi, Mas. Aku masuk dulu, ya."

"Nanti pulang mas jemput, ya, Ai." Aku tidak menjawab ucapannya. Cepat aku menutup pintu mobil.

Mobil Mas Aksa meluncur meninggalkan resto. Aku masuk ke dalam, karyawan yang kebetulan berpapasan denganku menyapaku dengan hormat. Seluruh karyawan di sini semuanya orang lama, mereka semuanya mengenalku pemilik resto ini. Walau selama setahun Nadia yang menghandle resto, mereka tidak lupa siapa pemiliknya.

"Laras, Nadia di mana?" tanyaku. Gadis berwajah manis yang sedang melayani pembeli sedikit kaget melihatku.

"Di dalam, Mbak," sahut Laras. Karyawan di sini semua memanggilku dengan sebutan mbak. Aku tidak mau dipanggil bos, karena aku sudah menganggap mereka bagian dari keluargaku.

"Terima kasih, Ras."

Kuayunkan langkah menuju ruangan khusus di dalam resto. Ruangan itu sebenarnya tempat kerjaku tapi selama Nadia yang mengurusnya, ruangan itu sekarang ruangan kerja Nadia.

Aku membuka pintu, terlihat Nadia sedang duduk sambil menerima telepon. Wajahnya begitu serius seperti ada masalah yang sedang terjadi. Melihat kedatanganku Nadia hanya memberi kode untuk menerima telepon dulu.

Sambil menunggu Nadia selesai menerima telepon, kuedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tidak ada yang berubah masih sama saat aku tinggal. Foto kedua orang tuaku juga masih terpajang di atas meja kerjaku. Nadia sama sekali tidak merubah interior ruangan.

Nadia sudah selesai menerima telepon, gadis itu kemudian memelukku erat. "Akhirnya, kamu kembali ke resto, Ai," ucapnya dengan mata berembun.

"Maaf, ya, Nad. Aku sudah lama meninggalkan resto."

"Aku senang kamu kembali, Ai."

"Aku juga, Nad. Akhirnya, aku bisa mengelola kembali resto orang tuaku."

"Tapi, Ai. Ada sedikit masalah, Raja ayam potong sudah tidak bisa mengirim ayam mentah lagi. Tadi, orang suruhan kita mendatangi usaha Raja ayam potong yang ternyata sedang mengalami musibah. Peternakkan ayam mereka dilalap si jago merah. Kita harus mencari lagi pemasok bahan mentah yang bisa dipercaya, Ai," jelas Nadia.

"Kalau begitu kita kerja sama dengan Ajun ayam potong saja, Nad."

"Iya, Ai. Kemarin resto pesan ayam potong di Ajun, bahan mentahnya bagus-bagus dan juga berkualitas."

"Bagus, nanti kamu menghubungi Ajun ayam potong untuk melakukan kerja sama. Oh, iya, Nad. Apa Raja ayam potong mau mengembalikan uang resto yang sudah kita bayar?"

Nadia menggelengkan kepalanya. "Mereka belum mengembalikannya, Ai. Pihak Raja ayam potong meminta waktu."

Sebenarnya tidak masalah dan tidak berpengaruh juga buat resto. Walau uang itu untuk modal kembali, bersyukur resto setiap hari semakin rame.

"Ya sudah, beri waktu 2 minggu Raja ayam potong untuk mengembalikan uang kita, Nad," perintahku.

"Ok, Ai. Aku akan konfirmasi ke Raja ayam potong."

Nadia kembali menghubungi Raja ayam potong, aku sengaja diam menyimak pembicaraan Nadia dari sambungan telepon.

"Ai, anak Pak Raja ingin bicara dengan kamu." Nadia menyerahkan pesawat telepon yang sedang dia pegang.

Aku mengambil gagang telepon kemudian menempelkan ke indra pendengaranku.

"Hallo, saya Aira pemilik Resto ayam bakar madu," sapaku memperkenalkan diri.

"Hallo, saya anak Pak Raja ayam potong mau meminta keringanan waktu untuk mengembalikan uang yang sudah kami terima, Mbak," ucap seseorang dari sebrang telepon.

Tunggu. Kenapa suara anak Pak Raja sepertinya tidak asing, ya?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status