“Aku… yang mana di antara mereka?”
Suara itu keluar dari mulutku sendiri. Pelan, hampir tenggelam oleh detak jantungku yang menggema terlalu keras di kepala. Intan mencengkeram lenganku erat, tubuhnya gemetar, tapi tidak berkata apa-apa. Ia memandang ke depan, ke arah tiga sosok itu.
Ketiganya berdiri—atau lebih tepatnya melayang—di antara rak-rak linen. Wajah mereka persis sepertiku. Bukan sekadar menyerupai. Itu benar-benar wajahku, tapi masing-masing dengan sedikit... kelainan.
Yang pertama memiliki mata yang terus berkedip cepat, seperti rekaman yang rusak. Yang kedua... tersenyum lebar, terlalu lebar, sampai sudut bibirnya mencapai telinga. Dan yang ketiga... diam. Tapi matanya menatapku seperti lubang hitam.
Aku melangkah mundur, pelan-pelan. Rak-rak di belakangku terasa dingin saat punggungku menyentuhnya. Intan menoleh ke arahku, wajahnya pucat.
“Mereka bukan kamu, Radit,” bisiknya. “Mereka a
“Aku… yang mana di antara mereka?”Suara itu keluar dari mulutku sendiri. Pelan, hampir tenggelam oleh detak jantungku yang menggema terlalu keras di kepala. Intan mencengkeram lenganku erat, tubuhnya gemetar, tapi tidak berkata apa-apa. Ia memandang ke depan, ke arah tiga sosok itu.Ketiganya berdiri—atau lebih tepatnya melayang—di antara rak-rak linen. Wajah mereka persis sepertiku. Bukan sekadar menyerupai. Itu benar-benar wajahku, tapi masing-masing dengan sedikit... kelainan.Yang pertama memiliki mata yang terus berkedip cepat, seperti rekaman yang rusak. Yang kedua... tersenyum lebar, terlalu lebar, sampai sudut bibirnya mencapai telinga. Dan yang ketiga... diam. Tapi matanya menatapku seperti lubang hitam.Aku melangkah mundur, pelan-pelan. Rak-rak di belakangku terasa dingin saat punggungku menyentuhnya. Intan menoleh ke arahku, wajahnya pucat.“Mereka bukan kamu, Radit,” bisiknya. “Mereka a
“Radit... kamu masih di sana?”Suara itu pelan. Tidak berasal dari luar, melainkan dari dalam kepalaku sendiri. Tapi bukan suara Lusi, bukan pula Intan. Ini seperti gema dari ruang sunyi yang tak pernah kusadari ada. Dingin. Tua. Dan terlalu akrab.Aku membuka mata—atau mungkin tidak pernah menutupnya. Dunia di sekelilingku tak punya batas. Tidak ada dinding. Tidak ada lantai. Tapi aku berdiri. Cahaya seperti datang dari arah mana pun, namun tak satu pun memberiku bayangan.Di depanku, ada sosok. Menyerupai diriku—tapi dengan kulit pucat keabuan, mata kelam seperti lubang yang menelan cahaya, dan senyum… terlalu lebar. Gigi-giginya banyak, kecil-kecil, seolah tersusun rapi oleh sesuatu yang bukan manusia.“Kau akhirnya sampai di tengahnya,” katanya. Suaranya bergema seperti berbisik di dasar sumur. “Selamat datang, Radit.”Aku mengernyit, melangkah mundur. Tapi kakiku tetap di tempat. Seolah tanah ini bu
“Radit… tolong…”Suara itu lirih. Seperti ditelan dinding. Tapi aku mengenalnya. Itu suara Lusi.Aku melangkah maju dalam gelap. Ruangan ini berubah. Tak lagi seperti ruang arsip. Dinding-dindingnya dingin dan basah, berembun, seperti perut kapal tua. Lantai di bawah kakiku licin, bergetar pelan, seperti napas makhluk raksasa yang tertahan.Tanganku menyentuh rak logam. Kosong. Tak ada dokumen. Tak ada tanda Lusi di sana.“Lusi?” tanyaku lagi, lebih keras. “Jawab aku!”Sekejap, lampu merah di sudut menyala. Redup. Lalu mati. Tapi cukup untuk menunjukkan sesuatu.Siluet tubuh terikat di kursi. Kepala menunduk. Rambut tergerai.Aku berlari mendekat. “Lusi!”Tapi saat kutarik rambutnya pelan, wajah yang muncul… bukan milik Lusi. Bukan juga manekin.Itu aku.Wajahku sendiri. Mata terbuka, menatapku dengan tatapan kosong.Aku mundur, terhuyung. Jantungku berdentum keras, tak percaya. Wajah itu pucat, seperti salinan yang gagal disempurnakan. Tapi jelas… itu aku.“Aku tidak mengerti… Apa in
“Apa yang kau lihat, Radit?”Suara itu muncul begitu saja, dari dekat, terlalu dekat. Tapi saat aku menoleh, tak ada siapa pun di sekitarku. Lampu yang tadi mati, kini menyala satu per satu, seperti napas yang dipaksakan hidup kembali.Langkahku goyah. Tubuhku gemetar saat kudekati tempat terakhir Lusi ditarik. Rak-rak itu masih di sana, tetapi bergeser tak beraturan, seolah ruang ini sendiri telah lupa letaknya.“Lusi…” panggilku pelan.Tidak ada jawaban. Hanya bunyi degup jantungku sendiri yang terasa keras di kepala.Aku mencoba mengatur napas, menahan dorongan panik yang semakin menyesakkan dada. Tapi mataku terus terpaku pada lantai. Tepat di tengah ruangan. Di sanalah—bekas goresan kuku. Empat garis memanjang. Dan di ujungnya… bercak darah.Aku berlutut perlahan. Menyentuh lantai yang dingin dan lembap. Jejak itu belum lama. Masih segar. Masih hangat.Tapi bukan itu yang membuatku bergidik.Di atas bercak darah itu, tergambar simbol tiga mata… bukan dengan tinta, tapi darah. Dan
“Aku ingin menyelamatkan dia,” gumamku pelan, masih menatap manekin di lantai.Matanya bergerak.Perlahan. Sangat perlahan. Seolah baru sadar dirinya ditatap balik. Tatapan itu bukan kosong. Ia seperti hidup. Seperti meniru rasa takutku… atau malah menertawakannya.“Radit… ayo…” bisik Lusi dari belakangku. Suaranya gemetar, dan aku bisa mendengar langkah kecilnya mundur perlahan. “Tempat ini... salah. Kita harus keluar.”Aku berjongkok. Tangan gemetar, tapi aku tetap mengulurkan jari menyentuh dahi manekin itu. Simbol tiga mata terasa kasar, seperti kulit yang dipahat paksa.Namun saat jari telunjukku menyentuhnya—manekin itu berkedut.“Jangan!” Lusi menjerit.Tapi sudah terlambat.Simbol itu bersinar merah. Suaranya mendesis, dan hawa panas langsung menjalar ke tanganku. Aku mundur, jatuh terduduk.Rak-rak besi di sekeliling kami mulai bergetar.“Radit, cepat!” Lusi menarik lenganku. Kami bangkit dan berlari, menyusuri lorong sempit yang seperti semakin menyempit. Dinding rak bergese
"Radit... kamu dengar aku?"Suara itu seakan berasal dari dalam dinding. Bukan suara Intan. Lebih rendah, seperti berasal dari perut bumi. Aku berdiri kaku, dikelilingi gelap yang tidak biasa. Ini bukan gelap karena lampu padam. Ini gelap yang terasa hidup. Menggerogoti. Menyentuh kulit dan menekan napas.Tanganku meraba kantong, mencari senter kecil yang biasa kugunakan di IGD. Jemariku gemetar saat menemukannya. Begitu cahaya mungil itu menyala, lorong rumah sakit tampak seperti dunia lain. Cat dinding memudar. Jejak tapak kaki kering tampak samar menuju ruang ganti staf.Aku belum pernah masuk ke ruang itu. Selalu terkunci. Tapi malam ini, pintunya setengah terbuka. Seolah menantang."Jangan masuk..."Aku membalik cepat. Tak ada siapa pun. Tapi bisikan itu jelas. Terlalu nyata.Langkahku mendekat ke pintu ruang ganti. Setiap meter yang kulalui membuat udara semakin berat. Seolah oksigen menolak mengalir ke paru-paru. Dan bau... seperti daging yang lama dikunci dalam lemari besi. An