“Radit… tolong…”Suara itu lirih. Seperti ditelan dinding. Tapi aku mengenalnya. Itu suara Lusi.Aku melangkah maju dalam gelap. Ruangan ini berubah. Tak lagi seperti ruang arsip. Dinding-dindingnya dingin dan basah, berembun, seperti perut kapal tua. Lantai di bawah kakiku licin, bergetar pelan, seperti napas makhluk raksasa yang tertahan.Tanganku menyentuh rak logam. Kosong. Tak ada dokumen. Tak ada tanda Lusi di sana.“Lusi?” tanyaku lagi, lebih keras. “Jawab aku!”Sekejap, lampu merah di sudut menyala. Redup. Lalu mati. Tapi cukup untuk menunjukkan sesuatu.Siluet tubuh terikat di kursi. Kepala menunduk. Rambut tergerai.Aku berlari mendekat. “Lusi!”Tapi saat kutarik rambutnya pelan, wajah yang muncul… bukan milik Lusi. Bukan juga manekin.Itu aku.Wajahku sendiri. Mata terbuka, menatapku dengan tatapan kosong.Aku mundur, terhuyung. Jantungku berdentum keras, tak percaya. Wajah itu pucat, seperti salinan yang gagal disempurnakan. Tapi jelas… itu aku.“Aku tidak mengerti… Apa in
“Apa yang kau lihat, Radit?”Suara itu muncul begitu saja, dari dekat, terlalu dekat. Tapi saat aku menoleh, tak ada siapa pun di sekitarku. Lampu yang tadi mati, kini menyala satu per satu, seperti napas yang dipaksakan hidup kembali.Langkahku goyah. Tubuhku gemetar saat kudekati tempat terakhir Lusi ditarik. Rak-rak itu masih di sana, tetapi bergeser tak beraturan, seolah ruang ini sendiri telah lupa letaknya.“Lusi…” panggilku pelan.Tidak ada jawaban. Hanya bunyi degup jantungku sendiri yang terasa keras di kepala.Aku mencoba mengatur napas, menahan dorongan panik yang semakin menyesakkan dada. Tapi mataku terus terpaku pada lantai. Tepat di tengah ruangan. Di sanalah—bekas goresan kuku. Empat garis memanjang. Dan di ujungnya… bercak darah.Aku berlutut perlahan. Menyentuh lantai yang dingin dan lembap. Jejak itu belum lama. Masih segar. Masih hangat.Tapi bukan itu yang membuatku bergidik.Di atas bercak darah itu, tergambar simbol tiga mata… bukan dengan tinta, tapi darah. Dan
“Aku ingin menyelamatkan dia,” gumamku pelan, masih menatap manekin di lantai.Matanya bergerak.Perlahan. Sangat perlahan. Seolah baru sadar dirinya ditatap balik. Tatapan itu bukan kosong. Ia seperti hidup. Seperti meniru rasa takutku… atau malah menertawakannya.“Radit… ayo…” bisik Lusi dari belakangku. Suaranya gemetar, dan aku bisa mendengar langkah kecilnya mundur perlahan. “Tempat ini... salah. Kita harus keluar.”Aku berjongkok. Tangan gemetar, tapi aku tetap mengulurkan jari menyentuh dahi manekin itu. Simbol tiga mata terasa kasar, seperti kulit yang dipahat paksa.Namun saat jari telunjukku menyentuhnya—manekin itu berkedut.“Jangan!” Lusi menjerit.Tapi sudah terlambat.Simbol itu bersinar merah. Suaranya mendesis, dan hawa panas langsung menjalar ke tanganku. Aku mundur, jatuh terduduk.Rak-rak besi di sekeliling kami mulai bergetar.“Radit, cepat!” Lusi menarik lenganku. Kami bangkit dan berlari, menyusuri lorong sempit yang seperti semakin menyempit. Dinding rak bergese
"Radit... kamu dengar aku?"Suara itu seakan berasal dari dalam dinding. Bukan suara Intan. Lebih rendah, seperti berasal dari perut bumi. Aku berdiri kaku, dikelilingi gelap yang tidak biasa. Ini bukan gelap karena lampu padam. Ini gelap yang terasa hidup. Menggerogoti. Menyentuh kulit dan menekan napas.Tanganku meraba kantong, mencari senter kecil yang biasa kugunakan di IGD. Jemariku gemetar saat menemukannya. Begitu cahaya mungil itu menyala, lorong rumah sakit tampak seperti dunia lain. Cat dinding memudar. Jejak tapak kaki kering tampak samar menuju ruang ganti staf.Aku belum pernah masuk ke ruang itu. Selalu terkunci. Tapi malam ini, pintunya setengah terbuka. Seolah menantang."Jangan masuk..."Aku membalik cepat. Tak ada siapa pun. Tapi bisikan itu jelas. Terlalu nyata.Langkahku mendekat ke pintu ruang ganti. Setiap meter yang kulalui membuat udara semakin berat. Seolah oksigen menolak mengalir ke paru-paru. Dan bau... seperti daging yang lama dikunci dalam lemari besi. An
“Apa maksudmu, Tan?” suaraku bergetar, nyaris tak keluar.Langkahku tertahan di ambang lorong menuju kamar belakang. Lampu di ruang tamu tetap mati, hanya sinar dari jalan yang samar menembus sela tirai. Hujan masih jatuh seperti derai detak jantungku yang tak menentu.“Radit... suara itu... dia membisikkan namamu,” suara Intan terdengar tercekik, terjebak antara ketakutan dan kebingungan.Aku menarik napas panjang. Selama ini aku sudah terbiasa mendengar keluhan pasien, bahkan teriakan panik di ruang gawat darurat. Tapi ini lain. Suara Intan bukan sekadar takut—ia terdengar seperti... terjebak dalam sesuatu yang tak bisa dijelaskan.Aku melangkah pelan. Lantai kayu berderit di bawah telapak kakiku yang basah. Setiap langkah mengusir keheningan, tapi hanya sedikit. Tanganku meraba dinding, mencari sakelar. Saat lampu menyala, lorong itu tetap sepi, tapi hawa dingin terasa menusuk hingga ke tulang.“Intan?” Aku berdiri di depan pintu kamar belakang. Gagangnya dingin, seperti baru kelua
“Aku rasa rumahnya tidak terkunci.”Intan menunjuk ke jendela kayu samping yang terbuka sedikit. Kami berdiri di luar pagar rumah Dr. Nurdin—tempat yang seharusnya kosong sejak kami menemukan catatan terakhirnya dua hari lalu. Namun saat aku melangkah lebih dekat, aku merasa seolah rumah itu sedang... menunggu kami.Langkahku pelan saat membuka pagar yang berderit. Angin sore menyapu pelan pekarangan, membawa bau tanah lembap dan kayu tua. Ketika kami memasuki ruang tamu, suasananya tetap sama—rak buku berdebu, kursi rotan tua, dan lampu gantung yang tak menyala.Namun ada satu perbedaan.Di atas meja, ada kotak kayu kecil, diletakkan rapi di atas secarik kain putih. Seolah baru saja ditaruh oleh tangan seseorang yang tahu kami akan datang.“Kau melihat ini sebelumnya?” bisik Intan.Aku menggeleng. Tanganku terulur perlahan, menyentuh permukaan kotak. Ada ukiran samar di tutupnya—simbol tiga mata yang kini begitu familiar, namun dalam versi yang lebih tua dan lebih kasar.Aku membuka