LOGINNadine tak bergerak. Ia menarik tangan Celeste pelan, tapi dengan kekuatan yang tak terduga—seolah tangan itu adalah jangkar terakhir sebelum ia tenggelam dalam lautan keraguan. Matanya, yang biasanya penuh kehangatan saat menatap kekasihnya, kini basah dan menusari, seperti retak di permukaan danau beku yang siap runtuh."Celes," bisiknya, suaranya pecah di ujung, seperti kaca yang jatuh pelan tapi pasti. "Aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu kamu lagi khawatir soal kehamilanku... khawatir sampai kamu tak tidur malam, sampai kamu memelukku terlalu erat seperti takut aku hilang. Tapi tadi... reaksinya beda. Kayak kamu takut berlebihan. Takut apa? Lagipula Alma hamil anak... siapa? Selama ini, kita selalu bersama, dan ia gak pernah dekat dengan lelaki manapun yang kita tahu."Kata terakhir itu keluar seperti jeritan bisu, hembusan napas yang membawa serta semua rasa sakit yang pernah Nadine pendam—pengkhianatan masa lalu, kehilangan, dan kini ketakutan akan rahasia yang mengancam akan
Ranjang berderit pelan di bawah mereka. Susu terus merembes dari payudara Nadine, menetes ke dada Yaros, membuat gesekan kulit mereka semakin licin dan panas."Aku ... hampir ... Yaros, aku datang!" jerit Nadine saat klimaks pertama datang. Tubuhnya kejang hebat, dinding dalamnya memijit keras alat vital Yaros hingga lelaki itu hampir ikut meledak.Namun Yaros menahan diri, memperlambat gerakan, ingin memperpanjang malam ini sebanyak mungkin. "Belum, Sayang. Aku mau kau klimaks lagi ... untukku," bisiknya serak, napasnya tersengal.Ia membalik tubuh Nadine telentang, mengangkat pinggulnya sedikit, lalu masuk lagi dari belakang—posisi favorit mereka dulu. Tangan Yaros naik ke depan, memijat payudara Nadine dari belakang, jarinya memilin puting hingga susu menyemprot kecil ke seprai. Hentakannya lebih keras sekarang, lebih dalam, setiap dorongan membuat Nadine mengerang nama Yaros berulang-ulang."Yaros... ya... di situ... lebih keras... aku milikmu malam ini!" erang Nadine, suaranya pe
Ruangan hening beberapa detik. Pengacara hanya diam, sudah terbiasa dengan permintaan aneh para klien kaya.Nadine menatap Yaros lama, lalu Celeste. Matanya penuh pertanyaan, tetapi juga pengertian. Mereka sudah terlalu banyak berkorban dan satu malam ini mungkin harga terakhir untuk kebebasan sejati.Celeste menelan ludah, rahangnya mengeras. Ia tahu Yaros tak akan mundur. Dan ia juga tahu Nadine cukup kuat untuk memutuskan sendiri.“Nadine?” tanya Celeste pelan, suaranya hampir pecah. “Kamu yang pilih!"Nadine menunduk sebentar, lalu mengangkat wajah. Ia tersenyum tipis dan itu senyum orang yang sudah lelah berlari.“Aku setuju,” katanya lembut. “Satu malam saja. Besok pagi, semuanya selesai.”Yaros mengangguk pelan, tak ada ekspresi kemenangan di wajahnya. Sebuah kelegaan yang dalam tergurat pada wajahnya.Pengacara menghela napas kecil, lalu mengeluarkan satu lembar tambahan. “Saya tambahkan klausul kesepakatan pribadi ini. Ditandatangani ketiga pihak agar sah secara hukum.”Merek
Darah Brandon mengalir deras ke saluran pembuangan kamar mandi, tubuhnya terguling ke ubin basah dengan mata terbelalak tak percaya.Yaros menembak sekali lagi ke dada pria itu untuk memastikan, suara peluru peredam seperti batuk pelan di tengah deru air shower.Celeste langsung berlutut di samping Nadine, memeriksa denyut nadinya. Kekasihnya masih kuat, meski bius membuatnya setengah tak sadar. Tubuh Celeste bergidik karena sisa sensasi.Yaros mematikan shower, uap mulai menipis. Matanya tak bisa lepas dari tubuh Nadine yang telanjang. Payudaranya masih mengilat karena susu dan air, putingnya mengeras, dan aroma manis yang familiar itu memenuhi ruangan.Celeste juga merasakannya. Hasrat yang pernah mereka bagi, kecanduan pada cairan ajaib Nadine yang seperti obat penghilang rasa sakit dan penambah stamina.Udara terasa tebal, penuh ketegangan yang bukan lagi tentang pertempuran. Akan tetapi tentang keinginan primal."Damai dulu," kata Yaros pelan.Suaranya rendah dan tegas. Ujung sen
“Selamat bertemu kembali, Sobat,” sambut Yaros dengan sedikit senyum, suaranya lebih rendah dari di telepon. “Nadine ada di penthouse The Arch, lantai 88. Brandon juga di sana. Mereka belum keluar sejak semalam.”Celeste mengangguk, matanya langsung ke arah dua SUV. “Berapa menit ke lokasi?”“Dua puluh tujuh menit kalau kita pakai rute bawah tanah yang aku miliki. Empat puluh lima kalau lewat jalan biasa dan macet.”Yaros membuka pintu belakang salah satu G-Class, di dalamnya sudah tersusun senapan HK416 dengan peredam, dua vest level IV, dan tablet besar yang menampilkan feed CCTV real-time dari gedung The Arch.“Aku sudah matikan alarm lantai 87 sampai 90,” lanjut Yaros sambil menyerahkan vest ke Celeste. “Lift barang akan membawa kau langsung ke service corridor lantai 88. Aku masuk dari rooftop helipad dengan tim tiga orang. Kita serang bersamaan jam 09:15 tepat, saat pergantian shift security.”Celeste memakai vest dengan gerakan cepat, lalu mengambil senapan. “Brandon tahu aku d
Brandon bilang sudah mati, tetapi Nadine tahu kebiasaan Brandon: dia suka berbohong untuk membuat orang putus asa.Yaros pernah bilang, kalau suatu saat Nadine benar-benar dalam bahaya dan tak punya siapa-siapa, ada satu cara terakhir untuk menghubunginya.Di kamar mandi penthouse, Nadine menyalakan keran wastafel hingga penuh, lalu mengangkat gagang telepon paralel hotel (yang masih terhubung ke switchboard internal). Ia menekan tombol “0” tiga kali cepat, jeda dua detik, lalu “9” sekali panjang. Ini kode darurat yang pernah Yaros bisikkan padanya, hanya untuk pemilik saham jaringan hotel tempat penthouse ini bernaung: tiga kali operator, jeda, sembilan detik. Tiga detik kemudian, suara klik halus terdengar, saluran langsung dialihkan ke nomor pribadi Yaroslav Drucki tanpa melalui resepsionis atau rekaman Brandon. “Speak." Terdengar suara khas Yaros di ujung sana, rendah dan tenang, seperti orang yang sudah menunggu panggilan ini bertahun-tahun. Nadine menutup mulutnya dengan







