Share

Bab 6

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-22 19:06:04

Hari-hari berlalu… tiga minggu terakhir terasa begitu berat bagi Lyra. Tubuhnya terasa berbeda, emosinya mudah berubah, dan ia berusaha keras menyangkal semua tanda-tanda itu.

Pagi itu, Lyra baru saja memuntahkan sarapan paginya di kamar mandi. Tubuhnya gemetar ketika ia membasuh wajah dan berkumur, mencoba menghapus rasa pahit di tenggorokan. Ia menatap dirinya di cermin kamar mandi—wajah pucat, mata sayu, bibir kering.

“Tidak mungkin…” suaranya parau, nyaris bergetar. “Aku… aku tidak mungkin hamil. Itu cuma sekali. Tak semudah itu hamil, kan?”

Ia menggigit bibir, berusaha meyakinkan dirinya.

“Lagipula… aku sudah minum obat kontrasepsi darurat. Tidak mungkin… tidak mungkin hamil.”

Namun suara hatinya sendiri tak bisa ia bungkam. Napas Lyra tersengal, dan matanya perlahan turun menatap perutnya. Tangannya terulur, mengelus perut rata itu dengan gerakan ragu.

“Kalau benar aku hamil…” bisiknya pelan, “Apa yang harus aku lakukan padamu?”

Plak!

Tamparan keras mendarat di pipinya.

“Bodoh!” suaranya pecah. “Kau tidak hamil! Tidak mungkin, Lyra! Tidak mungkin!”

Dengan panik ia bangkit, menyambar tas dan ponsel. Ia kenakan masker, menyembunyikan wajahnya, lalu segera keluar menuju apotek terdekat.

Tangannya gemetar ketika menyebut benda itu pada petugas. Ia tak main-main—membeli lima testpack sekaligus, dengan merek berbeda.

Kini, di kamar mandi apartemennya, ia duduk di lantai, menatap testpack pertama dengan tangan bergetar. Bibirnya berdoa lirih, nyaris berbisik seperti orang yang terpojok.

“Ya Tuhan… jangan hukum aku dengan ini… Tuhan manapun, tolong dengarkan aku. Aku janji… aku tak akan mengulang kebodohan itu lagi. Aku janji akan berubah. Aku janji akan jadi dosen yang lebih baik, tak akan galak lagi pada anak didikku… aku mohon, tolong beri aku kesempatan sekali ini saja…”

Dengan mata terpejam, ia balikkan testpack itu.

Satu garis merah.

“Ya Tuhan…” ia menarik napas panjang, mata berbinar lega. “Terima kasih… terima kasih…”

Namun belum sempat lega, garis samar kedua muncul perlahan, tepat di samping garis pertama.

“A-apa?” suaranya tercekat. Mata Lyra membelalak, tubuhnya menegang.

“Tidak… tidak mungkin…” bisiknya panik. “Bukannya tadi cuma satu? Kenapa bertambah? Kau rusak?!”

Dengan kasar ia lempar testpack itu ke tong sampah, buru-buru membuka yang kedua. Menunggu dengan cemas.

Dua garis merah. Jelas.

Alat ketiga.

Dua garis merah lagi.

Keempat. Sama.

Kelima. Sama.

Tangan Lyra melemas, tubuhnya hampir ambruk di lantai kamar mandi.

“Ya Tuhan…” air matanya mengalir, jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulut dengan telapak tangannya, terisak panik.

Lalu ia tertegun, wajahnya semakin pucat.

‘Aku… aku bahkan belum menstruasi bulan ini…’

Seketika itu juga, napasnya tercekat. Semua tanda, semua gejala, semua jawaban ada di depan mata.

Lyra terdiam, tubuhnya membeku. Lalu, perlahan, isakan yang ia tahan pecah begitu saja. Ia merosot, bersandar pada dinding kamar mandi dengan tangan menutupi wajah.

Tangisnya menggema lirih.

Pilu. Penuh penyesalan. Seolah-olah seluruh dunia menutup jalan di hadapannya.

Seolah tak ada ruang untuk berlari.

Kini ia bukan hanya seorang dosen yang menyimpan rahasia kelam.

Ia seorang wanita… yang tengah mengandung anak dari mahasiswanya sendiri.

....

Langkah Lyra bergetar ketika sampai di kampus. Nafasnya terasa berat, seolah setiap oksigen yang ia hirup menusuk ke dalam dada. Ia tidak peduli pada sapaan mahasiswa atau dosen lain. Kakinya hanya terarah ke satu tujuan: ruangan Reihan.

Pintu itu terbuka.

Reihan yang tengah duduk menunduk menatap berkas, langsung tertegun ketika sosok Lyra masuk. Seketika matanya berbinar. Sudah tiga minggu… tiga minggu Lyra selalu menolak bertemu, menghindar tanpa alasan, sejak pertengkaran di apartemen waktu itu.

“Lyra…” suaranya lirih, nyaris lega.

Namun bibir Lyra langsung melepaskan satu kalimat yang membuat udara di ruangan itu membeku.

“Aku ingin kita… putus.”

Mata Reihan membelalak, senyumnya lenyap seketika. Rahangnya mengeras, emosinya langsung mendidih.

“Apa yang kau bilang barusan?!”

“Aku serius. Hubungan kita sudah tidak sehat. Lebih baik kita akhiri sekarang juga.”

“Tidak sehat? Itu alasanmu? Setelah tiga minggu menghindar, kau muncul hanya untuk bicara putus?!”

“Karena aku sudah tidak sanggup, Reihan. Aku lelah dengan cara kita bertengkar, aku lelah dengan sikapmu.”

BRAKKK!

Reihan menghantam meja dengan kuat. “Jangan bodoh, Lyra! Kau pikir aku akan terima begitu saja setelah semua yang sudah kulakukan untukmu?!”

“Aku tidak butuh kau berkorban dengan cara mengekangku!”

“Ngekang? Itu namanya aku menjaga! Atau sebenarnya ada alasan lain kenapa kau ingin berpisah dariku?!”

Lyra menahan nafas, wajahnya pucat. “Tidak ada. Aku hanya… ingin bebas dari hubungan ini.”

Reihan menyipitkan mata, menuding tajam, “Kau berbohong! Kau pikir aku tidak tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku?!”

“Aku tidak berbohong! Hentikan tuduhanmu, Reihan!”

Reihan mendekat, suaranya menekan. “Atau jangan-jangan… kau sudah punya laki-laki lain?”

Lyra tersentak, menahan air mata. “Itu fitnah! Kau terlalu jauh!”

“Kalau bukan itu, kenapa kau begitu gigih minta putus?! Tidak ada alasan yang masuk akal selain kau berselingkuh!”

“Aku bilang tidak! Aku hanya… tidak bisa lagi bersamamu, Reihan!”

Reihan berteriak lantang, “Sialan kau, Lyra! Jangan pernah kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja!”

Suara bentakan itu pecah, terdengar hingga lorong luar. Beberapa mahasiswa yang lewat spontan berhenti, menoleh ke arah jendela ruangan Reihan. Mereka saling berbisik, menatap penuh rasa ingin tahu.

Di dalam, Lyra menahan air mata yang hampir pecah. Bahunya gemetar, wajahnya menegang, sementara tatapan Reihan dipenuhi api amarah yang tak terkendali.

Rahasia besar yang ia sembunyikan seakan menekan dadanya lebih kuat dari sebelumnya.

Nafas Reihan terengah, matanya merah, sementara Lyra berdiri gemetar dengan air mata yang ia tahan mati-matian.

Lyra menghela napas panjang, lalu berkata lirih tapi tegas,

“Cukup. Aku tidak mau lagi berdebat denganmu. Kita sudah selesai, Reihan.”

Reihan mendengus, menepis kasar tumpukan berkas di mejanya hingga kertas-kertas itu beterbangan. “Jangan pernah menyesal, Lyra!”

Tanpa membalas lagi, Lyra memutar tubuh. Tangannya bergetar saat meraih gagang pintu. Ia membuka pintu itu dengan keras, BRAK! membiarkannya terbanting ke dinding.

Dan di luar sana—kerumunan mahasiswa sudah berdesakan, berbisik-bisik sambil menunduk pura-pura tak melihat. Beberapa bahkan terpaku menatap langsung, seakan menonton drama nyata.

Bisikan mereka menusuk telinga Lyra.

“Itu Bu Lyra, kan?”

“Mereka bertengkar?”

“Ya ampun, sampai segitunya…”

Lyra menunduk, melangkah cepat melewati lorong penuh mata-mata itu. Tapi langkahnya terhenti sepersekian detik ketika dari kerumunan itu, sepasang mata menatapnya tajam—Kanz.

Mata lelaki itu tak berkedip, sorotnya dalam, seolah berusaha membaca apa yang sedang terjadi pada dosennya itu.

Hanya sepersekian detik, tapi rasanya seperti waktu berhenti.

Lyra buru-buru mengalihkan pandangan. Ia mempercepat langkah, meninggalkan lorong itu dengan wajah tertutup masker, meski air matanya sudah jatuh membasahi pipi.

Di belakangnya, gosip dan desas-desus mulai bergaung di antara mahasiswa. Sementara Kanz masih berdiri diam, tatapannya mengikuti punggung Lyra sampai sosok itu menghilang di ujung koridor.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 16

    Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 15

    Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 14

    Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 13

    Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 12

    Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 11

    Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status