Hari-hari berlalu… tiga minggu terakhir terasa begitu berat bagi Lyra. Tubuhnya terasa berbeda, emosinya mudah berubah, dan ia berusaha keras menyangkal semua tanda-tanda itu.
Pagi itu, Lyra baru saja memuntahkan sarapan paginya di kamar mandi. Tubuhnya gemetar ketika ia membasuh wajah dan berkumur, mencoba menghapus rasa pahit di tenggorokan. Ia menatap dirinya di cermin kamar mandi—wajah pucat, mata sayu, bibir kering. “Tidak mungkin…” suaranya parau, nyaris bergetar. “Aku… aku tidak mungkin hamil. Itu cuma sekali. Tak semudah itu hamil, kan?” Ia menggigit bibir, berusaha meyakinkan dirinya. “Lagipula… aku sudah minum obat kontrasepsi darurat. Tidak mungkin… tidak mungkin hamil.” Namun suara hatinya sendiri tak bisa ia bungkam. Napas Lyra tersengal, dan matanya perlahan turun menatap perutnya. Tangannya terulur, mengelus perut rata itu dengan gerakan ragu. “Kalau benar aku hamil…” bisiknya pelan, “Apa yang harus aku lakukan padamu?” Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya. “Bodoh!” suaranya pecah. “Kau tidak hamil! Tidak mungkin, Lyra! Tidak mungkin!” Dengan panik ia bangkit, menyambar tas dan ponsel. Ia kenakan masker, menyembunyikan wajahnya, lalu segera keluar menuju apotek terdekat. Tangannya gemetar ketika menyebut benda itu pada petugas. Ia tak main-main—membeli lima testpack sekaligus, dengan merek berbeda. Kini, di kamar mandi apartemennya, ia duduk di lantai, menatap testpack pertama dengan tangan bergetar. Bibirnya berdoa lirih, nyaris berbisik seperti orang yang terpojok. “Ya Tuhan… jangan hukum aku dengan ini… Tuhan manapun, tolong dengarkan aku. Aku janji… aku tak akan mengulang kebodohan itu lagi. Aku janji akan berubah. Aku janji akan jadi dosen yang lebih baik, tak akan galak lagi pada anak didikku… aku mohon, tolong beri aku kesempatan sekali ini saja…” Dengan mata terpejam, ia balikkan testpack itu. Satu garis merah. “Ya Tuhan…” ia menarik napas panjang, mata berbinar lega. “Terima kasih… terima kasih…” Namun belum sempat lega, garis samar kedua muncul perlahan, tepat di samping garis pertama. “A-apa?” suaranya tercekat. Mata Lyra membelalak, tubuhnya menegang. “Tidak… tidak mungkin…” bisiknya panik. “Bukannya tadi cuma satu? Kenapa bertambah? Kau rusak?!” Dengan kasar ia lempar testpack itu ke tong sampah, buru-buru membuka yang kedua. Menunggu dengan cemas. Dua garis merah. Jelas. Alat ketiga. Dua garis merah lagi. Keempat. Sama. Kelima. Sama. Tangan Lyra melemas, tubuhnya hampir ambruk di lantai kamar mandi. “Ya Tuhan…” air matanya mengalir, jatuh tanpa bisa ditahan. Ia menutup mulut dengan telapak tangannya, terisak panik. Lalu ia tertegun, wajahnya semakin pucat. ‘Aku… aku bahkan belum menstruasi bulan ini…’ Seketika itu juga, napasnya tercekat. Semua tanda, semua gejala, semua jawaban ada di depan mata. Lyra terdiam, tubuhnya membeku. Lalu, perlahan, isakan yang ia tahan pecah begitu saja. Ia merosot, bersandar pada dinding kamar mandi dengan tangan menutupi wajah. Tangisnya menggema lirih. Pilu. Penuh penyesalan. Seolah-olah seluruh dunia menutup jalan di hadapannya. Seolah tak ada ruang untuk berlari. Kini ia bukan hanya seorang dosen yang menyimpan rahasia kelam. Ia seorang wanita… yang tengah mengandung anak dari mahasiswanya sendiri. .... Langkah Lyra bergetar ketika sampai di kampus. Nafasnya terasa berat, seolah setiap oksigen yang ia hirup menusuk ke dalam dada. Ia tidak peduli pada sapaan mahasiswa atau dosen lain. Kakinya hanya terarah ke satu tujuan: ruangan Reihan. Pintu itu terbuka. Reihan yang tengah duduk menunduk menatap berkas, langsung tertegun ketika sosok Lyra masuk. Seketika matanya berbinar. Sudah tiga minggu… tiga minggu Lyra selalu menolak bertemu, menghindar tanpa alasan, sejak pertengkaran di apartemen waktu itu. “Lyra…” suaranya lirih, nyaris lega. Namun bibir Lyra langsung melepaskan satu kalimat yang membuat udara di ruangan itu membeku. “Aku ingin kita… putus.” Mata Reihan membelalak, senyumnya lenyap seketika. Rahangnya mengeras, emosinya langsung mendidih. “Apa yang kau bilang barusan?!” “Aku serius. Hubungan kita sudah tidak sehat. Lebih baik kita akhiri sekarang juga.” “Tidak sehat? Itu alasanmu? Setelah tiga minggu menghindar, kau muncul hanya untuk bicara putus?!” “Karena aku sudah tidak sanggup, Reihan. Aku lelah dengan cara kita bertengkar, aku lelah dengan sikapmu.” BRAKKK! Reihan menghantam meja dengan kuat. “Jangan bodoh, Lyra! Kau pikir aku akan terima begitu saja setelah semua yang sudah kulakukan untukmu?!” “Aku tidak butuh kau berkorban dengan cara mengekangku!” “Ngekang? Itu namanya aku menjaga! Atau sebenarnya ada alasan lain kenapa kau ingin berpisah dariku?!” Lyra menahan nafas, wajahnya pucat. “Tidak ada. Aku hanya… ingin bebas dari hubungan ini.” Reihan menyipitkan mata, menuding tajam, “Kau berbohong! Kau pikir aku tidak tahu kau menyembunyikan sesuatu dariku?!” “Aku tidak berbohong! Hentikan tuduhanmu, Reihan!” Reihan mendekat, suaranya menekan. “Atau jangan-jangan… kau sudah punya laki-laki lain?” Lyra tersentak, menahan air mata. “Itu fitnah! Kau terlalu jauh!” “Kalau bukan itu, kenapa kau begitu gigih minta putus?! Tidak ada alasan yang masuk akal selain kau berselingkuh!” “Aku bilang tidak! Aku hanya… tidak bisa lagi bersamamu, Reihan!” Reihan berteriak lantang, “Sialan kau, Lyra! Jangan pernah kau pikir aku akan melepaskanmu begitu saja!” Suara bentakan itu pecah, terdengar hingga lorong luar. Beberapa mahasiswa yang lewat spontan berhenti, menoleh ke arah jendela ruangan Reihan. Mereka saling berbisik, menatap penuh rasa ingin tahu. Di dalam, Lyra menahan air mata yang hampir pecah. Bahunya gemetar, wajahnya menegang, sementara tatapan Reihan dipenuhi api amarah yang tak terkendali. Rahasia besar yang ia sembunyikan seakan menekan dadanya lebih kuat dari sebelumnya. Nafas Reihan terengah, matanya merah, sementara Lyra berdiri gemetar dengan air mata yang ia tahan mati-matian. Lyra menghela napas panjang, lalu berkata lirih tapi tegas, “Cukup. Aku tidak mau lagi berdebat denganmu. Kita sudah selesai, Reihan.” Reihan mendengus, menepis kasar tumpukan berkas di mejanya hingga kertas-kertas itu beterbangan. “Jangan pernah menyesal, Lyra!” Tanpa membalas lagi, Lyra memutar tubuh. Tangannya bergetar saat meraih gagang pintu. Ia membuka pintu itu dengan keras, BRAK! membiarkannya terbanting ke dinding. Dan di luar sana—kerumunan mahasiswa sudah berdesakan, berbisik-bisik sambil menunduk pura-pura tak melihat. Beberapa bahkan terpaku menatap langsung, seakan menonton drama nyata. Bisikan mereka menusuk telinga Lyra. “Itu Bu Lyra, kan?” “Mereka bertengkar?” “Ya ampun, sampai segitunya…” Lyra menunduk, melangkah cepat melewati lorong penuh mata-mata itu. Tapi langkahnya terhenti sepersekian detik ketika dari kerumunan itu, sepasang mata menatapnya tajam—Kanz. Mata lelaki itu tak berkedip, sorotnya dalam, seolah berusaha membaca apa yang sedang terjadi pada dosennya itu. Hanya sepersekian detik, tapi rasanya seperti waktu berhenti. Lyra buru-buru mengalihkan pandangan. Ia mempercepat langkah, meninggalkan lorong itu dengan wajah tertutup masker, meski air matanya sudah jatuh membasahi pipi. Di belakangnya, gosip dan desas-desus mulai bergaung di antara mahasiswa. Sementara Kanz masih berdiri diam, tatapannya mengikuti punggung Lyra sampai sosok itu menghilang di ujung koridor.Pagi itu kamar apartemen Lyra masih remang. Udara dingin dari AC membuatnya meringkuk lebih lama di balik selimut, tapi suara lirih berisik dari luar kamar membuat matanya perlahan terbuka.Ia menoleh. Kosong. Kanz sudah tidak ada di sampingnya.Lyra menggigit bibir bawahnya, setengah lega, setengah… heran. Pergi? Atau…Perasaan cemas menggerakkan tubuhnya. Ia bangkit, meraih cardigan tipis, lalu keluar kamar dengan langkah pelan.Benar saja, dari arah dapur terdengar suara pintu kulkas dibuka. Saat ia tiba, matanya langsung menangkap punggung lebar seorang pemuda berjaket tipis, rambutnya sedikit acak, wajahnya masih segar meski baru bangun. Kanz.Ia sudah berdiri di depan meja dapur, satu tangan memegang telur, satu lagi menggenggam mentega. Kulkas terbuka lebar, beberapa bahan keluar.Lyra spontan menyilangkan tangan di dada. Suaranya meninggi sedikit.“Kamu ngapain?”Kanz menoleh sebentar, menampakkan senyum santai yang bikin Lyra ingin melempar spatula ke kepalanya.“Pagi, Bu Dos
“Bikin adiknya lagi… boleh?” suara Kanz terdengar parau, penuh nafas yang memburu. Tatapannya berkilat sayu, ada nyala keinginan yang begitu jelas ketika matanya menelusuri wajah Lyra. Lyra mendesis, wajahnya memerah, antara marah dan gugup. “Kamu gila?” Ia mendorong dada Kanz, membuang wajah ke arah lain, enggan bertemu pandang. Keheningan turun seketika. Hanya suara deru napas mereka berdua yang saling bersahut. Kanz menghela napas agak kasar, lalu perlahan melepaskan desakan tubuhnya. Ia merebahkan diri di sisi Lyra, berbaring menghadapnya. Sesaat, matanya menatap diam, mencari celah. Lyra tak berkata apa-apa, bahunya masih naik-turun cepat karena emosi yang bercampur dengan sesuatu yang tak mau ia akui. Tanpa banyak suara, lengan Kanz meraih dan menarik tubuh Lyra ke arahnya. Ia memeluknya dari belakang, tubuh hangatnya membungkus rapat tubuh Lyra. Lyra sempat menegang, hampir berontak, tapi entah kenapa tubuhnya tak bergerak. Ada sesuatu dalam dekapan itu yang membu
Setengah jam berlalu. Hujan di luar sana telah reda, menyisakan rintik kecil yang nyaris tak berarti. Neera kini sudah merebahkan tubuh di sofa Lyra, menguap kecil. Lyra menoleh, bingung. “Neera… kamu nggak pulang?” Neera menutup mata sebentar. “Kayaknya aku mau nginap aja di sini malam ini.” Lyra menegang seketika. “Tapi… bukannya apartemenmu persis di seberang gedung ini? Dekat sekali. Kamu bisa pulang, istirahat lebih nyaman di sana.” Neera membuka matanya, tersenyum malas. “Tetap aja aku lebih pengen di sini. Rasanya hangat, Ly. Lagian gak apa-apa lah sesekali nginap.” Lyra mendecak kecil, matanya melirik cemas ke arah kamar. 'Kalau dia bener-bener tidur di sini… selesai aku'. Ia hendak membuka suara lagi, tapi tiba-tiba ponsel Neera bergetar. “Bentar.” Neera meraih ponselnya. Namun raut wajahnya berubah ketika melihat nama di layar. Tegang, seakan disambar petir. Lyra memperhatikan dengan alis berkerut. “Ada apa?” Neera segera bangkit, meraih tasnya. “Aku… harus
Ciuman itu makin dalam, semakin menenggelamkan keduanya. Nafas mereka saling bertubrukan, dada naik turun cepat. Kanz menahan tengkuk Lyra dengan kedua tangannya, membiarkan bibirnya terus menekan bibir wanita itu. Hingga perlahan... tangan kanan Kanz bergerak, tanpa sadar meremas lembut bagian atas tubuh Lyra yang terasa membesar seiring usia kandungan. Lyra tersentak. Kedua matanya langsung terbuka lebar. Cepat-cepat ia menepis tangan itu, napasnya terengah. “Cukup, Kanz!” serunya dengan suara serak. Ia mendorong dada pria itu kuat, memaksa Kanz bangkit dari atas tubuhnya. Kanz menegang. Rahangnya mengeras, urat di lehernya tampak menonjol. Sesaat ia seperti hendak terbawa arus, tapi kemudian kesadarannya kembali. Ia menarik napas panjang, menunduk. “Maaf…” ucapnya parau. “Aku kebablasan.” Lyra masih duduk di sofa, wajahnya memerah entah karena marah atau malu. Ia menggeleng pelan, lalu bangkit berdiri. “Pulanglah, Kanz. Aku butuh sendiri.” Kanz menatapnya lama, seolah e
“Ini aku.” Suara bariton yang sangat ia kenal. Kanz. Lyra membeku, matanya melebar. Perlahan, Kanz melepaskan tangannya. “Gila kamu!” Lyra berbalik cepat, menatapnya dengan campuran terkejut dan marah. “Kamu pikir aku nggak bisa jantungan, hah?!” Kanz menarik napas berat, wajahnya serius. “Aku harus bicara sama kamu, Bu Lyra. Aku sudah melakukan segalanya untuk kamu. Aku yang membersihkan namamu di depan semua orang.” Lyra tertawa getir, matanya berkilat sinis. “Jadi benar kamu yang membersihkan namaku? Terima kasih, Kanz… terima kasih sudah jadi pahlawan kesiangan. Tapi jangan kira aku nggak tahu, kamu pasti yang menekan Kenzi untuk bohong.” Rahang Kanz mengeras. Ia menatap Lyra lurus, nada suaranya meninggi. “Kalau aku melakukannya, itu semata-mata demi kebaikan kamu! Apa kamu nggak lihat, mereka semua siap menginjak kamu hidup-hidup?” “Jangan seenaknya memutuskan atas nama aku!” bentak Lyra. “Itu hidupku, bukan hidupmu.” Keduanya terdiam sesaat. Nafas Lyra memburu, se
Pagi itu, Lyra melangkah menuju ruang rektorat dengan jantung berdebar. Ia bingung, heran, kenapa dirinya dipanggil lagi. Semalam ia bahkan sudah berusaha menenangkan diri, mencoba meyakinkan bahwa badai ini akan reda dengan sendirinya. Tapi begitu pintu rektorat terbuka, langkahnya sontak terhenti. Di dalam ruangan sudah ada Rektor Alif duduk dengan wajah serius, Reihan di sisi kanan dengan ekspresi dingin, Kanz yang bersandar di kursi dengan rahang mengeras, dan—yang paling mengejutkan—Kenzi. Gadis itu duduk di tengah, kepala menunduk dalam-dalam, wajah pucat, seolah siap menunggu eksekusi. “Silakan duduk, Bu Lyra,” suara Alif tenang tapi tegas, mengisi keheningan ruangan. Lyra melangkah perlahan, duduk dengan gugup. Matanya bergantian menatap Reihan dan Kanz, lalu jatuh ke arah Kenzi. Ada perasaan aneh menyelusup, campuran marah, penasaran, sekaligus tak percaya. Alif mencondongkan tubuh, mengetuk meja pelan. “Baik. Saya tidak akan berlama-lama. Hari ini, kita semua berkumpu