Share

Bab 7

Author: chalove
last update Last Updated: 2025-08-22 20:09:56

Hari itu, setelah kelas dibubarkan, langkah Lyra melaju cepat menuju toilet. Perutnya mendadak mual.

“Huek! Huek!!”

Tangannya bertumpu pada wastafel, napasnya memburu. Kepalanya pusing, keringat dingin membasahi pelipis. Tumben sekali, biasanya hanya pagi ia muntah—tapi kini, siang hari pun tubuhnya berkhianat.

Setelah berkumur dan mengusap bibir dengan tisu, ia keluar dari bilik. Wajahnya pucat, langkahnya goyah.

Namun begitu pintu terbuka—

Tubuh Lyra sontak terpaku.

Di sana, di depan cermin toilet wanita… Kanz berdiri.

Tangan bersilang di dada, alis tebal menyatu, tatapan hitamnya menusuk begitu tajam hingga dada Lyra seolah berhenti berdetak.

'K-kenapa dia ada di sini?!'

“K-Kanz?” suara Lyra parau. “K-kenapa kamu di sini? I-ini toilet wanita.”

Kanz tidak menjawab. Ia maju perlahan, selangkah demi selangkah, membuat Lyra reflek mundur sampai punggungnya menempel di dinding dingin.

“K-Kanz… ada apa?” suara Lyra gemetar, apalagi wajah Kanz kini hanya sejengkal darinya.

Pemuda itu memiringkan kepala, rahangnya mengeras. Lalu dengan suara rendah, tapi jelas—

“Bu… kamu hamil, ya?”

DUAAR.

Kata-kata itu meledak di telinga Lyra. Ia terperanjat, tubuhnya melemas. Cepat-cepat ia menggeleng. “T-tidak! A-apa maksudmu?”

Tatapan Kanz tak bergeser. “Jangan bohong. Aku tahu… tubuhmu berubah. Wajahmu pucat, sering mual. Aku nggak bodoh, Bu. Aku ingat malam itu, kita menghabiskan malam bersama. Itu kamu, Bu.”

Deg!

“B-bukan aku!” Lyra buru-buru menyangkal, suaranya patah-patah.

Senyum tipis muncul di wajah Kanz, kali ini bukan sinis—lebih seperti kemenangan kecil. “Lucu banget… bahkan sebelum aku selesai ngomong, kamu udah panik duluan.”

Lyra tercekat. Astaga… dia memerangkapku.

“A-aku… aku nggak tahu maksudmu, Kanz. Jangan bicara yang aneh-aneh!” Ia memaksa suaranya terdengar formal, meski bergetar.

Kanz mendekat lagi. “Aku nggak aneh-aneh, Bu. Aku serius. Kalau memang benar… itu anakku, kan?”

Lyra menoleh tajam, wajahnya merah karena campuran marah dan takut. “Jangan lancang! Kamu mahasiswa, aku dosenmu! Jangan samakan hubungan bodoh itu dengan hal serius!”

Alih-alih tersinggung, Kanz justru menatapnya lebih dalam. “Kenapa bodoh? Aku laki-laki, Bu. Dan kalau benar ada anak… aku mau tanggung jawab. Aku nggak akan lari. Aku ingin kita menikah.”

“A-apa?!” Lyra menjerit lirih. Otaknya blank, jantungnya serasa meledak. Menikah? Dengan mahasiswanya sendiri?! Apa dia gila?!

Matanya mulai berair. Kanz... tak disangka, pria itu sepertinya benar-benar serius dengan ucapannya.

Tapi Lyra takkan goyah. Dia belum siap menikah—dan kalau hanya untuk membesarkan anak ini sendirian—dia masih sanggup.

“Kau… apa kau gila? Kamu masih muda! Kamu belum tahu apa-apa tentang hidup rumah tangga! Jangan asal ngomong seenaknya!”

Kanz tersenyum kecil, tapi tatapannya tajam. “Aku justru lebih waras dari Ibu. Karena aku tahu… aku nggak bisa pura-pura nggak peduli. Kalau ada anak… aku anggap itu anugerah, bukan dosa.”

Lyra terdiam membeku. Hatiku kacau balau, antara ingin menampar lagi atau menangis. Kanz benar-benar bersikap dewasa.

Ia buru-buru mengalihkan pandangannya. “Cukup. Aku nggak mau dengar lagi omongan gila kamu. Pergi dari sini, Kanz. Sekarang.”

Namun sebelum Lyra sempat melangkah pergi, tangan Kanz maju—menghentikan geraknya. Dengan keberanian yang membuat darah Lyra berdesir, ia menyentuh perut Lyra dengan lembut.

Seolah-olah… benar ada kehidupan kecil di dalamnya.

Lyra terperanjat seketika. “K-Kanz! Kurang ajar kamu!”

PLAKK!

Tamparan keras mendarat di pipi Kanz. Suara tamparan menggema di ruang toilet yang sepi.

Tapi bukannya marah, Kanz justru tersenyum samar. Matanya hangat, terlalu jujur untuk disebut main-main.

“Aku nggak apa-apa ditampar, Bu… asal aku bisa pastikan kamu nggak sendirian. Kalau benar kamu hamil… aku ada di sini. Aku yang akan jagain kamu, dan anak kita.”

Suara Kanz merendah, dewasa, nyaris membuat Lyra ingin runtuh.

Namun Lyra buru-buru berbalik, menahan air mata yang hampir jatuh. Bibirnya bergetar, sampai akhirnya ia meledak—

“Kamu bodoh, Kanz! Kalau benar aku hamil… aku akan gugurkan! Aku nggak akan biarin anak itu lahir!”

DUUAAAR—

Kata-kata itu menghantam dada Kanz lebih keras daripada tamparan barusan. Mata pemuda itu seketika berubah tajam, rahangnya mengeras. Sesaat seolah-olah ia ingin meledak, tapi kedua tangannya terkepal mati-matian menahan emosi.

Nafasnya memburu, namun suaranya tetap rendah. “Jangan pernah ucapin itu lagi, Bu Lyra Velista. Itu bukan cuma anak kamu. Itu… darah dagingku juga.”

Lyra tercekat, tapi buru-buru menggeleng keras, menutup telinganya dengan kedua tangan seolah tak mau mendengar. “Aku nggak peduli! Aku akan hilangkan semuanya! Aku benci kamu, Kanz!”

Dengan air mata yang akhirnya jatuh, Lyra berlari keluar.

Kanz masih berdiri di sana, wajahnya tegang, matanya menyala tajam menahan badai dalam dirinya. Namun di balik sorot itu, ada keteguhan dingin—

Ia takkan biarkan anak itu digugurkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 16

    Pagi itu, langkah Lyra terasa berat memasuki area kampus. Udara sama, langit sama, tapi sorot mata orang-orang yang ia temui terasa berbeda. Ada bisik-bisik lirih, tawa kecil yang ditahan, tatapan yang cepat-cepat dialihkan setiap kali matanya menoleh. Dada Lyra menegang. Wajahnya panas. Kenapa… semua orang melihatku seperti itu? Baru saja masuk ke ruangannya, pintu tiba-tiba dibanting kasar. Neera tergesa masuk, wajahnya panik, nafasnya terengah. “Lyra!” serunya, nyaris terisak. Dengan tangan bergetar, Neera menyodorkan ponsel. “Kamu harus lihat ini sekarang juga!” Lyra berkerut bingung, lalu meraih ponsel itu. Dan begitu matanya menangkap layar… dunia seakan runtuh. Sebuah video. Dirinya. Ruangannya. Pertengkaran panas antara Kanz dan Reihan. Suara-suara yang teredam, tapi cukup jelas untuk membentuk narasi busuk: Profesor Lyra selingkuh dengan mahasiswa sendiri di belakang tunangannya. Ditambah... rekaman saat Lyra dan Kanz berpelukan setelah Reihan pergi. Mata Lyra m

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 15

    Lyra masuk ke rumah dengan langkah berat. Suara kunci yang beradu dengan pintu terdengar keras, seolah ikut melampiaskan amarahnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung melempar tas ke sofa tanpa peduli jatuh berantakan. “Arrghhh!!” teriaknya lantang, suara parau penuh frustasi memenuhi ruangan sepi itu. Dadanya naik-turun cepat, matanya berair tapi tak mau menangis. Hanya ada bara, kecewa, dan rasa ditipu. Baru saja ia percaya kalau Kanz benar-benar serius, baru saja hatinya sedikit terbuka… dan sekarang? Suara lirih Monica dengan kalimat menggoda itu terus terngiang. “Kanz… apa kamu gak rindu menyentuhku seperti malam itu?” Kalimat itu menusuk lagi, membuat Lyra mendengus kasar, kedua tangannya meremas rambutnya sendiri. “Aku bodoh! Aku benar-benar bodoh kalau sampai percaya buaya darat itu!!” desisnya, hampir seperti menampar dirinya sendiri. Namun, di tengah amarahnya, Lyra refleks menaruh tangannya di perut. Tarikan napasnya tercekat. Ia terdiam beberapa detik. Tidak…

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 14

    Langkah Lyra terdengar mantap menuruni anak tangga. Wajahnya pucat, namun matanya dingin, seolah berusaha menutupi luka yang sebenarnya sudah merobek hatinya. Kanz panik, langsung bergerak cepat menghadang. Tangannya mencekal pergelangan Lyra, menahannya agar tidak pergi. “Bu Lyra, tunggu! Ini nggak seperti yang kamu dengar, aku bisa jelaskan!” suaranya bergetar. Lyra menoleh, tatapannya tajam, menusuk. Senyap sesaat, lalu ia membuka mulut dengan nada datar, dingin—persis seperti seorang dosen menegur mahasiswa yang ketahuan berbuat salah. “Simpan penjelasanmu, Kanz. Aku sudah cukup sering mendengar alasan dari mahasiswa yang ketahuan main asmara di lingkungan kampus. Jangan ulangi kesalahan itu lagi.” Kanz tercekat. Ucapannya seakan pisau yang mengiris dada. Monica, yang berdiri tak jauh di koridor, hanya melipat tangan dengan ekspresi kesal. Namun matanya menyipit curiga—ada sesuatu yang janggal. Kenapa Kanz begitu berani mencekal tangan Lyra? Kenapa ia panik setengah mati ha

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 13

    Lyra masih berdiri kaku, jantungnya berdegup kacau. Ia tak tahu harus merasa apa—antara menolak, marah, atau runtuh oleh perasaan yang bercampur aduk. Namun tiba-tiba… Kanz maju selangkah, lalu tanpa aba-aba bibirnya menempel pada bibir Lyra. Lembut. Dalam. Menyapu seluruh kewarasan yang tersisa. Mata Lyra membelalak, tubuhnya sempat menegang. Nafasnya tercekat, seolah dunia berhenti berputar hanya untuk ciuman itu. “Kanz…” suaranya nyaris tertahan di sela helaan, tapi suara itu lenyap begitu saja ketika pemuda itu menekan bibirnya lebih dalam, gerakannya semakin berani namun masih sarat perasaan. Lyra seharusnya menolak. Seharusnya mendorong tubuh itu menjauh. Tapi entah mengapa, tubuhnya justru berkhianat. Perlahan, kelopak matanya terpejam, dan bibirnya… membalas. Seketika suasana berubah. Ciuman itu bukan lagi sepihak—panas, menuntut, tapi juga mengikat dalam satu gejolak yang tak bisa mereka hindari. Nafas mereka tersengal, tubuh Lyra sedikit terhuyung, tapi Kanz mere

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 12

    Aula kampus dipenuhi suasana haru. Mahasiswa dan dosen berdiri berbaris rapi, satu per satu menyampaikan kalimat duka cita atas meninggalnya nenek Lyra. Semua orang tahu bahwa wanita itu tumbuh hanya dengan kasih sayang neneknya. Wajah Lyra basah oleh air mata, hatinya bergetar. Ia tak menyangka, bahkan di tengah kerumitan hidupnya, masih ada banyak orang yang peduli. Selesai acara, Lyra kembali ke ruangannya. Ia baru saja menjatuhkan tubuh lelah ke kursi ketika pintu mendadak terbuka keras. BRAKK! Reihan masuk dengan wajah murka. “Rei—” Lyra berdiri, belum sempat bicara, tubuhnya langsung terdorong ke dinding. Bugh! “Argh—!” Lyra meringis, berusaha berontak, tapi tekanan tangan Reihan terlalu kuat menahan bahunya. Mata pria itu berkilat penuh amarah. “Ada hubungan apa KAMU dengan Kanz?!” suaranya bergetar marah. “Kenapa dia selalu ada di sekitarmu?! Dia muncul di kantin, bahkan juga di kampung kemarin! JANGAN KIRA AKU BODOH, LYRA!” Lyra terbelalak, tubuhnya bergeta

  • DOSEN Itu, IBU ANAKKU   Bab 11

    Sore mulai meredup, pemakaman selesai. Orang-orang desa berangsur meninggalkan area, menyisakan suasana lengang yang dipenuhi aroma tanah basah. Lyra berjalan pelan menuju rumah kayu peninggalan neneknya, langkahnya berat, wajahnya tetap muram. Risa setia di sampingnya, menopang bahu Lyra yang nyaris tak sanggup lagi berdiri tegak. Di teras rumah, Lyra berbalik, matanya masih sembab. Ia menatap Reihan, Neera, lalu sekilas ke arah Kanz yang berdiri beberapa meter dari mereka. “Terima kasih… karena sudah datang,” ucap Lyra lirih, suaranya serak. Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan dengan tegas. “Tapi aku mohon… pulanglah. Aku ingin sendiri.” Reihan langsung melangkah mendekat, menatap Lyra penuh rasa khawatir. “Tidak, Lyra. Aku tidak akan pergi. Aku akan nginap di sini. Setidaknya sampai keadaanmu tenang.” Kalimat itu langsung membuat Kanz yang berdiri di sisi halaman mengepalkan tangan. Matanya berkilat marah, meski ia berusaha menahan wajahnya tetap datar. Lyra buru-b

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status