Bulan telah menunjukkan keindahan cahayanya.
"Kamu di mana sih, Mas?" Dengan perasaan khawatir karena Ryo tidak kunjung pulang ke rumah, Naren hanya bisa mondar-mandir di depan pintu rumahnya sembari menelepon sang suami. Namun, tidak ada jawaban dari Ryo.
Angin malam semakin dingin dan dinginnya serasa menembus ke tulang-tulang. Naren tidak sanggup lagi berdiri di luar, akhirnya dia memilih untuk masuk dan menunggu Ryo di ruang tamu. Sambil memandangi ponselnya yang menyala, rasa sedih semakin mencuat karena Ryo seakan melupakannya.
Ryo pergi begitu saja disaat Naren membutuhkannya. Naren tahu bahwa Ryo kesal dengan ucapannya, tetapi kesedihan yang Naren alami juga akibat dari keluarga Ryo sendiri. Naren ingin Ryo memahami dan mengerti apa yang dirasakan hatinya saat ini, bukan malah pergi dan tidak memberi kabar sama sekali.
"Ayo angkat!"
Pandangan Naren tertuju ke depan, dia mendengar suara gesekan sandal dari luar rumah. Cepat-cepat dia berdiri, berharap sang suami pulang ke rumah. Naren membuka pintu, dan benar saja bahwa Ryo telah berdiri di depan pintu, sedangkan tangannya hendak mengetuk pintu.
Naren menghela napas panjang, perasaan lega dan kesal menjadi satu. Sayangnya dia tidak bisa meluapkan kekesalannya kepada Ryo. Dia tidak ingin memperkeruh suasana. Ryo melenggang begitu saja masuk ke dalam rumah dengan wajah masam. Tidak ada salam, tidak ada sapaan, apalagi tatapan hangat terhadap Naren.
"Kamu dari mana saja, Mas? Kok baru pulang?" Naren membuntuti Ryo untuk mendapatkan jawaban. Hanya saja Ryo tetap diam, dia mengacuhkan Naren.
Naren mengikuti kemana pun Ryo pergi. Kamar tidur mereka berdua, kamar mandi, bahkan ke dapur saat Ryo hendak mengambil air minum. Naren hanya ingin tahu keberadaan Ryo selama beberapa jam tadi. Naren tidak menyerah walaupun Ryo menghindarinya.
Diacuhkan seperti itu membuat Naren sakit hati berkali-kali lipat. Belum sembuh sakit hatinya karena Ryo memilih pergi dan menyuruhnya untuk pulang sendiri, saat ini Ryo mendiamkannya. Bagi Naren lebih baik Ryo mengoceh apa saja padanya dari pada acuh seperti sekarang ini.
"Mas, jawab aku!"
"MAASSS!!!"
Naren menarik lengan Ryo hingga keduanya saling berhadapan. Mereka berdua saling pandang, Ryo menatapnya datar tidak seperti Naren yang menatap pria itu dengan penuh harap. Ryo menepis tangan Naren, lagi dan lagi Ryo pergi begitu saja.
Naren menunggu Ryo di kamar, sudah lewat dua puluh menit pria itu tidak kunjung memasuki kamar. Naren memutuskan untuk keluar dan melihat apa yang dilakukan suaminya itu. Televisi di ruang tengah menyala, ternyata Ryo tidur di atas sofa panjang tepat di depan televisi.
Naren hendak membangunkan suaminya, sebelah tangannya terulur memegang pundak Ryo. "Mas?"
Dia sedikit mengguncangkan tubuh sang suami, detik kemudian Naren tersadar. Dia menundukkan kepala, tak terasa air matanya menetes dan jatuh di atas kedua kakinya. Ryo menghindari Naren dan Ryo tidak ingin berada didekatnya untuk saat ini.
Hari ini penuh dengan kesedihan, Naren memasuki kamarnya lagi. Tidur di dalam balutan selimut dengan air mata yang terus mengalir. Sebisa mungkin dia tidak mengeluarkan suara karena tidak ingin terdengar oleh Ryo.
"Tidak apa-apa. Semoga besok adalah hari yang baik," katanya penuh harap. Sebuah doa kecil yang tidak pernah Naren lewatkan disetiap malamnya.
Waktu berlalu begitu cepat, cahaya matahari perlahan-lahan masuk ke dalam rumah melalui celah-celah jendela. Seperti biasa Naren melakukan tugasnya sebagai seorang istri. Memasak di dapur dan menyajikan makanan enak di atas meja makan. Tak lupa rumah yang sedikit berdebu ia sapu karena kemarin suasana hatinya sedang tidak baik untuk membersihkan rumah.
Naren menengok ke arah ruang keluarga, di sana sudah ada Ryo yang terlihat rapi dengan pakaian dinasnya. Sebelum menemui Ryo, Naren mengatur napas karena dirinya ingin meminta maaf terhadap pria itu atas kejadian kemarin siang. Ya, Naren memilih mengalah agar masalah ini tidak berlarut-larut dan dia tidak ingin Ryo terus mendiamkannya.
Naren berjalan perlahan menuju sofa, tanpa izin pun dia duduk di samping Ryo. Sayangnya, Ryo menatap dengan tatapan kesal. Pria itu bangkit hendak meninggalkan Naren seolah-olah tidak ingin melihat wajahnya lagi.
"Mas, aku minta maaf." Naren menarik lengan Ryo agar tidak pergi meninggalkannya. "Mungkin perkataanku kemarin juga menyinggungmu." Naren menggigit bibir bagian dalamnya, degup jantungnya semakin kencang saat Ryo hanya diam saja sembari menatap lekat ke arahnya.
"Maaf," ucapnya lagi. "Aku salah."
Ryo hanya menghela napas panjang, lalu dia mengambil tas kerjanya.
"Tunggu, kita sarapan dulu. Aku sudah masak makanan kesukaanmu." Naren masih membujuk sang suami. Ryo berjalan sampai di ambang pintu.
"Mas tunggu." Naren berlari menuju dapur hendak mengambilkan bekal yang sudah disiapkan sebelumnya. Karena terburu-buru, botol minum yang terbuat dari plastik itu terjatuh dan pecah. Naren kesal terhadap dirinya yang suka ceroboh. Niat hati ingin menghibur Ryo malah dirinya yang kesulitan.
'Bruuummm....'
Deru sepeda motor milik Ryo terdengar, Naren terlonjak dan berlari secepat mungkin ke halaman depan rumahnya. Dia tidak ingin rencana yang dibuatnya ini gagal, meskipun Ryo tidak mau sarapan bersamanya setidaknya Ryo harus tahu bahwa Naren berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan hatinya dengan menyiapkan bekal untuk pria itu.
"Mas...." Naren berteriak saat sepeda motor Ryo keluar dari pagar rumah. "Mas bekalmu." Naren mengejar Ryo hingga jarak 10 meter dari rumahnya. "Maaasssss...."
Naren menggenggam erat kotak bekal berwarna hijau muda itu. Dia menatap nanar isi di dalamnya yang sudah berhamburan tidak secantik saat ia hias sebelumnya. Hatinya kembali pedih, Naren teringan ucapan ibu Ryo yang mengatakan bahwa dirinya tidak berguna. Ternyata benar adanya, Naren memanglah istri yang tidak berguna.
Hari yang baik seperti doanya tadi malam ternyata Tuhan tidak mengabulkannya. Naren melihat tumpahan air ada di mana-mana. Dia mengambil lap kain untuk mengeringkan lantai.
"Sudah jangan menangis," ucapnya pada diri sendiri. Naren harus kuat, kata bidan kandungannya dia tidak boleh setres jika ingin cepat memiliki anak.
Bukannya berhenti menangis, air mata semakin deras mengalir dikedua pipinya. Naren tidak pernah berada diposisi ini. Naren sangat tersiksa dengan makian dan pandangan sinis terhadapnya. Naren tidak pernah memilih untuk menjadi wanita yang tidak bisa memberikan keturunan. Berulang kali Naren meyakinkan diri bahwa takdir ini adalah yang terbaik untuknya, bahwa nanti akan takdir yang lebih indah untuknya.
Namun, tidak ada yang bisa mengerti tentang apa yang dia rasakan. Naren ingin Ryo kembali hangat seperti sebelumnya. Naren akan meminta maaf seribu kali jika itu yang diinginkan Ryo. Naren akan melakukan apapun agar Ryo selalu mencintainya seperti dulu.
"Katanya kamu akan selalu mencintaiku, Mas. Mengapa saat ini kamu mengabaikanku? Aku merindukanmu." Dada Naren terasa sesak, tangisnya pun tak mau berhenti. Dia tenggelam dengan rasa khawatir di hatinya. Dia ingin Ryo kembali.
"Lalu apa? Tuan?" Deo memandangnya sinis seolah Naren telah melakukan kesalahan besar. Tidak penting apapun panggilannya terhadap pria itu, Naren tidak salah sama sekali bahkan panggilan bapak itu adalah panggilan wajah dan biasa digunakan oleh semua orang. "Tuan Deo?" Braakkk...Deo tampak kesal, dia bangkit dan tiba-tiba mencengkeram lengan Naren. Semakin lama Deo menyebalkan, Naren menghempas tangan kekar itu dari lengannya. Entah apa mau pria itu, Naren hanya berusaha bekerja dengan baik, tetapi nyatanya dia tidak mendapatkan balasan positif. "Kalau begitu panggil saja seperti barusan."Naren menghela napas berat, "Memang seharusnya seperti itu, Pak." Naren membungkukkan badannya dan hendak pergi dari ruangan ini. "Saya pamit undur diri.""Naren."Naren menghentikan langkahnya, sebelah alisnya terangkat karena Deo memanggil namanya. Ternyata Deo masih ingat dengan nama panggilannya ini. Beberapa menit berlalu Deo masih diam, Naren terus menunggunya. Entah apa yang dipikirkan o
"Sudah datang, mereka sudah datang."Riuh dan bisikan dari beberapa karyawan menggema di telinga Naren. Selama bekerja di Briliant Company, untuk pertama kalinya dia dan seluruh karyawan di perusahaan ini menyambut sang CEO. Selama ini kehidupan di kantor begitu tentram dan damai. Namun, setelah ada isu digantinya CEO baru banyak rumor-rumor yang beredar. Identitas CEO lama yang selalu disembunyikan tak membuat Naren penasaran. Namun, CEO baru yang akan menjabat saat ini membuat Naren gelisah. Pasalnya Naren akan bekerja langsung di bawah tangan CEO baru itu. Naren mendengar pintu mobil dibuka oleh seseorang, dia masih tetap menundukkan kepala. "Selamat datang di Briliant Company. Akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu telah tiba. Bagaimana perjalanan anda, Pak?" Tidak ada sahutan, semua orang hening dan tampak kaku. Benar dugaan Naren bahwa CEO baru itu berhati dingin. Naren masih tidak berani mengangkat kepalanya. Padahal yang berbicara dengan CEO baru itu adalah pejabat tinggi di
"Segera, dan secepatnya datang ke sini!"Naren yang mendengar suara tegas dari seberang telepon hanya bisa menganga lebar. Telepon pun diputus secara sepihak, Naren tidak bisa berkutik. Di dalam otaknya berpikir dan mengingat-ingat apa mungkin dia telah membuat kesalahan.Sayangnya, Naren sangat bersih. Dia mengajukan cuti karena sakit beberapa hari. Sebelum itu pun dia tidak melakukan kesalahan pada pekerjaannya. Namun, suara atasannya barusan seperti dia telah melakukan kesalahan besar. Naren buru-buru merapikan barang-barang, tak lupa dia merias diri meskipun masih tampak pucat. Ryo yang baru keluar dari kamar mandi pun tertegun karena sang istri terlihat sangat panik. "Kamu sudah mau masuk kerja?" Naren hanya menganggukkan kepala. Tidak ada waktu untuk berbasa-basi, sang bos bisa memecatnya jika Naren terlambat. "Bukannya sudah ajukan cuti? Kamu belum pulih.""Atasanku terdengar sangat marah." Naren menghentikan tangannya yang mengotak-atik tas. "Apa aku melakukan kesalahan?" N
"Aku harus mencobanya lagi," ucap Naren sembari terburu-buru menuju kamar mandi. Di tangan kanannya, dia memegang kantong plastik berwarna putih. Naren baru kembali dari membeli tespek di apotik. Dia membuka bungkusan dan melakukan apa yang harus ia pastikan. Dia menunggu beberapa saat, detak jantungnya semakin tak karuan. Di dalam hatinya berharap apa yang dia inginkan akan terkabul hari ini. Dia ingin memberikan kabar baik untuk Ryo, pasti suaminya itu akan sangat bahagia dan mereka berdua akan hidup damai tanpa ada cacian dari ibu mertuanya. Naren juga ingin melengkapi kodratnya sebagai wanita yang bisa mengandung dan melahirkan. Setidaknya dia ingin memberikan kesempurnaan di dalam keluarga kecilnya. Naren mengangkat tespek dari gelas kecil. Dia memejamkan kedua mata, ada rasa takut saat akan melihatnya. Namun, dia berusaha berpikir positif bahwa hasilnya akan sesuai dengan yang dia inginkan. Sambil menyebut nama Ryo dan dengungan doa, Naren membalik tespek tersebut. "Hah?"Ta
Bulan telah menunjukkan keindahan cahayanya. "Kamu di mana sih, Mas?" Dengan perasaan khawatir karena Ryo tidak kunjung pulang ke rumah, Naren hanya bisa mondar-mandir di depan pintu rumahnya sembari menelepon sang suami. Namun, tidak ada jawaban dari Ryo. Angin malam semakin dingin dan dinginnya serasa menembus ke tulang-tulang. Naren tidak sanggup lagi berdiri di luar, akhirnya dia memilih untuk masuk dan menunggu Ryo di ruang tamu. Sambil memandangi ponselnya yang menyala, rasa sedih semakin mencuat karena Ryo seakan melupakannya. Ryo pergi begitu saja disaat Naren membutuhkannya. Naren tahu bahwa Ryo kesal dengan ucapannya, tetapi kesedihan yang Naren alami juga akibat dari keluarga Ryo sendiri. Naren ingin Ryo memahami dan mengerti apa yang dirasakan hatinya saat ini, bukan malah pergi dan tidak memberi kabar sama sekali."Ayo angkat!" Pandangan Naren tertuju ke depan, dia mendengar suara gesekan sandal dari luar rumah. Cepat-cepat dia berdiri, berharap sang suami pulang ke r
"Punya istri kok gak berguna sih, Yo...." Dentingan sendok memekak keras di atas meja kaca. Semua yang ada di meja makan itu menunduk dalam. Ujung kemeja yang dikenakan Naren sampai lusuh karena terus-menerus ia remas kuat. Air mata rasanya sudah beku karena sering ditempa kata-kata menyakitkan dari sosok wanita yang Naren anggap sebagai ibu. Baru kali ini Naren merasa direndahkan oleh orang yang ia sayangi sendiri. Ibu mertua yang selalu baik kepadanya mulai acuh bahkan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada Naren. Dua bulan yang lalu sang ibu mertua masih perhatian terhadapnya, entah mengapa setelah itu tidak hanya mertuanya, tetapi seluruh keluarga dari suaminya mulai membencinya. "Harusnya ibu tidak berbicara seperti itu," ucap Ryo, suami Naren. "Dia istriku, Bu. Naren juga anakmu," lanjutnya juga tidak terima dengan perkataan sang ibunda. Naren menarik lengan Ryo karena tidak ingin suaminya bertengkar dengan ibunya. Naren tidak ingin dia yang akan disalahkan dan diang