Beranda / Rumah Tangga / DUA CINTA DUA SAMUDRA / Bukan Menantu Sempurna

Share

DUA CINTA DUA SAMUDRA
DUA CINTA DUA SAMUDRA
Penulis: Rose Bloom

Bukan Menantu Sempurna

Penulis: Rose Bloom
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-07 12:40:10

"Punya istri kok gak berguna sih, Yo...." Dentingan sendok memekak keras di atas meja kaca. Semua yang ada di meja makan itu menunduk dalam.

Ujung kemeja yang dikenakan Naren sampai lusuh karena terus-menerus ia remas kuat. Air mata rasanya sudah beku karena sering ditempa kata-kata menyakitkan dari sosok wanita yang Naren anggap sebagai ibu.

Baru kali ini Naren merasa direndahkan oleh orang yang ia sayangi sendiri. Ibu mertua yang selalu baik kepadanya mulai acuh bahkan tega mengucapkan kata-kata menyakitkan kepada Naren.

Dua bulan yang lalu sang ibu mertua masih perhatian terhadapnya, entah mengapa setelah itu tidak hanya mertuanya, tetapi seluruh keluarga dari suaminya mulai membencinya.

"Harusnya ibu tidak berbicara seperti itu," ucap Ryo, suami Naren. "Dia istriku, Bu. Naren juga anakmu," lanjutnya juga tidak terima dengan perkataan sang ibunda.

Naren menarik lengan Ryo karena tidak ingin suaminya bertengkar dengan ibunya. Naren tidak ingin dia yang akan disalahkan dan dianggap telah menghasut Ryo untuk membelanya.

"Saya akan usaha lagi, Bu," kata Naren sedang suaranya sedikit serak. Dia beradu tatap dengan suaminya yang ikut menatap pilu.

"Usaha usaha... Sudah tiga tahun ini, Naren."

Brakkk....

Kini ibu mertua yang dipanggil Bu Ningsih itu menggebrak meja. Naren sempat terlonjak, dan tak terasa ujung kedua matanya terasa basah. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

"Sudah-sudah jangan menangis." Ryo mengusap pipi Naren dengan punggung tangannya.

Perasaan Naren hancur lebur berkali-kali, entah sudah berapa ribu sumpah serapah yang dilontarkan sang ibu mertua. Hingga kini, Naren masih diam dan menghormati Bu Ningsih.

Beruntungnya dia masih mempunyai suami yang selalu mendukungnya. Ryo tidak pernah mengeluh meskipun selalu didesak oleh keluarganya. Ryo tetap dan selalu menjadi suami yang baik untuk Naren.

"Ryo itu anak pertama dan cucu laki-laki pertama, dia harus memiliki keturunan sebagai penerusnya. Saudara yang lainnya sudah pada gendong anak, lah kamu... sudah tiga tahun belum bisa memberikan kami cucu."

"Ibu selalu tutup muka setiap bertemu keluarga besar dan tetangga. Ryo ini anak kebanggaan kami, kapan kamu mau memberi kebahagiaan terhadap dia?"

Bu Ningsih terus saja mengoceh. Naren semakin tidak berani menampakkan wajahnya. Seluruh tubuh Naren terasa dingin. Meskipun yang lainnya diam, tetapi mereka setuju dengan ucapan Bu Ningsih.

Hanya Ryo yang membela Naren, dan Ryo juga ikut sakit hati karena istrinya dicecar berkali-kali. Ryo juga tidak ingin dicap anak durhaka, sebisa mungkin dia berkata dengan nada rendah di depan ibunya.

"Kebahagiaan Mas Ryo bisa saya kasih dengan hal lainnya, Bu." Naren berusaha membela diri, karena Ryo pernah berkata demikian bahwa kebahagiaan tidak hanya didapat dengan memiliki keturunan, mereka bisa meraih kebahagiaan lainnya.

Ryo selalu menyemangati Naren, belum saatnya mereka memiliki keturunan dan mungkin keduanya belum siap menjadi orang tua karena itulah Tuhan masih belum memberikan anugerah itu kepada mereka.

Disaat Naren berkecil hati, kata-kata semangat dari Ryo selalu membuatnya bangkit. Dan lagi-lagi semangatnya itu dipatahkan oleh perlakuan keluarga Ryo yang membencinya.

"Apa kata kamu? Anak itu sebuah kebahagiaan terbesar."

"Iya saya tau, Bu."

"SUDAH... MULAI MEMBANTAH KAMU, YA!!"

Ryo bangkit, dia menarik lengan Naren dan menyuruhnya untuk berdiri. Semua mata tertuju kepada mereka berdua, dan Naren tidak berani lagi menunjukkan batang hidungnya. Pasti semua orang menatap tak suka ke arahnya.

"Kalau Ibu terus-menerus merendahkan Naren, kami akan pulang saja. Ryo dan istri datang kemari bukan untuk mendengarkan perkataan seperti ini dari kalian."

"Kami hanya ingin bersilaturahmi karena kita adalah keluarga, nyatanya kalian bersikap kejam. Bukan seperti ini yang namannya keluarga. Oh ya Naren bukan orang asing, dia istriku."

Setelah mengucapkan kalimat pnjang, Ryo menggenggam sebelah tangan Naren dan membawanya keluar dari rumah kedua orang tuanya ini.

Naren tak berkutik, memang keinginannya meninggalkan rumah yang terasa seperti berada di ruang interogasi. Rasanya sangat sesak, setelah berada di luar rumah seperti menghirup aroma surga.

Di atas sepeda motor yang dikendarai oleh Ryo, wanita berambut sebahu itu hanya diam dengan pikirannya yang teramat berisik. Sesekali air mata mengalir dikedua pipi Naren.

"Susah sekali hidupku ini," batin Naren sembari tersungut-sungut kesal.

Tangan lembutnya meraih perut yang masih datar. Dia juga ingin perutnya itu membuncit sekaligus merasakan getaran bayi yang aktif bergerak.

"Apakah cita-citaku saat ini telah berubah dengan menjadi seorang ibu? Namun, gelar ibu itu adalah kodrat seorang wanita, tetapi mengapa sulit untuk kugapai?"

Naren terus bertanya-tanya. Macetnya jalan di depan Naren tak menjadi pemecah pikirannya, kepulan asap pun ia hirup dalam-dalam.

"Narennn...." Ryo melirik sang istri dari spion, tetapi yang dipanggil masih sibuk dengan tangisannya.

"Sudah jangan menangis, aku tidak suka ya jika nanti melihat wajahmu yang bengkak." Ryo berusaha membujuk Naren agar ceria kembali.

"Naren...." Tetap tidak ada balasan dari sang istri, terpaksa Ryo menepikan motornya tepat di bawah pohon yang rindang.

Naren tersadar dari lamunannya, dia menahan kepala Ryo agar tidak menoleh ke arahnya. Naren memeluk erat tubuh Ryo dan menenggelamkan wajahnya di punggung sang suami.

Ryo hanya menghela napas berat. Tidak hanya Naren yang susah, dirinya juga merasakan sesak saat dipojokkan oleh keluarganya yang menuntut seorang anak.

"Sudah ya, istriku," ucap Ryo lembut. Dia mengelus paha Naren dan menenangkannya.

"Aku memang istri yang tidak berguna, Mas." Suara Naren tertahan, tetapi dapat didengar oleh Ryo.

"Bicara apa kamu, huh?"

"Memang benar kan, Mas? Kamu salah memilih wanita mandul seperti aku!"

"NAREN."

Napas Ryo memburu, gemuruh di dadanya seakan tidak bisa ia tahan. Ryo melepas tangan Naren dari pinggangnya, tak lama setelah itu, Ryo berdiri dan melepas helmnya.

Naren mendongak, wajahnya masih basah dan memerah. Naren tidak bisa menebak ekspresi yang Ryo tampakkan saat ini. Ryo melenggang begitu saja menuju tepi jalanan, Naren hendak menghampiri sang suami. Namun, Ryo membuka suara yang membuat Naren mengurungkan diri untuk mendekat.

"Pulang sendiri, mungkin aku akan pulang malam atau tidak pulang ke rumah," katanya tanpa menatap manik mata Naren.

Naren memanyunkan bibirnya, ada rasa kecewa saat Ryo memilih untuk meninggalkannya. "Kamu mau ke mana, Mas?"

Mobil angkot berwarna kuning berhenti di depan Ryo. Tanpa menjawab pertanyaan Naren, Ryo masuk ke dalam mobil angkot begitu saja. Naren masih memanggil-manggil nama suaminya, tetapi kepalang tanggung mobil berwarna kuning itu sudah jalan terlebih dahulu.

"Hiks, tega sekali kamu meninggalkan aku." Naren menghidupkan mesin motor maticnya. Dia menoleh ke kanan, ke kiri, dan ke belakang. Jalanan begitu ramai, tetapi sibuk dengan urusan masing-masing.

Naren membenamkan wajahnya pada kedua tangan, kedua pundaknya semakin hebat berguncang. Isak tangis yang tertahan semakin kencang terdengar. Satu, dua orang yang tidak sengaja lewat di dekat Naren menoleh heran.

"Apa ucapanku salah ya barusan?" Air mata semakin membanjir, Naren hanya bisa merenungi kekalutan hidupnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Ryo Menghilang Sejenak

    "Wanita ini siapa?" Naren tak bisa membendung rasa penasarannya tentang wanita yang saat ini sedang bersama suaminya. Banyaknya masalah yang terjadi diantara mereka membuat Naren curiga. Dia selalu mempercayai Ryo, tetapi ada kalanya juga dia merasa cemburu disaat Ryo bersama wanita lain. "Dia teman kerjaku. Aku dapat tugas bareng sama dia dari atasan," jawab Ryo berusaha membuat Naren percaya padanya. Naren mengangguk paham, dia memaklumi karena yakin Ryo tidak akan berbohong. "Oh ya sudah lanjutkan." Naren tersenyum kecil, walau masih ada perasaan aneh di hatinya. Mungkin karena cemburu, dia tidak ingin Ryo malu dan merasa tidak nyaman karena sikapnya. "Oh ya kamu baru mau makan siang? Mau aku pesankan sesuatu?""Tidak perlu, Mas. Temanku sudah pesan sebelumnya." Naren menahan lengan Ryo yang hendak mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana. "Sebaiknya Mas lanjutkan saja diskusinya, aku akan duduk bareng teman-temanku." Naren menunjuk ketiga temannya yang sudah duduk di meja y

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Dia dengan Wanita Lain

    "Davin, cepat ke ruangan saya!" Davin yang mendapat perintah dari tuannya itu segera menuju ruangan Deo. "Cari tahu masalah yang sedang terjadi dengan Naren dan suaminya." Davin membelalakkan kedua matanya, dia tidak salah dengar dengan apa yang diperintahkan oleh tuannya itu. Mencari tahu tentang Naren dan masalah apa yang tengah terjadi di dalam rumah tangganya, sungguh adalah tugas yang di luar dari prediksinya. Bagi Davin pribadi bukan urusannya penasaran dengan masalah orang lain apalagi tentang masalah rumah tangga. Harusnya juga bukan urusan Deo jika karyawannya sedang dihadapi suatu masalah. Semakin lam Deo semakin aneh dan tidak menjadi dirinya sendiri. Pribadi Deo yang tertutup, pendiam, tegas, dan berwibawa seakan lenyap hanya karena Naren. Davin semakin tidak mengerti jalan pikiran tuannya itu. Selama bertahun-tahun bekerja dengan Deo, baru kali ini Davin merasa kelimpungan dengan tugas yang diberikan oleh Deo. "Untuk apa, Tuan?" Deo menajamkan tatapannya, dia tidak s

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Mau Aku Peluk?

    "Apa kau sudah mencetak ulang kontraknya? Mengapa tidak segera kau serahkan padaku?" Raut wajah Deo membuat Naren gemetar. Deo terlihat sangat marah, Naren diam saja dan menerima kemarahan Deo padanya. "Maaf, Pak. Akan saya serahkan secepatnya." Naren berlalu meninggalkan ruangan Deo. Dia mengambil dokumen yang sudah ia cetak sebelumnya, dan Naren mengecek kembali agar sesuai dengan yang diminta oleh atasannya.Setelah memastikan bahwa dokumen itu sesuai, Naren segera kembali ke ruangan Deo dan menyerahkan dokumen itu. Deo menatap intens wajah Naren seolah pria itu memberi isyarat agar tidak ada kesalahan lagi."Kontraknya sudah sesuai, dan Bapak bisa tanda tangan di sini." Naren menunjukkan bagian yang harus Deo bubuhi tanda tangannya. Deo menganggukkan kepala pertanda bahwa dokumen yang Naren serahkan tanpa kesalahan. "Setelah ini akan saya copy dan mengirimnya ke pihak client. Sekali lagi saya minta maaf, kalau begitu saya permisi." Naren membungkukkan badan. Setelah kepergian Na

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Secangkir Kopi Pahit

    "Hei Naren."Naren terkejut, lalu bangkit dari tempat duduknya sampai-sampai menatap ujung meja. Naren akhirnya sadar dari lamunannya. Dia mengerjapkan kedua matanya, di depannya saat ini berdiri sosok Davin yang menatapnya penuh tanda tanya. Sebelumnya Davin mengetuk meja Naren beberapa kali, tetapi Naren tetap dalam lamunannya. Akhirnya Davin mengguncang bahu Naren karena ada hal mendesak yang harus mereka bahas. "Kau kenapa? Masih tidak enak badan?" tanya Davin ada sedikit khawatir karena wajah Naren pucat tidak seperti biasanya. Davin takut Naren justru pingsan di kantor yang nantinya akan menambah pekerjaan untuk Davin. Naren menggelengkan kepalanya, "Aku baik-baik saja. Maaf aku melamun barusan," kata Naren sembari mengusap kedua matanya yang berair. "Kalau begitu apa kau bisa mencetak kontrak yang baru saja dikirim oleh Lion Company?" Naren menyanggupi, dia mencari file yang beberapa menit lalu ia unduh di komputernya. "Oh ya, nanti bawa kontrak itu ke ruangan Pak Deo." Da

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Pergi dari Mereka

    "Kamu dari rumah ibu ya, Mas?"Naren mengikuti langkah Ryo saat pria itu baru saja datang. Dengan wajah kesal dan marah, Naren menodong suaminya dengan berbagai pertanyaan. Namun, sampai kamar mereka, Ryo tetap diam."Ngapain kamu ke sana? Untuk apa?""Mengapa tidak mengajakku?"Naren akhirnya berhenti mengikuti suaminya, dia memilih keluar dari kamar dan menenangkan diri di sofa ruang tamu karena Ryo tetap tidak mau membuka suara. Naren merasa diabaikan, pasti seperti apa yang ia pikirkan. Ibu Ryo pasti menjelek-jelekkan tentang dirinya, atau memaksa Ryo untuk segera berbuat sesuatu agar dirinya cepat hamil. Setelah pulang kerja, Naren mendapatkan pesan dari adik iparnya yang menanyakan keberadaan Naren karena tidak ikut ke rumah mertuanya bersama Ryo. Seketika Naren terkejut, karena Ryo tidak memberi kabar apapun padanya. Naren pun beberapa kali menghubungi Ryo, tetapi tidak mendapat balasan. Naren semakin gelisah, apapun yang berhubungan dengan keluarga Ryo selalu membuatnya takut

  • DUA CINTA DUA SAMUDRA   Aku Telah Menikah

    "Aku kira kamu membenciku."Keduanya saling beradu tatap, hanya saja Deo tetap diam seperti enggan mengeluarkan suara atas pertanyaan Naren barusan. Naren menunggu dengan sabar dan berharap bahwa mantan kekasihnya itu mau menceritakan alasan yang sebenarnya mereka bisa berpisah bahkan menjadi orang yang sangat asing saat ini. Sayangnya Deo tetap bungkam sampai dua waiters pria dan wanita menghampiri meja mereka berdua. Waiters tersebut menaruh makanan yang telah dipesan di hadapan Naren dan juga Deo. Naren memutar bola matanya kesal, disaat yang ia tunggu-tunggu sudah sedikit lagi akan tercapai, tetapi dia harus menundanya lagi entah sampai kapan. Naren turut diam, dia mengambil garpu dan pisau daging. Untuk yang pertama kalinya, Naren masih kesulitan memotong daging steak yang cukup tebal ini. Naren melirik kesekitar dan mempelajari cara memotong daging dengan melihat orang-orang disekitarnya. "Ini."Tiba-tiba Deo menarik paksa piring Naren dan menggantinya dengan milik Deo. Naren

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status