Rasanya begitu nyaman saat masih bisa bersantai di atas kasur, kala waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi. Hari ini gadis manis itu mengambil jatah cuti tahunannya selama empat hari, untuk menemani Mama yang dari bulan kemarin terus mengajaknya ke Bandung untuk main ke rumah Yuda, abangnya. Namun lebih tepatnya, Mama ingin bertemu dengan cucu kembarnya.
"Ayo cepetan kamu mandi terus sarapan. Sebelum jam sepuluh kita sudah harus berangkat," ucap Mama sambil berlalu dari kamar Vanya. Memaksa dirinya untuk bangun, gadis itu beranjak dari tempat tidur kemudian bersiap-siap. Sesuai rencana mereka berdua akan menginap di sana sekitar dua hari dan pulang di hari Minggu pagi. Selesai sarapan dan memastikan semua pintu dan jendela telah tertutup rapat, mereka lantas berkendara menuju Bandung. Setelah menempuh dua setengah jam perjalanan, akhirnya mereka tiba juga di kota kembang itu. Begitu tiba di rumah, mereka disambut hangat oleh si kembar serta istri Yuda, Nadia. Dengan senyum ramah Nadia mempersilahkan Mama dan Vanya masuk. Sementara Mama dan Nadia menuju ke ruang tamu, Vanya membawa barang-barang mereka ke kamar. *** Sore harinya, Yuda mengajak mereka semua jalan ke Alun Alun kota Bandung. Setelah menyiapkan camilan buat si kembar, mereka bergegas meninggalkan rumah. Baru saja selesai memarkirkan mobil, si kembar langsung berlarian tak tentu arah, membuat Nadia dan Vanya langsung mengejar mereka sebelum kehilangan jejak. Yuda hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah anak kembarnya itu. "Gimana kerjaan di kantor?" tanya Mama ketika mereka telah duduk di salah satu kursi yang ada di sana. "Gak ada yang menarik. Masih kaya itu.” "Usaha distro kamu?" "Belakang ini penjualan agak menurun, tapi masih lumayan lah, Ma. Yuda sama Nadia lagi mau nyoba jualan online,” ucap Yuda sempat terdiam beberapa menit, kemudian melanjutkan percakapannya dengan Mama. "Ma, ingat gak sama Tristan teman Yuda waktu kuliah yang sering nginap di rumah?" Mama terdiam sejenak sembari mengingat nama yang baru saja Yuda sebutkan. Beberapa detik kemudian Mama mengangguk kepala sembari menanyakan kabar orang yang Yuda maksud tadi. "Kabar baik dia, Ma. Sekarang dia sudah balik ke Jakarta, kerja di kantor pajak." Mama menjawab ucapan Yuda dengan anggukan kepala lagi. "Kemarin dia nelpon Yuda, Ma. Minta dikenalin sama Vanya. Vanya belum punya pacar kan, Ma?" tanya Yudalagi. "Belum punya sih kayaknya." "Kayaknya? Mama kok ngomongnya gitu? Vanya gak pernah ngenalin cowo ke Mama?” "Sebenarnya ada yang mau Mama ceritain, Yud. Jadi, Vanya ini lagi dekat sama seseorang. Eh, bukan deket juga sih." "Lah, gimana maksudnya, Ma? Yuda gak ngerti." Mama kemudian menceritakan awal mula kejadian di rumah sakit sampai keinginan Vanya yang mungkin saja ingin mencoba menjalin hubungan dengan Charles. "Mama gak salah? Vanya sama duda anak satu?” Yuda tidak terima. “Mama kenal orangnya?” "Ketemu secara langsung sih belum, Vanya juga belum cerita lebih banyak tentang orang ini. Mama yakin sih Vanya masih ragu,” ucap Mama lagi. Omongan mereka terhenti saat Vanya, Nadia, dan si kembar datang. "Pah, lapar," "Pah, haus," si kembar merengek. Melihat si kembar yang terus merengek, Yuda kemudian mengajak mereka untuk makan di salah satu rumah makan yang berada di sekitar tempat itu. “Kamu ingat Tristan gak?” tanya Yuda yang duduk di depan Vanya. Dengan cepat Vanya menggelengkan kepalanya. "Teman kuliah Abang yang dulu sering nginap di rumah, masa kamu gak ingat?" Yuda menatap tajam pada adiknya itu. “Abang mau ngasih nomor kamu sama dia.” "Buat apa, Bang? Kan dia teman Abang?" Vanya memasang wajah kaget. "Siapa tahu kamu sama dia jodoh. Dia kemarin ada lihat kamu di kantornya,” kata Yuda. “Lihat Vanya? Di kantornya?” “Waktu kamu ngurus lupa efin di kantor pajak. Awalnya dia mau nyapa, tapi takut kalau kamu lupa sama dia,” kata Yuda menjelaskan. "Abang kasih ya? Lagian kamu sudah cukup umur gini belum kepikiran mau punya hubungan yang serius?" lanjut Yuda. “Iya kasih aja, Bang." Vanya pasrah daripada berdebat tidak jelas dengan Yuda. "Oke deh. Tapi kamu jangan ngasih harapan palsu sama dia ya, soalnya dia maunya serius." "Abang apaan sih, baru juga mau kenalan udah bilang serius-serius." Vanya memukul pelan lengan Yuda dan mempercepat langkahnya menyusul Mama. *** Setibanya di rumah, Nadia dan Yuda menggendong si kembar yang ketiduran di dalam mobil. Mama masuk ke dalam kamar lantas berganti baju. Selesai memarkir mobil, Vanya mengambil handphonenya dari dalam tas. 'Sudah jam 8 lewat' batinnya. "Banyak banget w******p." Vanya membuka pesan di handphonenya. "Astaga, sampai Pak Didi juga ikutan nelepon," ucap Vanya sedikit kaget saat melihat satu picture w******p dari nomor yang meneleponnya. "Iya, Pak," sahut Vanya saat handphonenya berdering panggilan masuk dari atasannya, Irwan. "Bisa kan besok pagi ke kantor? Ada yang mau audit tanyain,” ucap Pak Irwan. Di kantor Vanya ternyata kedatangan audit internal dari kantor pusat bertepatan dengan hari pertama Vanya cuti, hari kamis. "Saya sih lagi di Bandung, Pak. Memang tanya-tanyanya gak bisa lewat telepon aja, Pak?" tanya Vanya. “Tadi susah dijelaskan kayak gitu, tapi auditnya mau ketemu langsung,” jawab Pak Irwan yang kemudian menawarkan supir kantor untuk menjemput Vanya di Bandung. "Eh, gak usah Pak, kasian Indra jam segini bolak balik Jakarta Bandung." Vanya menolak. "Maaf ganggu cuti kamu ya, Van." "Iya gak apa-apa, Pak." Vanya mematikan sambungan teleponnya. Yuda dan Mama yang dari tadi mendengarkan percakapan Vanya di telepon jadi bingung. "Gimana sih orang kantor kamu, Van? Mana Abang sudah pesan penginapan buat besok kita jalan? Kalo gini kan jadinya terancam batal." "Ya jangan batal dong, Bang. Kan masih ada Mama. Mau gimana lagi, Bang, audit kantor pusat sih yang datang. Vanya berangkat sekarang aja ya," ucap Vanya sambil melirik jam yang menunjukkan pukul delapan malam. "Sudah malam gini, kamu berani sendirian nyetir, Mama jadi khawatir." "Makanya, coba kamu sudah kenal dekat sama Tristan, kan jadi bisa minta jemput," ucap Yuda. "Apaan sih, Bang." Vanya melengos masuk dalam rumah dan mengambil perlengkapan serta tasnya. Setelah pamit Vanya langsung berangkat menuju Jakarta. Sebenarnya sih horor juga jalan malam dari Bandung ke Jakarta sendirian gini. Begitu masuk jalan tol, entah kenapa kantuk mulai melanda, Vanya membuka minuman kaleng yang dibelinya tadi berharap bisa mengurangi sedikit rasa kantuknya. "Gak bener nih," ucap Vanya sedikit takut sambil membesarkan volume lagu yang diputar. Barusan dia melihat sosok putih melayang di depan mobilnya. Gadis itu memacu sedikit lebih kencang mobilnya berharap segera sampai di rest area. Begitu sampai di rest area, Vanya memarkir mobil dan menuju kamar mandi. Ia mencuci mukanya agar tampak lebih segar karena kantuk yang mulai menyerang. Ia kemudian duduk di bangku depan minimarket sambil menghubungi Mama ngasih kabar kalau dia lagi istirahat sebentar di rest area. Tak lama sebuah mobil patroli polisi parkir tak jauh dari tempat duduknya. Entah kenapa, dalam hatinya berharap kalau Charles yang keluar dari mobil itu, dan demi apa? Ternyata memang benar Charles yang keluar. Charles yang sudah meliat Vanya dari dalam mobil langsung menghampirinya. "Ngapain kamu jam segini di sini?" tanya Charles sambil memandang sekitar, mencari seseorang yang mungkin saja sedang menemani Vanya. "sendirian?" "Mau balik ke Jakarta, tadi dari rumah saudara," ucap Vanya yang dalam hatinya terus berdoa dan berharap Charles bisa mengantarnya ke Jakarta. "Jangan kemana-mana, tunggu aku di sini!" Perintah Charles masuk ke minimarket sebentar lalu pamit dengan rombongan temannya tadi. Sekilas Vanya melihat polwan yang tempo lalu bertemu dengannya saat razia, melotot menatap ke arah dirinya saat Charles meminta kunci mobil. Sepanjang perjalanan Vanya memejamkan mata mencoba untuk tidur. Tak ada perbincangan sama sekali, hanya Charles sesekali bersenandung mengikuti irama lagu. Satu setengah jam kemudian mereka sudah sampai di depan rumah Vanya, tapi gadis itu sangat lelap tertidur.Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m
Sebelum akhir pekan benar-benar berakhir, hari Minggu ini Charles mengajak jalan-jalan keluarganya. Mereka telah siap di dalam mobil, hanya tinggal menunggu Charles yang katanya sakit perut."Vanya lihat dulu ke dalam ya Ma," ucap Vanya tak telah melihat yang lain telah menunggu. Vanya keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar. Berkali-kali diketuk tak ada sahutan dari dalam. Vanya memberanikan diri membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak di kunci."Loh, kosong? Dia dimana?" Vanya bingung mendapati kamar mandi yang kosong. Ia keluar kamar dan melihat Charles berjalan dari arah dapur."Kamu ngapain dari kamar?""Kamu yang ngapain dari dapur?" tanya Vanya sambil menutup pintu kamar."Dari kamar mandi belakang, sakit perut.""Kirain kamu di kamar. Ayo cepet, sudah ditunggu," ajak Vanya.Alhasil jam setengah sembilan pagi mereka baru mulai jalan. Berharap jalanan menuju kesana tidak macet dan antrian masuk ke Kebun Ray
Vanya mengirim screenshot percakapan grup kepada Charles. Percakapan grup istri-istri polisi yang tengah berencana untuk membentuk arisan di luar arisan yang setiap bulan rutin dilakukan, meskipun Vanya belum pernah sekalipun bergabung.Ikut aja, nanti tiap bulan aku yang transfer uang arisannya."Baik bener suami," bisiknya sambil membalas pesan Charles.Uang arisan sebanyak lima ratus ribu itu lumayan untuk Vanya, walau gajinya masih bisa menutupi tapi rasanya sedikit berat. Tapi kalau Charles sudah bilang bahwa dia yang akan membayarkannya, dengan senang hati diterimanya. Selama ini untuk masalah gaji Charles, Vanya tidak pernah mencampurinya. Ia juga tidak pernah meminta jatah pada Charles karena merasa gajinya lebih dari cukup. Sebagian gaji yang diterimanya, Vanya beri untuk Mama karena ia tahu, gaji pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk keperluan setiap bulan saja. Dan itu sudah jadi komitmennya dengan Yuda juga.***Sebelum pulang ke rum
Dengan sigap Charles menarik Vanya sebelum Vanya benar-benar terjatuh dari tempat tidur."Kamu tidur kayak main kungfu aja. Kalau gak cepet aku tarik, pasti sudah jatuh kamu," ucap Charles."Untung cuma mimpi." Vanya mengatur nafasnya. "Mimpi apa?" tanya Charles."Gak mimpi apa-apa kok.""Kalau gak mimpi apa-apa kenapa sampai mau jatuh dari tempat tidur?" Charles tetap ngotot bertanya. Penasaran."Bukan apa-apa," jawabnya sambil berbalik membelakangi Charles. Mencoba untuk tidur lagi, karena jam baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam."Atau jangan-jangan kamu mimpiin aku ya," goda Charles sambil mencolek telinga Vanya."Enggak. Pede banget sih kamu," ucap Vanya seraya memuk pelan tangan Charles."Terus mimpi apa? Mimpi hamil ya?" tebak Charles."Enggak, enggak, enggak." Dengan cepat Vanya membantah."Jadiin kenyataan aja mimpi kamu yuk." Perkataan Charles membuat Vanya bergid