Melipat kertas setorannya, Vanya tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada petugas teller karena transaksi sudah selesai. Bukan main kagetnya ia saat berbalik dan melihat Charles sudah berada di belakangnya dengan membawa tas besar.
"Eh, kamu,” ucap Vanya canggung beralih sedikit ke samping membiarkan Charles maju ke loket teller dan meletakan tas besarnya. "Kita perlu bicara," ucap Charles datar dengan lirikan mata tajam. Bingung harus bersikap seperti apa, Vanya memilih untuk duduk di kursi nasabah sambil menunggu Charles selesai. Tak perlu waktu lama pria itu kembali dan duduk disamping Vanya. Tanpa basa basi Charles mengatakan hal yang membuat mulut rasanya sulit untuk terbuka. "Omanya Charlos pasti sudah bilang sama kamu kan?” Charles menatap Vanya sejenak kemudian mengalihkan pandangannya. Vanya mengangguk kepala sambil memainkan kuku jari tangannya. "Jadi aku mau mencoba dulu, ini semua demi Charlos." Vanya menganggukan kepalanya lagi. Dia seperti terhipnotis dengan ucapan Charles, sehingga terus menganggukan kepala menjawab setiap pertanyaan Charles. Mulutnya tak berdaya untuk mengeluarkan sepatah katapun. "Oke aku pergi dulu." Charles beranjak dan pergi meninggalkan Vanya. “Mencoba dulu? Mencoba seperti apa maksudnya? Demi Charlos,” batin Vanya mulai meresapi setiap ucapan pria tadi. Seseorang menepuk pundak Vanya. "Eh, kamu kenal sama dia?" tanya Reni, petugas layanan prioritas. "Siapa? Charles?" "Iya, Charles. Dia kan anak Tante Erin, nasabah prioritas kita." Vanya hanya tersenyum kecil mendengarkan ucapan Reni. "Kamu ada hubungan apa sama dia?" selidik Reni. Vanya menggelengkan kepala. Sepertinya ia tidak perlu menjelaskan apa yang sedang terjadi pada Reni. Ia sendiri juga bingung dengan situasi yang sedang dihadapinya. *** Sore sepulang kantor, Vanya dan teman-teman satu ruangan kantornya berencana hendak pergi makan-makan di restoran pizza. Awal bulan seperti ini pekerjaan mereka belum terlalu banyak, jadi bisa pulang tepat waktu. Karena Vanya satu-satunya perempuan di antara mereka, alhasil dia duduk di depan di samping supir. Sepuluh menit perjalanan yang sebenarnya hampir sampai di tujuan, mendadak terhenti karena di depan jalan yang mereka lalui sedang berlangsung pemeriksaan kelengkapan surat kendaraan bermotor. Mobil berjalan lambat menunggu giliran pemeriksaan. Bersandar di kaca jendela sambil menatap lurus ke depan, Vanya kaget saat ada seorang polisi mengetuk kaca jendelanya. Dia membuka kaca jendelanya dan melihat nama di baju seragamnya. “Aduh, ini orang mau ngapain ya,” batin Vanya. Indra langsung mengeluarkan sim dan stnk mobil untuk diperiksa. Pria itu mengambilnya, melihat kelengkapan sim dan stnk itu sebentar kemudian mengembalikannya. "Kita perlu bicara," ucap Charles datar sambil melirik ke dalam mobil yang isinya laki-laki semua. Vanya menghela nafas, mengambil tasnya dan pamit. Meski heran, Pak Irwan tidak mau mencampuri urusan Vanya. "Dijemput gak, Van? Biar kami di drop aja di depan?" tanya Pak Irwan unit head Vanya. "Gak usah, Pak. Nanti jalan kaki aja, kan dekat. Lagian kalau dijemput putar baliknya jauh," ucap Vanya lagi. Mobil yang dikendarai Indra melaju meninggalkannya. Gadis itu berjalan melewati beberapa polisi yang tengah melakukan pemeriksaaan dan akhirnya tiba di depan Charles yang tengah menatapnya tajam dengan tangan menyilang. "Kenapa isi mobilnya laki-laki semua?" Pertanyaan aneh terlontar dari mulut Charles yang membuat Vanya menjelaskan dimana unit kerjanya sekarang. Ia benar-benar merasa aneh dengan sikap Charles yang seperti itu. Seolah-olah salah kalau ia bergaul dengan lawan jenis. "Ada masalah ya?" tanya Tere, polisi wanita yang memandang jutek pada Vanya saat dia mau ambil setoran tempo lalu di kantor Charles. Tak nyaman dengan kedatangan Tere, Vanya bergegas meninggalkan tempat itu menyusul Pak Irwan. Jujur saja Vanya masih bingung dengan sikap Charles barusan. Namun tak bisa dipungkiri bahwa ada rasa bahagia di dalam hatinya, karena merasa diperhatikan oleh lawan jenis. "Siapa sih dia, Bang?" tanya Tere lagi. "Gak apa-apa," jawab Charles tak nyambung sambil berlalu meninggalkan Tere. Tidak ikut rombongan balik ke kantor, ternyata Charles menunggu Vanya di parkiran restoran pizza. Begitu melihat Vanya keluar restoran, Charles langsung menghubungi Erin minta tolong disampaikan bahwa ia yang akan mengantarnya pulang. Baru saja Vanya membuka pintu mobil, handphonenya berdering. Gadis itu memberitahukan kalau ia akan dijemput pulang oleh temannya. Dengan mobilnya Charles langsung menghampiri Vanya dan meminta gadis itu untuk masuk. Sepanjang perjalanan tidak ada percakapan antara mereka berdua. Vanya sendiri bingung akan dibawa kemana karena jalan yang mereka lalui bukanlah jalan menuju rumahnya. "Ini sudah terlalu jauh kalau kamu memang berniat mau mengantar aku pulang ke rumah," ucap Vanya yang tak menerima respon dari Charles. "Kalau gitu, tolong kamu turunin aku di depan sana, biar aku pulang sendiri saja," ucap Vanya lagi yang tetap tidak direspon oleh Charles. Rasa bahagia yang tadi ia rasakan seketika sirna melihat sikap Charles seperti ini. Apalagi saat mobil yang mereka kendarai tiba-tiba berhenti di tempat sepi. Takut Charles akan macam-macam padanya, gadis itu cepat melepaskan sabuk pengamannya dan bersiap untuk turun. "Mau kemana kamu?" Charles menoleh heran pada Vanya yang sudah keluar dari dalam mobil. "Pulang lah! Dari tadi jalan, tapi tujuannya gak jelas gini!” seru Vanya kesal dengan nafas naik turun menahan emosi. "Masuk gak kamu," ucap Charles tegas dengan mata melotot. Vanya menunggu beberapa detik kemudian masuk lantas sedikit membanting pintu. "Kamu maunya apa?" ucap mereka berdua bersamaan. "Harusnya aku yang bertanya seperti itu sama kamu. Kamu maunya apa? Bilang mau nganter pulang tapi sudah jauh gini, arah tujuannya juga gak jelas. Kamu ada niat jahat sama aku ya?" Vanya emosi menatap Charles. Matanya nanar, nyaris air matanya jatuh. Ia tidak tahu dan tidak mengerti apa yang sedang Charles lakukan saat ini. Sikapnya tidak bisa ditebak. Begitu emosinya Vanya, hingga deru nafasnya bisa Charles dengar dengan jelas. Melirik Vanya yang mulai sedikit tenang, pria itu berpaling dan mendekatkan diri ke arah gadis yang duduk di kursi sampingnya itu. Semakin dekat sehingga membuat Vanya menutup mata dan menundukkan wajahnya. “Apa yang kamu pikirkan, Vanya?” rutuk Vanya dalam hati mengira Charles akan menciumnya. Nyata pria itu hanya memasangkan sabuk pengaman.Pagi ini Vanya dan Charles dengan membawa Charlos, mereka pergi nyekar ke makam Kirana. Ini adalah kali pertama bagi Charlos pergi bersama Vanya dan papanya, dan juga kali pertama buat Charlos ke makam ibunya. Dengan mengenakan kaos biru dan celana jeans hitam, Charlos tampak serasi dengan Vanya dan juga Charles yang sama-sama mengenakan baju berwarna biru. Walau ini hanya kebetulan. "Ayuk kita turun. Charlos Tante gendong ya." Vanya keluar dari mobil yang pintunya telah di bukakan oleh Charles terlebih dulu. Cuaca sangat cerah saat ini. Sinar matahari mengintip dari balik daun-daun di pohon yang berbaris di sepanjang jalan makam. Charles langsung meletakkan seikat bunga di atas makam Kirana. Seperti biasa, ia berjongkok dan mengelus-elus nisan Kirana. "Charlos, ini makam ibunya Charlos ya. Sekarang ibunya Charlos sudah ada di surga. Walau Charlos gak pernah ketemu, tapi ibunya Charlos itu sayang banget sama Charlos." Vanya setengah berbisik di telinga Charlos. Vanya kemudian me
Sabtu yang bertepatan dengan akhir bulan, seperti biasa, Vanya pasti lembur di kantor. Sebenarnya, kalau pagi ini Vanya gak ada kegiatan di kantor, Charles ingin mengajaknya mencarinya cincin pernikahan. Selesai membalas pesan dari Charles, Vanya kemudian asyik dengan komputer, tangannya lincah memainkan mouse berwarna hitam, mencari lalu membaca beberapa artikel parenting sebagai tambahan ilmu untuk diterapkannya saat mengasuh Charlos nanti. Walau pasti nantinya, Erin akan tetap lebih dominan dalam mengasuh Charlos. Tapi paling sedikit banyak ia sudah memiliki ilmu parenting. "Mbak, ini ada yang nungguin di pos satpam. Tinggi gagah, Mbak," ucap pak satpam saat Vanya mengangkat gagang telepon. "Siapa ya? Wisnu?" Gumam Vanya. Di ujung telpon terdengar pak satpam menanyakan pada orang tersebut. Sayup-sayup Vanya mendengar orang tersebut menyebutkan namanya dengan nada sedikit keras. Buru-buru Vanya menutup telpon, mematikan komputernya, dan pamit pulang duluan dengan Pak Irwan. "A
Di kantor, Vanya baru saja selesai menghadap pimpinan kantor cabangnya, perihal pengajuan cuti nikahnya. Begitu ia membuka pintu, di depan sudah berdiri Bu Nita."Eh, Pagi Bu," sapa Vanya."Pagi," sahut Bu Nita sambil melirik kertas yang dipegang Vanya di tangan kirinya. "Mau cuti ya.""Iya, Bu," jawab Vanya lagi dengan senyum ditahan lantas berlalu dari hadapan Bu Nita dan menuju ruangan Weni untuk memberikan pengajuan cutinya yang sudah disetujui oleh atasan."Semoga lancar sampai hari H ya," ucap Weni sambil menerima kertas dari Vanya."Amin. Makasih ya, Wen. Aku ke atas dulu ya." Vanya beranjak dari ruangan Weni dan menuju lantai tiga.***Di ruang prioritas, Erin dan Frans datang dan dilayani oleh Reni. Tampak wajah Erin menunjukkan ketidaksukaan pada Reni mengingat cerita yang didengarnya dari Vanya tempo lalu."Diminum, Om, Tante," ucap Reni saat seorang laki-laki berseragam biru meletakkan dua cangkir teh."Iya. Makasih," jawab Erin datar.
Mama masuk ke kamar Vanya dan melihat anak gadisnya itu meringkuk di dalam selimut. Ia lantas berjalan mendekat dan mengecek keadaan Vanya karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi."Kamu demam, Sayang?" Mama meletakkan telapak tangannya di kening Vanya.Vanya mengangguk pelan sambil memijat pelan keningnya.Satu jam kemudian Mama kembali mengecek keadaan Vanya, tapi masih sama. Anak gadisnya itu masih demam. Membiarkan pintu kamar Vanya tetap terbuka, ia kemudian membawa semangkuk bubur. Meraih handphonenya, Mama menghubungi Erin untuk memberitahu bahwa Vanya sedang sakit. Tak tinggal diam, begitu selesai menerima telepon, Erin mengajak Sandra juga Charlos menuju rumah Vanya. "Habiskan buburnya dong, Van!" seru Mama saat melihat semangkuk bubur yang dibawanya tadi masih bersisa setengah."Pahit, Ma. Gak enak.""Biasanya kalau Mama masak bubur, kamu pasti minta tambah." Mama menyuapkan bubur itu dengan paksa. "Sudah mau berumah tangga, mau ngurus anak juga, makan aja masih
Hari ini Vanya mengajukan ijin satu hari untuk mengurus syarat-syarat dan kelengkapan berkas pernikahannya. Setelah mendapatkan surat kesehatan, mereka lanjut ke studio foto. Iseng sang fotografer menanyakan soal foto prewedding yang ditanggapi dingin oleh Charles. Melihat sikap Charles, gadis itu hanya bisa menghela nafas pelan, walau sebenarnya ia sangat ingin memiliki foto prewedding seperti orang kebanyakan. Namun keinginannya itu ia simpan sendiri saja karena tidak ingin menimbulkan harapan palsu.Akhirnya semua berkas-berkas yang diperlukan untuk dokumen kantor Charles sudah selesai."Mama, ke belakang sebentar ya," pamit Mama meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Rasa ingin tahu membawa Vanya melihat beberapa video nikah kantor di dunia maya."Emang kaya gini ya?" Vanya menunjukkan layar handphonenya pada Charles."Kurang lebih kaya gitu."Vanya kemudian terlihat serius menonton video itu sampai selesai. Ia mulai mempersiapkan jawaban yang mungkin akan ditanyakan nanti."Ka
Vanya akhirnya berkata jujur saat Reni terus bertanya mengenai hubungan dengan Charles. Tidak mungkin ia terus menutupi hal ini karena lambat laun Reni juga pasti tahu. Raut wajahnya langsung berubah mendengar jawab Vanya. Sepanjang penerbangan mereka juga tidak saling bicara hingga tiba di hotel tempat mereka menginap. Entah siapa yang sudah mengatur, Vanya malah satu kamar dengan Reni. Meletakkan kopernya di dekat kasur, Vanya lantas masuk ke dalam kamar mandi setelah Reni keluar.“Aku mau keluar, kamu mau nitip makan?” tanya Reni pada Vanya yang masih berada di kamar mandi."Nggak, Ren," jawab Vanya keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajahnya.Vanya kemudian mengecek handphonenya yang sedari tadi masih dalam mode pesawat. Terlihat di layar handphonenya banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Charles. Gadis itu hanya bisa menghela nafas membaca satu per satu pesan yang Charles kirimkan. "Ya ampun!" seru Charles di ujung telepon begitu ia berhasil menghubungi Vanya. "