Meskipun tangan Vanya telah lepas dari gips, tapi Erin masih belum memperbolehkan Charlos untuk tidur bersama dengannya lagi. Dengan alasan agar tangan Vanya benar-benar pulih dulu. Kalau Charlos masih belum boleh tidur dengannya, itu artinya bertambah lagi malam-malam panjang yang dilaluinya berdua dengan Charles. Satu minggu kemarin saja sudah cukup meresahkan, apalagi kalau harus ditambah.
Ia segera naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti dirinya, sementara Charles masih di luar mengobrol dengan Frans. Otaknya terus bekerja, memikirkan sesuatu yang membuat hatinya bimbang. Ia mengambil handphonenya dan mulai mencari lagu yang cocok untuk pengantar tidur. "Nah ini aja deh," ucapnya saat menemukan video yang telah ditonton berjuta-juta kali oleh orang. Ia memperbesar volume video itu dan meletakkan handphonenya di atas meja. Benar saja, baru beberapa menit mendengarkan alunan suara dari video itu membuat Vanya akhirnya tertidur. Vanya merasa tertidur sangat lama saat terbangun di pagi itu. Ia mengangkat Charlos yang ternyata telah bangun dan bermain dengan mobil-mobilannya di dalam box. "Ayo kita jalan-jalan pagi, anak Ami sayang," ucap Vanya bersemangat. Setelah pamit dengan Erin, Vanya dan Charlos pergi jalan-jalan pagi di sekitaran komplek. Jalanan komplek yang masih sepi, menjadi tempat yang luas bagi Charlos untuk berlarian. "Pelan-pelan, Sayang," ucap Vanya pada Charlos yang telah asyik berlari-lari kecil di depannya. Menikmati langit biru pagi hari dan menghirup udara segar, membuat hati dan perasaan Vanya terasa damai. Tenteram. Tapi, itu tak dirasakannya lama, karena Charlos yang notabene ada di depannya, tiba-tiba jatuh terjerembab dan menangis sekencang-kencangnya. Vanya berlari menghampiri Charlos yang terluka di pelipisnya karena terbentur batu yang cukup besar. Darah segar mengalir deras mengalir di wajahnya. Vanya panik. Histeris. Berteriak minta tolong, namun tak ada satupun yang datang mendekat. "Hei. Hei. Kamu kenapa?" Charles mengguncang-guncang pelan pundak Vanya mencoba membangunkan Vanya dari tidurnya. "Ya ampun, untung cuma mimpi," ucap Vanya yang telah tersadar dari mimpinya. Ia mengatur nafasnya yang memburu. "Mimpi apa sih?" Vanya tak menjawab. Masih mengatur irama nafasnya. "Mimpi aku gak mungkin kan? Karena kalau kamu mimpiin aku, ekspresinya pasti kesenangan bukan ketakutan kayak tadi," ucap Charles lagi. "Mimpi apa?" tanya Charles lagi karena kunjung tak dapat jawaban dari Vanya. Vanya malah mematikan video yang tadi menemani tidurnya dan merebahkan diri lagi. “Hah, dari tadi cuman sepuluh menit aja? Perasaan aku tidur udah lama banget” gerutunya dalam hati saat melihat jam masih menunjukkan pukul sembilan lewat sepuluh malam. Charles mendekati Vanya dan memasang tampang penuh tanda tanya karena belum mengetahui mimpi apa yang menyebabkan Vanya sampai seperti itu. "Mimpi Charlos jatuh terus kepentok sama batu, sampai bikin jidatnya berdarah-darah," ucap Vanya. "Kamu sih gak nungguin aku dulu baru tidur, makanya mimpi yang aneh-aneh. Sudah mimpi kayak gitu jangan dipikirin. Kamu tidur aja, besok kan kerja." "Emang kamu gak kerja?" tanya Vanya. "Kerja dong. Kan udah seminggu cuti ngerawat Aminya Charlos," ucapnya. "Makasih ya ternyata kamu care juga." "Makasih aja nih, gak ada yang lain? Di kasih hadiah mungkin." "Hadiah apa?" tanya Vanya bingung. Charles bergeser, lebih dekat lagi dengan Vanya. Sangat dekat hingga nafas Charles terasa di wajah Vanya. "Hadiah. Hadiah kan banyak, bisa kecupan," ucap Charles seraya mendaratkan bibir tipisnya di pipi Vanya. Vanya berdehem. "Bisa pelukan." Charles melingkarkan tangannya di pinggang Vanya, membuat Vanya bergidik. "Bisa--" "Kamu tidur aja. Jangan macam-macam ya. Kamu lupa kejadian kemarin?!" Vanya mendorong Charles pelan dengan tangan kirinya. "Kamu masih ingat aja. Kan itu udah lama." Protes Charles yang masih tetep kekeh memepet Vanya. "Iya menurut kamu udah lama, tapi masih membekas di sini," ucap Vanya sambil menunjuk pada hatinya. Charles terdiam. Kalau sudah menyangkut hati dan perasaan Vanya, ia menjadi takut. Takut salah dan membuatnya sakit lagi. "Tapi kan aku sudah minta maaf," ucap Charles melemah. Ia merapatkan diri pada Vanya yang telah memunggunginya. "Betul kamu sudah minta maaf, tapi apa kamu berani jamin gak bakal kayak gitu lagi?" Charles kembali terdiam, namun tak pada tangannya. "Aminya Charlos," panggil Charles. "Apa? Kamu ngapain?" Vanya menepis tangan Charles yang telah bermain di pusarnya. "Aminya Charlos," panggilnya lagi. Kini tangannya mulai menjelajah di balik pakaian tidur Vanya. Vanya menarik nafas panjang. Takut, cemas, deg-deg an, semua rasa itu bercampur jadi satu. Charles menarik pelan bahu Vanya. Melihat wajah Charles yang tampak sangat menggoda dan penuh pesona saat ini, membuat Vanya seperti terhipnotis. Ia tak kuasa menolak saat Charles mulai melepas kancing yang terpasang di baju tidurnya. Charles tersenyum seraya mendekatkan wajahnya pada wajah Vanya sementara tangannya bergerilya menjelajah mulai dari pundak dan berhenti di bagian tengah. Menggelitik yang membuat mata Vanya terpejam. Ia kembali tersenyum saat menatap ekspresi yang diperlihatkan Vanya tampak menikmati apa yang Charles lakukan. Jari-jari tangan Charles menari di atas perut ramping Vanya sementara hidungnya menghirup aroma tubuh Vanya. “Astaga”gumam Vanya yang kesadarannya mulai kembali. Ia berusaha untuk menepis Charles, tapi Charles tetap tak menggubrisnya. Ia melanjutkan aksinya pada dua hal di balik kain berwarna hitam yang membuat Charles menjadi tidak terkendali. Satu tangannya mulai menyusup sedang tangan lainnya menggenggam tangan kiri Vanya. Mengunci Vanya agar tak melakukan perlawanan. Untuk sesaat Vanya merasa seperti terbang akibat ulah nakal Bapaknya Charlos itu. "Please. Stop," ucap Vanya yang sebenarnya masih ingin tapi tak ingin. Tok tok tok "Vanya, Charles, kalian sudah tidur belum?" suara Erin dari balik pintu mengagetkan Vanya, tapi tidak dengan Charles. "Ami …. Ami …." Charlos mulai merengek. Kali ini Charles tersadar, setelah mendengar sayup-sayup suara anaknya, Charlos. "Urg…" rutuknya kesal sambil membenahi pakaian Vanya yang sudah berantakan. Ia kemudian merapikan diri dan membuka pintu. "Charlos gak mau tidur. Mau sama Aminya," ucap Erin saat pintu terbuka. "Gak apa-apa," sahut Vanya dari balik badan Charles. Charlos terlihat girang saat melihat Vanya. "Maaf Mama jadi ganggu kalian tidur ya," ujar Erin seraya memberikan Charlos pada gendongan Charles. Mereka kembali tidur dengan Charlos berada di antara mereka berdua. Vanya hanya menepuk-nepuk bokong Charlos, sesekali mengelus-elus punggungnya dan Charlos pun tertidur dengan pulas. "Kamu sengaja ya, nyuruh Charlos kaya tadi." "Nyuruh gimana? Anak kecil kaya dia mana ngerti apa-apa." Charles mengacak-acak rambutnya. Pusing. Frustasi lagi. "Lain kali kamu harus tanggung jawab!" seru Charles sembari bersembunyi di balik selimut. Vanya mesem-mesem tersenyum. Dalam hati berterima kasih karena lolos dari jeratan maut Charles nan menggoda itu.Meskipun tangan Vanya telah lepas dari gips, tapi Erin masih belum memperbolehkan Charlos untuk tidur bersama dengannya lagi. Dengan alasan agar tangan Vanya benar-benar pulih dulu. Kalau Charlos masih belum boleh tidur dengannya, itu artinya bertambah lagi malam-malam panjang yang dilaluinya berdua dengan Charles. Satu minggu kemarin saja sudah cukup meresahkan, apalagi kalau harus ditambah.Ia segera naik ke atas tempat tidur dan menyelimuti dirinya, sementara Charles masih di luar mengobrol dengan Frans. Otaknya terus bekerja, memikirkan sesuatu yang membuat hatinya bimbang. Ia mengambil handphonenya dan mulai mencari lagu yang cocok untuk pengantar tidur."Nah ini aja deh," ucapnya saat menemukan video yang telah ditonton berjuta-juta kali oleh orang. Ia memperbesar volume video itu dan meletakkan handphonenya di atas meja. Benar saja, baru beberapa menit mendengarkan alunan suara dari video itu membuat Vanya akhirnya tertidur. Vanya merasa tertidur sangat lama saat
Hari ini tepat satu minggu tangan Vanya di gips dan harus di cek kembali. Jam masih menunjukkan pukul tiga sore, tapi jalan sudah mulai padat merayap. Setibanya di rumah sakit mereka langsung menuju tempat praktek dokter ortopedi. Vanya duduk di ruang tunggu, sementara Charles melakukan daftar ulang pada admin yang bertugas."Dua pasien lagi katanya." Charles duduk di samping Vanya. Ia mengambil handphone dari sakunya dan membaca beberapa pesan yang masuk di aplikasi whatsappnya.Sambil menunggu antrian, Vanya membuka aplikasi sosial medianya. Matanya tertegun pada satu video yang diunggah teman sekolah menengah atasnya dulu. Sebuah video yang menceritakan tentang seorang anak yang kesepian karena ditinggal kedua orang tuanya bekerja dan ia dititip pada pengasuh yang tak sepenuhnya memberi perhatian padanya. Di akhir video, Vanya hampir meneteskan air mata karena akhirnya tragis. Dimana anak itu kehilangan penglihatan karena ditabrak oleh kendaraan yang lewat saat berma
Hari keempat dengan kondisi yang masih sama, tangan yang belum bebas untuk digerakkan. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah kepulangan Mama yang untuk kali kedua menjenguknya. Rasanya ingin ikut pulang saja dengan Mama, tak rela berpisah."Ami, bil ini bilnya," ucap Charlos sambil membawa mobil-mobilan dan ingin duduk dipangkuan Vanya."Maaf ya anak Ami sayang, Ami belum bisa gendong-gendong Charlos dulu. Kita main di bawah aja ya," ujar Vanya sambil beralih duduk dari atas kursi menjadi duduk di lantai bersama Charlos.Baru beberapa saat menemani Charlos bermain, handphone yang diletakkannya di atas meja berbunyi."Iya, Bang," sahut Vanya. "Kamu kenapa gak ngasih tahu Abang kalau lagi sakit?”"Vanya gak apa-apa, Bang.""Gapapa gimana, kalau tangan sampai di gips," ucap Yuda dibalik telepon dengan sedikit amarah."Kamu di KDRT sama Charles?" tanya Yuda lagi."Ih Abang mulutnya sembarangan deh. Vanya itu jatuh."Yuda menghela nafas sembari mendoakan agar adiknya itu cepat sembuh.
Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m