Hari keempat dengan kondisi yang masih sama, tangan yang belum bebas untuk digerakkan. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah kepulangan Mama yang untuk kali kedua menjenguknya. Rasanya ingin ikut pulang saja dengan Mama, tak rela berpisah.
"Ami, bil ini bilnya," ucap Charlos sambil membawa mobil-mobilan dan ingin duduk dipangkuan Vanya. "Maaf ya anak Ami sayang, Ami belum bisa gendong-gendong Charlos dulu. Kita main di bawah aja ya," ujar Vanya sambil beralih duduk dari atas kursi menjadi duduk di lantai bersama Charlos. Baru beberapa saat menemani Charlos bermain, handphone yang diletakkannya di atas meja berbunyi. "Iya, Bang," sahut Vanya. "Kamu kenapa gak ngasih tahu Abang kalau lagi sakit?” "Vanya gak apa-apa, Bang." "Gapapa gimana, kalau tangan sampai di gips," ucap Yuda dibalik telepon dengan sedikit amarah. "Kamu di KDRT sama Charles?" tanya Yuda lagi. "Ih Abang mulutnya sembarangan deh. Vanya itu jatuh." Yuda menghela nafas sembari mendoakan agar adiknya itu cepat sembuh. Charles yang berada tak jauh dari sana, mendengar percakapan Vanya di telepon. Sejak kemarin ia ingin menanyakan kenapa tangan Vanya sampai retak seperti itu, tapi selalu diurungkannya karena Vanya yang tampak tak bersemangat. “Demi Charlos dia sampai mau ngorbanin diri kayak gitu. Kurang beruntung apalagi sih kamu Charles? Masih bisa kamu nyakitin dia” guman Charles dalam hati sambil masuk ke dalam kamar. Ada rasa menyesal di dalam hatinya, karena cukup sering membuat Vanya sakit hati. Dan bodohnya dia agak susah mengungkapkan permintaan maaf secara langsung. *** "Iih, tutup mata gak?" Pinta Vanya sebelum membuka handuk yang dikenakannya. "Masa iya ngintip gak boleh, pelit amat," goda Charles. Ia berusaha mencairkan suasana hati Vanya, tapi malah mendapat tatapan tajam dari istrinya. "Kamu ya, kalau keadaannya gak kaya gini, rasanya pengen--" "Rasanya pengen nyium aku ya." Goda Charles lagi sambil mencondongkan wajahnya ke depan bibir Vanya. "Cepet sudah, aku lapar mau makan." Vanya merengut. "Iya, Ibu Ratu." Charles menutup matanya dan memasangkan, apalagi kalau bukan pakaian dalam Vanya. Mereka kemudian keluar dari kamar dan menuju ruang makan. Charles menarikkan kursi untuk Vanya dan menanyakan ia mau makan apa, karena di meja makan tersedia beberapa menu makan. Diperlakukan seperti itu oleh Charles di depan keluarganya seperti ini membuatnya sangat tak nyaman. Malu. "Makan yang banyak Vanya, biar cepat pulih," ucap Frans. "Iya, Pa," sahut Vanya l. "Abang romantis banget sih, sepiring berdua," ucap Sandra yang mengundang gelak tawa yang lain. Charles melirik tajam pada Sandra. Erin mengulum senyum melihat tingkah putra sulungnya itu. Semenjak bersama dengan Vanya, Erin banyak melihat perubahan sikap Charles. Ia lebih banyak meluangkan waktu untuk keluarga di sela-sela kesibukan tugasnya. Terkadang ia tanpa sengaja juga menunjukkan rasa sayangnya di depan umum, seperti sekarang. Setelah mencium kening Charlos dan pamit tidur, Vanya dan Charles masuk ke kamar untuk istirahat. "Obatnya diminum dulu," ucap Charles sambil membukakan beberapa strip obat kemudian memberikannya kepada Vanya. Vanya berbaring dan menarik selimut mencoba untuk tidur. Baru saja ingin memejamkan mata, ia merasa sakit di tangannya yang digips. Ia mengatur napas mencoba tidak panik. Sambil berharap sakitnya bisa segera hilang. Ia meluruskan tangannya dan berbalik membelakangi Charles, lantas air matanya menetes menahan sakit. “Sakit banget ini ya ampun. Sakit” gumamnya dalam hati. Charles memalingkan wajahnya dari layar handphone dan menatap Vanya yang membelakanginya. "Kamu nangis?" tanya Charles saat mendengar tarikan nafas Vanya. Ia menarik pelan bahu Vanya dan melihat matanya yang telah basah oleh air mata. "Kamu kenapa?" Charles melepas handphone di tangannya dan membantu Vanya duduk. "Sakit." Isaknya sambil menunjuk tangan kanannya yang digips. "Ya sudah kita ke rumah sakit sekarang!" Vanya menggeleng sambil terus terisak. "Sudah malam kayak gini, praktek dokternya mana buka." Charles melirik jam yang hampir menunjukkan pukul sembilan malam. "Terus aku harus gimana, supaya tangan kamu gak sakit lagi?" Vanya sendiri juga bingung, tak tahu harus apa untuk mengurangi sakit di tangannya ini. Ia tak menjawab pertanyaan Charles dan memilih untuk berbaring lagi, berharap sakitnya akan hilang. "Mau aku pijat? Siapa tahu sakitnya kurang?" tanya Charles sambil menyentuh pundak Vanya sebelah kanan. Vanya mengangguk seraya duduk kembali. "Mau pake minyak kayu putih?" tawar Charles, sambil menunjukkan minyak kayu putih yang telah diambilnya dari laci meja samping tempat tidur. “Tapi harus buka baju dulu” gumamnya lagi. "Ayo, sini aku pijat." Ucapan Charles mengagetkan Vanya. Yakin Charles tidak akan macam-macam, Vanya membuka beberapa kancing bajunya hingga memperlihatkan kedua pundaknya. Menuangkan sedikit minyak kayu putih ke atas pundak Vanya, ia mulai memijatnya pelan. "Gimana? Sakitnya sudah mulai kurangkan?" tanya Charles. "Iya, sudah mulai kurang. Makasih ya, pijatan kamu enak," ucap Vanya. "Iya dong. Masih mau dipijat lagi?" "Sudah. Sudah cukup." "Yakin? Atau mau dipijat bagian lain mungkin?" Charles mulai menggoda. Vanya memalingkan wajahnya, melotot pada Charles. "Ya bagian lain kan banyak. Tangan, kaki, atau kepala mungkin." Kilah Charles. Ia paling bisa kalau sudah berkilah, mengalihkan pembicaraan. Vanya membetulkan bajunya. Memasang lagi kancing-kancing bajunya. "Yakin gak mau," Charles membaui leher Vanya sebelum Vanya merebahkan dirinya. "Bapaknya Charlos, tolong ya!" "Iya, Aminya Charlos," jawab Charles. Tak mau 'rugi' Charles meninggalkan lagi jejak merah di leher jenjang Vanya sembari mengucapkan selamat malam. “Awas aja ya, kalau udah sembuh, dia gak bakal bisa gini lagi” batin Vanya. Ia tak kuasa melawan Charles untuk beberapa hari ini karena kondisinya yang belum memungkinkan.Hari keempat dengan kondisi yang masih sama, tangan yang belum bebas untuk digerakkan. Ia kembali duduk di ruang tengah setelah kepulangan Mama yang untuk kali kedua menjenguknya. Rasanya ingin ikut pulang saja dengan Mama, tak rela berpisah."Ami, bil ini bilnya," ucap Charlos sambil membawa mobil-mobilan dan ingin duduk dipangkuan Vanya."Maaf ya anak Ami sayang, Ami belum bisa gendong-gendong Charlos dulu. Kita main di bawah aja ya," ujar Vanya sambil beralih duduk dari atas kursi menjadi duduk di lantai bersama Charlos.Baru beberapa saat menemani Charlos bermain, handphone yang diletakkannya di atas meja berbunyi."Iya, Bang," sahut Vanya. "Kamu kenapa gak ngasih tahu Abang kalau lagi sakit?”"Vanya gak apa-apa, Bang.""Gapapa gimana, kalau tangan sampai di gips," ucap Yuda dibalik telepon dengan sedikit amarah."Kamu di KDRT sama Charles?" tanya Yuda lagi."Ih Abang mulutnya sembarangan deh. Vanya itu jatuh."Yuda menghela nafas sembari mendoakan agar adiknya itu cepat sembuh.
Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m
Sebelum akhir pekan benar-benar berakhir, hari Minggu ini Charles mengajak jalan-jalan keluarganya. Mereka telah siap di dalam mobil, hanya tinggal menunggu Charles yang katanya sakit perut."Vanya lihat dulu ke dalam ya Ma," ucap Vanya tak telah melihat yang lain telah menunggu. Vanya keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar. Berkali-kali diketuk tak ada sahutan dari dalam. Vanya memberanikan diri membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak di kunci."Loh, kosong? Dia dimana?" Vanya bingung mendapati kamar mandi yang kosong. Ia keluar kamar dan melihat Charles berjalan dari arah dapur."Kamu ngapain dari kamar?""Kamu yang ngapain dari dapur?" tanya Vanya sambil menutup pintu kamar."Dari kamar mandi belakang, sakit perut.""Kirain kamu di kamar. Ayo cepet, sudah ditunggu," ajak Vanya.Alhasil jam setengah sembilan pagi mereka baru mulai jalan. Berharap jalanan menuju kesana tidak macet dan antrian masuk ke Kebun Ray
Vanya mengirim screenshot percakapan grup kepada Charles. Percakapan grup istri-istri polisi yang tengah berencana untuk membentuk arisan di luar arisan yang setiap bulan rutin dilakukan, meskipun Vanya belum pernah sekalipun bergabung.Ikut aja, nanti tiap bulan aku yang transfer uang arisannya."Baik bener suami," bisiknya sambil membalas pesan Charles.Uang arisan sebanyak lima ratus ribu itu lumayan untuk Vanya, walau gajinya masih bisa menutupi tapi rasanya sedikit berat. Tapi kalau Charles sudah bilang bahwa dia yang akan membayarkannya, dengan senang hati diterimanya. Selama ini untuk masalah gaji Charles, Vanya tidak pernah mencampurinya. Ia juga tidak pernah meminta jatah pada Charles karena merasa gajinya lebih dari cukup. Sebagian gaji yang diterimanya, Vanya beri untuk Mama karena ia tahu, gaji pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk keperluan setiap bulan saja. Dan itu sudah jadi komitmennya dengan Yuda juga.***Sebelum pulang ke rum