Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.
Di kantor Vanya. Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos. "Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah. "Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi. Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni anak tangga. Dengan cepat Vanya memperlebar langkah kakinya agar segera sampai ke hadapan Charlos. Ia sedikit melompat agar Charlos tak jatuh, karena kakinya yang belum pas menapak di anak tangga. "Auw …." Jeritnya. Ia menahan tubuh Charlos agar tak terjatuh dengan tangan kanan yang menumpu seluruh berat badannya. Akibatnya ia merasakan sakit yang luar biasa di tangan kanannya. Erin berlari ke depan saat menyadari Charlos hilang dari pandangannya. Ia melihat Vanya dengan posisi setengah berbaring dengan tangan yang masih menapak di dekat anak tangga. "Ya ampun, ini kenapa?" pekik Erin kaget. Membuat Sandra yang baru saja keluar dari kamar terkejut dan langsung menuju ke sumber suara. "Ami … Ami …" ucap Charlos saat Sandra menggendongnya. "Kamu gapapa?" tanya Erin sembari membantu Vanya berdiri. Vanya sedikit meringis saat menggerakan tangannya. Rasanya sangat ingin menangis saat ini, tapi sekuat tenaga di tahannya. Erin membantu Vanya berdiri sementara Vanya memegangi tangan kanannya. Di ruang tamu, Erin melihat keadaan Vanya. Wajahnya masih meringis menahan tangis dan sakit. "Gak bisa, Ma. Sakit," ucap Vanya saat Erin meminta Vanya meluruskan tangannya. Pada akhirnya, air matanya jatuh juga, meski tak terisak. "Di cek ke rumah sakit aja, Ma. Kalau ada yang retak atau patah." Usul Sandra yang langsung di iyakan oleh Erin. Membayangkan tangannya tak bisa digerakkan atau harus digips saja sudah membuat Vanya takut. Bila sampai itu terjadi, akan sangat membatasi aktivitasnya. Setelah mengambil tasnya dan beberapa perlengkapan Charlos, mereka bergegas menuju rumah sakit. Sandra memarkir mobil setibanya di rumah sakit. Ia mengambil Charlos dari gendongan Erin, dan membiarkan Erin membantu Vanya menuju ruang UGD. "Pa, kita lagi di rumah sakit," ucap Sandra di ujung telpon. "Loh, siapa yang sakit, San?" tanya Frans. Ia baru saja keluar dari kantor dan bersiap pulang. "Kak Vanya, Pa. Jatuh. Kayaknya tangannya patah deh." "Yang bener kamu?" Frans sedikit kaget. "Ya sudah, di rumah sakit mana? Biar Papa susulin," ucap Frans lagi. "Tempat Papa kemarin dirawat." Jawab Sandra seraya menutup sambungan teleponnya. Sandra menggendong Charlos saat melihat Erin keluar dari UGD. "Gimana, Ma?" "Lagi nunggu dokter ortopedinya datang," sahut Erin. "Kamu sudah hubungi Charles?" tanya Erin lagi. "Ini baru mau di hubungi, Ma. Tadi barusan kasih kabar ke Papa aja. Kata Papa, dari kantor langsung ke sini." "Ami … Ami …" panggil Charlos. "Aminya lagi istirahat, Sayang. Charlos sama Oma ya," ujar Erin sambil mengajak Charlos duduk. Tak berapa lama, Sandra menghampiri Erin juga Charlos setelah selesai menghubungi Charles. Mendengar kabar dari Sandra di telepon yang mengatakan Vanya tengah berada di rumah sakit, membuat Charles mengemudikan mobilnya lebih cepat dari biasanya. Perasaan gusar yang dirasakannya sedari tadi, ternyata kejadian Vanya ini. Ditambah, saat Sandra menyebutkan rumah sakitnya, tambah tak karuan rasa hati. Sebisa mungkin dia ingin cepat sampai di sana. *** Frans dan Erin mendampingi Vanya di ruangan praktek dokter ortopedi untuk melakukan ronsen tangan Vanya. "Saya periksa sebentar ya, Bapak, Ibu," ucap dokter itu ramah sambil berjalan menuju ruang ronsen. Jujur saja, Vanya agak sedikit takut. Takut dengan diagnosa dokter. Takut kalau dibilang patah tulang atau penyakit mengerikan lainnya. Tak perlu lama untuk mengetahui hasil dari ronsen tangan Vanya. Dokter itu membawa hasil ronsen dan siap membacakannya di depan Vanya, Frans, dan juga Erin. "Dari sini, bisa kita lihat ada retak di pergelangan tangan Ibu Vanya." Dokter itu membentuk lingkaran di hasil ronsen tangan Vanya yang mengalami retak akibat terjatuh tadi. "Trus gimana, Dok? Perlu opname gak?" "Saya rasa opname tidak perlu, Bu. Cukup kita gips saja untuk membantu menjaga kestabilan tulang yang mengalami keretakan, agar tidak bergerak. Nanti saya resep juga obat minumnya. Sementara waktu, mohon dibantu untuk aktivitas Bu Vanya ya," ucap dokter itu sambil memandang Frans dan juga Erin secara bergantian. "Baik, Dok," sahut Erin. Setelah memberi penjelasan pada Frans dan juga Erin, dokter itu permisi sebentar untuk meng gips pergelangan tangan Vanya yang retak. “Gimana nanti mau mandi, mau pipis, mau pup, kalau tangan di gips kayak gini” Vanya menatap sedih pada tangannya yang mulai dibalut, hanya menyisakan jempolnya saja yang terlihat. "Dok, ini sampai kapan baru bisa di buka?" tanya Vanya saat proses gips tangannya telah selesai. "Seminggu nanti balik kontrol lagi ya," ucap dokter itu ramah. "Saya boleh minta dibuatkan surat izin sakit, Dok?" "Boleh. Nanti sekalian saya tuliskan resep dulu ya." Dokter itu kembali ke kursinya dan mengambil buku resep dari lacinya. "Semoga cepat sembuh ya," ucap dokter itu ramah dengan senyum manis seraya bangkit berdiri. "Terimakasih ya, Dok." Frans dan Erin kompak mengucap salam. Mereka meninggalkan ruangan praktek dokter. Dari kejauhan, tampak Charles berlari ke arah Vanya dan yang lain. "Kamu gapapa?" tanya Charles cemas. Vanya hanya menunjukkan tangannya yang di gips. *** Vanya tak banyak bicara. Ia masih pusing memikirkan bagaimana dia nanti. Kalau begini, rasanya ingin pulang ke rumah Mama saja. Kalau sama Mama sendiri tak ada kata sungkan apalagi kata malu. Meskipun dekat dan menganggap Erin sebagai ibunya sendiri, tepat saja Vanya tidak enak untuk minta tolong membantunya dalam urusan pribadi. "Ayo turun." Charles membukakan pintu mobilnya untuk Vanya, dan mengulurkan tangannya siap untuk membantu Vanya. Dengan keadaan tangan seperti ini dan kekuatan yang terbatas, ia menerima juga uluran tangan dari Charles. "Vanya bisa? Mau Mama bantu?" tanya Erin sebelum Vanya dan Charles masuk ke kamar. "Nanti Charles yang bantu, Ma," jawab Vanya. "Oke, Sayang," ucap Erin seraya pergi meninggalkan mereka. Vanya terduduk lesu di depan meja riasnya. Ia mengambil pembersih make up nya, menjepitnya di ketiaknya, dan berusaha membukanya. "Sini aku bantu, daripada nanti tumpah, sayangkan." Charles mengambil botol yang terjepit di ketiak Vanya. Setelah menuangkan isi botol itu ke atas kapas, Charles mengusap pelan wajah Vanya yang masih terdapat sisa make up. "Ayo kita mandi." "Mandi? Kita? Aku bisa mandi sendiri!" Vanya masuk ke dalam kamar mandi dan menguncinya. "Pasti bisa sendiri Vanya. Jangan manja." Ia berhasil membuka seluruh pakaiannya dan menyalakan shower. Meski harus dengan susah payah menyabuni seluruh badannya. Charles stand by di dekat pintu kamar mandi sampai Vanya keluar dengan menggunakan handuk dari dalam kamar mandi. "Mau aku bantu?" "Gak usah aku bisa sendiri!" Lagi-lagi Vanya mengeraskan hati. Tak ingin membuat Vanya bertambah kesal, Charles meninggalkan Vanya dan pergi mandi. Sampai Charles keluar dari kamar mandi, Vanya masih mengenakan handuknya. Namun ia sudah berhasil memakai celana tidurnya. Sebenarnya ia bisa saja mengenakan baju tidurnya yang memiliki model kemeja itu, tapi tak mungkin ia tak memakai pakaian dalamnya. "Gak usah ngerasin hati gitu. Sini aku bantu," ucap Charles seraya meraih pakaian dalam guna menutupi area berharga bagian atas Vanya. "Kamu tutup mata aja," perintah Vanya. Charles manut saja pada perintah Aminya Charlos itu. "Ini dikait," ucap Vanya lagi. Tanpa disuruh, Charles membantu Vanya mengancing bajunya. *** Dengan disuapi Charles, Vanya akhirnya menyelesaikan makan malamnya juga. Baru saja ingin mengajak Charlos tidur di kamar, kali ini Erin meminta agar Charlos tidur bersamanya dulu. Vanya tak bisa menolak permintaan Erin itu. Dengan langkah gontai ia berjalan masuk ke kamar diikuti Charles yang membawakan segelas air minum untuk Vanya minum obat. "Masih sakit?" tanya Charles. Mereka telah berada di atas tempat tidur. Tak bisa banyak bergerak dan tak bebas berpindah posisi, Vanya hanya bisa telentang dengan posisi tangan yang tak boleh banyak bergerak. "Sedikit." jawab Vanya singkat. Charles berpindah ke sisi sebelah kiri Vanya agar ia tak mengenai tangan kanan Vanya. "Tidur ya," ucap Charles sambil mengecup kening Vanya seraya menutup matanya. “Ma, aku mau sama Mama sekarang” gumam Vanya dalam hati. Ia memalingkan wajahnya, dan meneteskan air mata.Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m
Sebelum akhir pekan benar-benar berakhir, hari Minggu ini Charles mengajak jalan-jalan keluarganya. Mereka telah siap di dalam mobil, hanya tinggal menunggu Charles yang katanya sakit perut."Vanya lihat dulu ke dalam ya Ma," ucap Vanya tak telah melihat yang lain telah menunggu. Vanya keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar. Berkali-kali diketuk tak ada sahutan dari dalam. Vanya memberanikan diri membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak di kunci."Loh, kosong? Dia dimana?" Vanya bingung mendapati kamar mandi yang kosong. Ia keluar kamar dan melihat Charles berjalan dari arah dapur."Kamu ngapain dari kamar?""Kamu yang ngapain dari dapur?" tanya Vanya sambil menutup pintu kamar."Dari kamar mandi belakang, sakit perut.""Kirain kamu di kamar. Ayo cepet, sudah ditunggu," ajak Vanya.Alhasil jam setengah sembilan pagi mereka baru mulai jalan. Berharap jalanan menuju kesana tidak macet dan antrian masuk ke Kebun Ray
Vanya mengirim screenshot percakapan grup kepada Charles. Percakapan grup istri-istri polisi yang tengah berencana untuk membentuk arisan di luar arisan yang setiap bulan rutin dilakukan, meskipun Vanya belum pernah sekalipun bergabung.Ikut aja, nanti tiap bulan aku yang transfer uang arisannya."Baik bener suami," bisiknya sambil membalas pesan Charles.Uang arisan sebanyak lima ratus ribu itu lumayan untuk Vanya, walau gajinya masih bisa menutupi tapi rasanya sedikit berat. Tapi kalau Charles sudah bilang bahwa dia yang akan membayarkannya, dengan senang hati diterimanya. Selama ini untuk masalah gaji Charles, Vanya tidak pernah mencampurinya. Ia juga tidak pernah meminta jatah pada Charles karena merasa gajinya lebih dari cukup. Sebagian gaji yang diterimanya, Vanya beri untuk Mama karena ia tahu, gaji pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk keperluan setiap bulan saja. Dan itu sudah jadi komitmennya dengan Yuda juga.***Sebelum pulang ke rum
Dengan sigap Charles menarik Vanya sebelum Vanya benar-benar terjatuh dari tempat tidur."Kamu tidur kayak main kungfu aja. Kalau gak cepet aku tarik, pasti sudah jatuh kamu," ucap Charles."Untung cuma mimpi." Vanya mengatur nafasnya. "Mimpi apa?" tanya Charles."Gak mimpi apa-apa kok.""Kalau gak mimpi apa-apa kenapa sampai mau jatuh dari tempat tidur?" Charles tetap ngotot bertanya. Penasaran."Bukan apa-apa," jawabnya sambil berbalik membelakangi Charles. Mencoba untuk tidur lagi, karena jam baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam."Atau jangan-jangan kamu mimpiin aku ya," goda Charles sambil mencolek telinga Vanya."Enggak. Pede banget sih kamu," ucap Vanya seraya memuk pelan tangan Charles."Terus mimpi apa? Mimpi hamil ya?" tebak Charles."Enggak, enggak, enggak." Dengan cepat Vanya membantah."Jadiin kenyataan aja mimpi kamu yuk." Perkataan Charles membuat Vanya bergid