Kalau saja bisa menolak, Vanya sudah menolak permintaan Bu Wiwi yang memintanya dan Desi untuk ke ikut dengan Pak Tri dan tim untuk follow up perjanjian kerjasama ke Pelayanan Pajak. Kantor siapa, kalau bukan kantornya Wisnu. Mau minta izin sama Charles untuk kesana kan gak mungkin, ini urusan pekerjaannya.
Dengan diantar mobil kantor, mereka sampai di kantor itu. Bukan menuju aula, tapi menuju ruangan kepala kantor yang didalamnya telah lengkap dengan kepala bendahara dan juga Wisnu. Ia duduk agak jauh dari mereka. Berharap Wisnu tak menghampirinya. Kamu dimana? Makan siang aku jemput ya. Isi pesan Charles yang dibaca Vanya. "Udah belum sih, Des?" bisik Vanya. "Bentar, lagi tanda tangan tuh kayaknya," jawab Desi. Setelah selesai penandatangan kerjasama kedua belah pihak, mereka berfoto bersama untuk dokumentasi. "Jadi nanti, kita bakal sering ketemu dong?" ucap Wisnu. "Bisa iya bisa enggak, Bang. Kan bukan cuma Vanya staff di bagian ini. Mungkin nanti temen Vanya yang lain. Biar sekalian Bang Wisnu bisa kenalan," ucap Vanya sambil cengengesan. "Abang telat sih ya, ngedeketin kamu," ucap Wisnu. Gak tahu harus jawab apa Vanya dengan ucapan Wisnu, ia hanya senyum-senyum saja. "Tu kan, senyum-senyum, makin bikin gemes aja." “Ya ampun, sudah punya suami kenapa jadi banyak laki-laki yang menggoda sih. Kemarin sebelum merid, aku malah biasa aja, gak tertarik sama laki-laki kecuali Bapaknya Charlos” gumam Vanya dalam hati. *** Untung saja saat Charles tiba di kantor untuk menjemputnya makan siang, Vanya telah tiba di kantor. "Kamu tadi dari mana?" tanya Charles saat Vanya telah duduk di sampingnya. "Ke tempat nasabah." "Jadi, tiap hari kerjaan kamu ke tempat nasabah terus?" tanya Charles melirik Vanya kemudian kembali fokus pada setir mobilnya. "Gak juga. Kadang bisa ke instansi atau stay di kantor kerjain laporan." "Hari ini nasabahnya instansi atau orang? Nasabah yang kamu temui tadi?" Pertanyaan Charles seperti mengintrogasinya. Padahal ia tak memasang status apa-apa di sosial medianya. Charles menatap Vanya yang diam belum memberikan jawaban. "Instansi," jawabnya singkat. "Instansi apa?" Charles tetap mencecar Vanya. Vanya mengelus-elus hidungnya, ragu menjawab pertanyaan Charles. Tapi bila tak dijawabnya, ia akan terus dicecar dengan berbagai pertanyaan dari Bapaknya Charlos itu. "Tinggal bilang dari kantor pelayanan pajak apa susahnya sih? Karena tadi ketemu temen abang kamu terus ngobrol akrab, jadi kamu gak mau bilang?" "Kamu paranormal jadi bisa tahu aku ada di sana?" tanya Vanya bingung. "Kamu gak tahu, kalau kamu sudah aku pasangin GPS? Jadi aku bisa tahu kamu lagi kemana," ujar Charles. Padahal sih dia tahu dari status teman kantornya yang istrinya kerja di kantor pelayanan pajak. Dan kebetulan tadi juga berada bersama di ruangan itu. "Wah, pelanggaran nih," ucap Vanya sambil meraba pakaian dan tasnya mencari GPS yang dimaksud Charles tadi. "Pelanggaran apa?" "HAM. Hak Asasi Manusia. Itu artinya kamu membatasi kebebasan dan ruang gerak aku. Kayaknya beneran aku bakal adukan kamu atas perbuatan tidak menyenangkan!" seru Vanya. "Silahkan, aku juga bisa adukan kamu, atas tindak kekerasan dalam rumah tangga. Aku tinggal visum terus kasih bukti hasil visumnya, langsung tuh terbit surat penangkapan kamu!" "Ckckck, tega bener jadi suami mau laporin istri sendiri." "Lah kamu juga sama!" protes Charles. "Berdebat sama kamu itu gak ada habisnya," ucap Vanya cemberut. "Ayo turun, makan. Lapar." Charles turun duluan dari dalam mobil dan masuk ke rumah makan yang lumayan ramai itu. *** Baru saja tiba di rumah, Charles sudah mendapat lagi panggilan tugas negara dari atasannya. Tak mandi, ia pamit dengan orang rumah untuk kembali ke kantor. Vanya memandang Charles hingga masuk ke dalam mobil dan pergi, baru ia masuk ke dalam rumah. "Jangan sampai, jangan sampai," ucapnya seraya menggeleng-gelengkan kepala. Ia masuk ke dalam kamar dan membersihkan diri. Bersiap untuk meluangkan waktu, bermain dengan Charlos. Hingga pukul setengah sembilan Charles juga belum pulang. Frans yang tengah menonton siaran di tivi, tiba-tiba menambahkan volume suara tivi mendengarkan breaking news. Pembawa acara memberitakan adanya aksi teror ledakan bom yang terjadi di pintu gerbang masuk kantor Charles. Layar tivi menampilkan visual keadaan kantor Charles sekarang yang hancur di bagian depan. Tidak ada korban jiwa, hanya korban luka-luka akibat terkena runtuhan tembok di pos jaga depan. "Pa, kantor Charles itu," ucap Erin panik. Vanya yang tengah bermain dengan Charlos langsung memalingkan wajahnya menatap layar tivi. "Gak diangkat sama dia." "Tapi nyambung kan, Pa?" tanya Erin khawatir. "Nyambung. Tapi gak ada respon," ucap Frans sambil terus mencoba menghubungi Charles lagi. "Mama jadi khawatir dia kenapa-napa, Pa. Kita kesana aja yuk, Pa. Lihat Charles." "Gak mungkin, Ma. Pasti disana juga lagi panik," ucap Sandra. "Dia pasti baik-baik kok. Kan keterangannya gak ada korban jiwa, Ma," sahut Vanya lagi. Ia mencoba menenangkan Erin, walau sebenarnya ia juga merasakan ketakutan dan khawatir seperti Erin. Mereka masih tetap bertahan di ruang tengah meski jam telah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Iya, Pa. Charles baik-baik aja. Jangan tunggu Charles pulang ya, karena ini lagi jaga. Semua akhirnya dapat bernafas lega setelah Frans membacakan pesan yang dikirim oleh Charles. "Ma, Vanya ajak Charlos tidur ya." Pamit Vanya seraya menggendong Charlos. "Iya, Mama juga mau istirahat ini. Sesampainya di kamar, tak perlu waktu lama untuk Charlos tertidur. Karena sedari tadi dia memang sudah mengantuk. Vanya meraih handphonenya dan mengirimkan pesan pada Charles Hati-hati ya. Kemudian ia menidurkan Charlos di dalam boxnya. *** Vanya terbangun pukul setengah tiga pagi dan tak mendapati Charles di sampingnya. Ia mengambil handphonenya dan membaca pesan dari Charles. Siap Aminya Charlos. "Jaga dia selalu ya Tuhan. Amin." Doanya. Ia turun dari tempat tidur dan hendak masuk ke dalam kamar mandi, tapi diurungkannya karena mendengar suara dari dalam. “Siapa nih? Charles bukan sih” gumamnya. Ia memegang gagang pintu bersiap membukanya, namun kalah cepat. Pintu terbuka dari dalam duluan. "Kamu bangun?" tanya Charles. "Kamu sudah pulang tapi gak ada bunyinya. Bikin orang takut aja," ucap Vanya menghela nafas. "Baru juga datang," sahut Charles. Ia keluar dari kamar mandi dan membiarkan Vanya masuk. Charles merebahkan dirinya dan menatap langit-langit kamarnya. Membuang nafas dengan kasar. Terlihat jelas dia kecapekan. Sejenak ia memejam mata kemudian membukanya lagi. "Kamu baik-baik aja kan? Gak ada luka kan?" tanya Vanya seraya naik ke atas tempat tidur. "Gak ada. Cuma beberapa teman yang lagi jaga di pos, luka-luka." "Bisa-bisanya, sampai ada ledakan bom itu." "Gak tahu lah. Teroris mana lagi yang beraksi. Sudah dicuci otak mereka sampai mau melakukan hal-hal seperti itu. Meresahkan masyarakat." Charles berbalik menghadap Vanya seraya menopang kepalanya. "Ya sudah, kamu tidur aja. Masih jam segini," ucap Vanya. "Kayak kamu, meresahkan juga," ucap Charles. Ia memeluk Vanya. Merasakan hangatnya tubuh Vanya, mengembalikan seluruh energinya. “Kasihan juga dia. Sudah capek” gumam Vanya. Ia berbalik dan membalas pelukan Charles, kemudian menyesap bibir Charles lebih dulu untuk beberapa saat sebelum ia tidur. Memberikan sedikit hadiah untuk Charles yang telah lelah bekerja. Akibat ulah berani Vanya itu, Charles merasakan getaran kecil di hatinya.Setelah melalui perdebatan batin, Vanya mantap mengajukan surat resign nya. Beberapa temannya sangat menyayangkan keputusan resign Vanya, tapi tak sedikit yang ingin mengikuti jejak Vanya."Tapi nanti kalau sudah beneran resign, dana di tabungan jangan dipindah ya, kalau bisa sih ditambahin," ucap Bu Wiwi.Vanya hanya tersenyum.Beneran resign?Isi pesan Yuda. "Iya, Bang." Vanya langsung menghubungi Yuda. "Udah yakin?" tanya Yuda di seberang sana."Iya, Bang. Supaya fokus bisa urus Charlos. Kasihan dia, kalau Vanya kerja.""Kalau keputusan kamu seperti itu, Abang cuma bisa dukung aja. Semoga kedepannya kamu semakin bahagia dan ngasih Charlos, Rafa, dan Rafi teman main baru.""Apaan sih, Bang.""Kalian udah mau dua tahun lo," ucap Yuda. "Iya, iya, iya. Vanya tutup dulu ya. Dadah." Vanya mematikan sambungan teleponnya.***Vanya baru saja selesai membersihkan diri sepulang kerja. Ia menemui Erin juga Charles di ruang tengah.
Vanya menekan pesan suara yang dikirimkan Charles.Ayo pulang Aminya Charlos.Teman-temannya menoleh pada Vanya."Aku duluan pulang ya. Des, minta tolong matiin komputer aku ya," ucap Vanya. Ia mengambil handphonenya, cepat-cepat meninggalkan ruangan sebelum ditanya macam-macam sama mereka. Mereka pasti dengan jelas mendengar isi pesan suara yang dikirim Charles tadi. Menyebutkan nama Charlos. Karena ia sendiri pun baru tahu kalau Charlos memiliki rekening di bank tempatnya bekerja.“Siapa yang ngirim uang sebanyak itu ya? Cuma dua aja nih, kalau bukan Charles pasti Omanya nih” hatinya bertanya-tanya sepanjang jalan menuju mobil Charles.Begitu masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt ia langsung menanyakan perihal kiriman uang itu."1,5 M?" ulang Charles. Memastikan ia tidak salah dengar."Iya. Masuk di rekening tabungan Charlos," ucap Vanya."Kamukan sudah lihat saldo di rekening aku, belum nyampe
Vanya membawakan sekotak martabak ke rumah Mama sepulang kerja. Mama yang sedang santai menyiram tanaman di halaman, tersenyum senang saat melihat Vanya datang dan memeluknya."Baru pulang kerja?""Iya, Ma. Naik taksi online langsung ke sini." Vanya membawa masuk martabak yang dibelinya tadi."Mertua kamu apa kabar?" tanya Mama sembari duduk di ruang tamu."Baik, Ma." Vanya menatap Mama lekat, mengumpulkan keberanian untuk bertanya."Ma, rasanya gak kerja itu gimana sih? Seharian ngurus pekerjaan rumah," ujar Vanya. Tangannya mencomot, menikmati martabak yang dibawanya.Kening Mama berkerut."Tumben kamu nanya kaya gitu? Ada masalah di kerjaan atau masalah di rumah?" selidik Mama. Pertanyaan Vanya bertolak belakang dengan mantapnya hati Vanya yang akan tetap bekerja meskipun telah berkeluarga."Masalah sih gak ada, Ma. Cuma--" Vanya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana reaksi Mama bila mendengar omongan Vanya. Kedua bola mata Mama menatap anak bungsu
Kalau saja bisa menolak, Vanya sudah menolak permintaan Bu Wiwi yang memintanya dan Desi untuk ke ikut dengan Pak Tri dan tim untuk follow up perjanjian kerjasama ke Pelayanan Pajak. Kantor siapa, kalau bukan kantornya Wisnu. Mau minta izin sama Charles untuk kesana kan gak mungkin, ini urusan pekerjaannya.Dengan diantar mobil kantor, mereka sampai di kantor itu. Bukan menuju aula, tapi menuju ruangan kepala kantor yang didalamnya telah lengkap dengan kepala bendahara dan juga Wisnu. Ia duduk agak jauh dari mereka. Berharap Wisnu tak menghampirinya.Kamu dimana? Makan siang aku jemput ya.Isi pesan Charles yang dibaca Vanya."Udah belum sih, Des?" bisik Vanya."Bentar, lagi tanda tangan tuh kayaknya," jawab Desi.Setelah selesai penandatangan kerjasama kedua belah pihak, mereka berfoto bersama untuk dokumentasi."Jadi nanti, kita bakal sering ketemu dong?" ucap Wisnu."Bisa iya bisa enggak, Bang. Kan bukan cuma Vanya staff di bagian ini. Mu
Sandra akhirnya resmi resign dari kantornya. Setelah menerima amplop gaji, ia langsung menyerahkan surat pengunduran dirinya. Saat ditanya HRD, alasan resignnya, ingin rasanya ia menjawab bahwa ia malas kerja dibawah pimpinan yang killer macam bosnya itu. Tapi demi menjaga silaturahmi, ia tak melakukan hal itu. Ia hanya menjawab ingin fokus pada keluarga."Onty Sandra datang," pekiknya sumringah."Cepet banget kamu pulang, baru juga jam berapa ini," ucap Erin.Sembari duduk di sofa dan melepas blazernya, Sandra meletakkan amplop putih di meja kerja Frans."Kan Sandra udah resign." Keluar dari tempat kerja itu membuat beban Sandra lepas. Kemarin-kemarin rasanya untuk berangkat kerja sangat berat buat Sandra, memikirkan bakal ketemu bos killer di kantor, terus ketemu satu karyawan nyebelin itu, membuatnya pusing. Tapi setelah resign dari tempat itu, rasanya plong, gak ada beban apapun."Gaji kamu?" tanya Erin yang dibalas dengan anggukan kepala Sandra."Simpan
Mobil kantor berhenti di depan salah satu deretan ruko tingkat dua. Bu Wiwi mengajak Vanya masuk ke dalam salah satu ruko yang bernuansa putih dengan banyak hiasan gula-gula dan kue yang menggantung di atasnya."Bikin ngiler ya, Bu," ucap Vanya saat melihat deretan kue yang terpajang di etalase."Iya. Kamu harus coba nanti kuenya," sahut Bu Wiwi.Mereka disambut oleh seorang wanita paruh baya seumuran Bu Wiwi dan di persilahkan duduk."Biasanya sama Desi atau gak Winda, Bu? Ucapnya saat Vanya dan Bu Wiwi duduk."Mereka lagi ke tempat nasabah yang lain, Bu. Biasa bagi tugas," jawab Bu Wiwi.Tak berapa lama, seseorang mengantarkan beberapa potong kue dan minuman kemudian menyajikannya di meja."Silahkan sambil di makan," ucap nasabah itu ramah."Enak, Bu," jawab Vanya saat ditanya soal rasa kue yang baru saja dimakannya.Vanya kemudian mengeluarkan beberapa berkas untuk perpanjangan deposito nasabah Bu Wi