Vanya membawakan sekotak martabak ke rumah Mama sepulang kerja. Mama yang sedang santai menyiram tanaman di halaman, tersenyum senang saat melihat Vanya datang dan memeluknya.
"Baru pulang kerja?" "Iya, Ma. Naik taksi online langsung ke sini." Vanya membawa masuk martabak yang dibelinya tadi. "Mertua kamu apa kabar?" tanya Mama sembari duduk di ruang tamu. "Baik, Ma." Vanya menatap Mama lekat, mengumpulkan keberanian untuk bertanya. "Ma, rasanya gak kerja itu gimana sih? Seharian ngurus pekerjaan rumah," ujar Vanya. Tangannya mencomot, menikmati martabak yang dibawanya. Kening Mama berkerut. "Tumben kamu nanya kaya gitu? Ada masalah di kerjaan atau masalah di rumah?" selidik Mama. Pertanyaan Vanya bertolak belakang dengan mantapnya hati Vanya yang akan tetap bekerja meskipun telah berkeluarga. "Masalah sih gak ada, Ma. Cuma--" Vanya terdiam sejenak, memikirkan bagaimana reaksi Mama bila mendengar omongan Vanya. Kedua bola mata Mama menatap anak bungsunya itu. Menantikan Vanya melanjutkan omongannya. "Cuma, akhir-akhir ini Vanya berpikir untuk berhenti bekerja. Vanya merasa sebagai ibu sambung Charlos, Vanya belum sepenuhnya memberikan kasih sayang yang dibutuhkan Charlos. Kualitas waktu dengan Charlos juga gak bagus. Vanya hanya bisa menemaninya di akhir pekan dan saat pulang kerja." Vanya menghela nafas setelah menceritakan apa yang ada di hatinya. "Sebelum menikah, Mama memang bekerja. Dan saat ketemu Papa kamu dulu, Papa memperbolehkan Mama bekerja dengan catatan, Mama harus resign saat telah memiliki anak. Di awal-awal Mama sempat membujuk Papa untuk tetap bekerja meski abang kamu sudah lahir, karena nenek kamu bisa menjaga abang kamu. Papa masih berbaik hati memperbolehkan Mama bekerja, tapi saat hamil kamu. Mama memang harus resign karena kamu yang cukup membuat Mama berjuang selama kehamilan." Vanya mendengarkan cerita Mama dengan seksama. "Kamu pasti akan sangat berat di awal-awal berhenti kerja, tapi lama kelamaan kamu juga akan terbiasa. Karena asal kamu tahu ya, kerjaan rumah itu gak ada habisnya. Apalagi masih punya balita kaya Charlos. Lebih berat kerja di rumah daripada bekerja di kantor." Mama melanjutkan ceritanya. "Kamu kan sudah tahu gimana Mama. Mama akan selalu mendukung apapun pilihan kamu, asal kamu bahagia." Senyum mengambang di bibir Mama. Wanita paruh baya yang keriputnya sudah mulai terlihat itu. "Tapi, kalau nanti Vanya resign, Vanya gak bisa kasih Mama uang jajan lagi," ucap Vanya sedih. "Ih, kamu masih mikirin uang jajan buat Mama. Yang terpenting itu kamu bahagia. Rezeki bisa datang dari mana aja, Sayang," ujar Mama. "Kamu pikirkan dulu matang-matang. Jangan sampai menyesal ya." Mama merangkul Vanya. Di balik pintu depan, Charles mendengar semua percakapan Vanya dan Mama. Ia tak bisa berkata apa-apa, mengetahui bahwa Vanya sangat sayang dengan anaknya. Sampai ia ingin berhenti dari pekerjaannya, agar bisa benar-benar memberikan kasih sayang pada Charlos. Vanya dan Mama menoleh ke arah suara yang berasal dari pintu depan. "Masuk Charles. Udah lama ya?" tanya Mama. "Nggak Ma. Baru sampai," ucapnya berbohong. Padahal ia sudah lama berada disana, mendengarkan semuanya. "Vanya bikin teh buat Charles sana," perintah Mama. Vanya manut saja, meninggalkan Charles dengan Mama. Selesai membuatkan teh dan menghidangkan untuk Charles, ia pergi ke kamar dan merebahkan diri. Melepas rindu dengan suasana kamarnya. "Mama mandi dulu ya, biar kita makan sebentar," pamit Mama sembari meninggalkan Charles. “Dia di kamar pasti nih” gumam Charles. Ia berjalan menuju kamar Vanya kemudian masuk ke dalam secara perlahan. Ingin mengagetkan Vanya, tapi yang ada Vanya sedang tertidur. Ia mengalihkan pandangan dan menuju meja belajar yang merangkap menjadi meja rias Vanya. Masih ada beberapa make up yang tersusun rapi diatas meja. Begitu juga dengan buku-buku Vanya yang masih tertumpuk rapi. Sebuah buku catatan dengan sampul gambar pohon rindang, menarik mata Charles. Ia mengambil buku itu dari tumpukan paling atas dan membukanya. Tangannya membuka lembar demi lembar dan membacanya. Melihat ciptaan Tuhan paling indah hari ini. Tak sabar menunggu bulan depan. Dia tampak gagah dengan seragamnya. Membuat aku tak ingin pulang dari sini. Ia membalik halaman selanjutnya. Membaca lebih jauh. Penasaran. Mejanya kosong. Hari pernikahan kalian. Tak ada yang salah. Hanya aku yang diam-diam menyukaimu. Tak ada keberanian mengatakannya. Semoga kalian selalu bahagia. “Ini kan tanggal pernikahan aku? Jadi selama itu dia memendam perasaannya” ucapnya tanpa suara. Sekian lama kembali bertemu lagi. Namun dari kejauhan aku melihatmu sedang mengelus perut besar wanita lain yang itu adalah istrimu. Namun hatiku sudah mulai terbiasa. Kalau saja aku menolak permintaan Mama untuk menemaninya ke rumah sakit, ini semua pasti tidak akan terjadi. Aku melihat bagaimana paniknya keluargamu saat istrimu di ruang operasi dengan kamu yang tidak ada di sana. Hingga aku jadi terbawa-bawa masuk ke dalam situasi panik itu. Memberikan sebagian darahku agar anakmu dapat bertahan dan mendengar satu kenyataan bahwa istrimu telah tiada. Melihatmu tampak kacau dengan kenyataan yang ada. Aku hanya bisa berdoa supaya kamu kuat menjalani semuanya itu. Charles berhenti sejenak kemudian mengalihkan pandangannya pada Vanya yang masih tertidur pulas. Bertemu dengan anak dan ibumu, rasanya saat itu ingin menghindar saja. Tak ingin masuk lebih jauh lagi. Berusaha membatasi diri. Tapi kenapa selalu ada kebetulan di setiap pertemuan itu. Permintaan ibumu yang membuatku takut walau sangat ingin. Takut kalau-kalau kamu tak menerima ini, meski aku tak dapat membohongi diri bahwa rasa itu masih ada di hatiku yang paling dalam. Bila saja tak sampai sejauh ini, rasanya aku ingin berhenti saja. Biar ku buang semua rasaku untuknya. Tapi itu tak mungkin. Charles menutup buku itu dan mengembalikan pada tempatnya. Hatinya rasa runtuh mengetahui isi hati Aminya Charlos yang sebenarnya. Ia berjalan menghampiri Vanya dan duduk di tepi ranjang. Dipandanginya wajah teduh wanita yang sedang tertidur itu. “Selama itu kamu menyimpan rasa untukku, sampai aku yang seperti ini pun kamu masih menerima aku. Padahal diluar sana banyak laki-laki yang mengantri untukmu” gumamnya. Ia membelai lembut rambut Vanya. Cahaya langit sore yang masuk lewat jendela kamar yang terbuka, membangkitkan suasana hangat kamar. Membuat Charles terbawa suasana. Ia menundukkan sedikit wajahnya dan menempelkan bibirnya tepat di atas bibir Vanya. Mengangkat pelan dagu Vanya agar ia lebih leluasa memberikan rasa nyaman pada Vanya. Vanya terbangun. Tersentak kaget namun pasrah dengan ulah Charles. "Vanya, Charles, ayo kita makan dulu," panggil Mama mengagetkan mereka berdua. Charles menyudahi aksinya yang baru berjalan sebentar dan langsung keluar kamar terlebih dahulu. Sementara Vanya tetap tinggal di kamar menutup jendela kamar seraya mengumpulkan nyawanya yang masih setengah sadar. *** Mereka jadi salah tingkah sejak ciuman di kamar Vanya tadi. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka berdua saat perjalanan pulang. Pun saat tiba di rumah. "Ayo kalian mandi dulu sana," perintah Erin pada anak dan menantunya itu. Di dalam kamar kikuk melanda satu sama lain. Vanya duduk di depan meja riasnya dan membersihkan make up nya, sementara Charles berdiri di sampingnya menatap pakaian di lemarinya. Ia melirik Vanya yang ternyata sedang meliriknya juga. Beberapa detik mata mereka saling bertaut, hingga Charles melangkahkan kakinya pelan tapi pasti menghampiri Vanya. Berlutut dan mencium kedua tangannya. Kemudian menarik tangan Vanya dan menuntunnya ke atas ranjang. Detak jantung mereka saling berpacu. Baru saja akan memulai aksinya, sebuah suara dari luar, membuyarkan semuanya. Tok tok tok "Ami … Ami …" suara Charlos membuat mereka terperanjat. "Aku mandi duluan," Vanya beranjak dari hadapan Charlos. "Ya ampun!!" serunya kesal. Ia mengacak-acak rambutnya dan mengepalkan tangan ke udara. "Kemarin Mama, sekarang Charlos. Sampai kapan ya Tuhan," gerutunya kesal. Vanya yang melihat ekspresi Charles hanya bisa tertawa. Ia masuk kamar mandi dan tak lupa menguncinya.Setelah melalui segala macam pertimbangan, dengan berat hari Erin akhirnya memperbolehkan Charles, Vanya, dan juga Charlos untuk pindah ke rumah sendiri. Bukan hari ini, namun masih beberapa hari lagi. Erin sengaja mengulur waktu, karena memang ia masih berat untuk melepas mereka pergi dari rumah. Setelah dari bayi ia merawat cucu pertamanya, mulai dari hanya bisa menangis, sampai sekarang sudah terus mengoceh tak bisa diam. Ia merasa sangat kehilangan. Ditambah lagi dengan Vanya, menantu yang sangat baik dan selalu bisa membuatnya senang.Ia membantu Vanya berkemas-kemas di kamar Charles. Memasukkan baju-baju Charlos ke dalam koper dan beberapa perlengkapannya ke dalam kardus."Mama sedih lo kalian pindah dari sini," ucap Erin sambil melipat baju Charlos."Vanya sebenarnya juga sedih, Ma. Sudah kerasan di sini. Walau sekarang Vanya sudah gak kerja lagi, Vanya tetap merasa happy, gak kesepian."Punya mertua dan ipar sebaik dan seramah keluarga Cha
Dengan mengendarai mobil Sandra, Vanya melajukan mobil diatas jalan yang masih basah akibat hujan yang baru saja reda."Belakangan ini Mama lihat kamu sepertinya sedang perang dingin dengan Papanya Charlos ya?""Ah enggak kok, Ma. Perasaan Mama aja kali," elak Vanya.Meski tak segalak awal-awal waktu kejadian itu, sikap Vanya memang masih sedikit berbeda dengan Charles. Erin beberapa kali memergoki Vanya yang mengacuhkan Charles."Kamu bilang aja sama Mama kalau Charles macam-macam sama kamu ya, biar Mama yang kasih pelajaran sama dia," ucap Erin."Iya, Ma." Vanya mengiyakan ucapan Erin. Walau kenyataannya, itu tidak mungkin dilakukannya. Sebisa mungkin, ia berusaha mengatasi masalahnya sendiri.Mereka tiba di kantor Frans tepat jam makan siang bersamaan dengan datangnya Charles."Kamu bawain rantang makan di kursi belakang ya," ucap Erin pada Charles sebelum masuk ke dalam kantor."Kamu masak apa?" tanya Charles pada Vanya."Gak masak. Bu Tuti ya
Sejak kejadian di luar dugaan itu, Vanya sama sekali tak ingin melihat Charles. Sebenarnya ia ingin mencoba membujuk, meluluhkan Hati Vanya lagi, tapi ia sendiri bingung harus mulai dari mana. Karena setiap bersama dengan yang lain, Vanya bersikap seperti biasa. Ia tetap melayani Charles, tapi saat mereka berdua saja, sikap Vanya langsung berubah.Sayup-sayup terdengar suara ayam berkokok, membuat Vanya terbangun. Ia duduk di tepi ranjang sambil mengucek-ngucek matanya. Matanya melirik ke arah jam di dinding yang masih menunjukkan pukul setengah lima pagi. Saat ia ingin melangkahkan kaki, ia tersandung dan jatuh menimpa Charles.“Ngapain dia tidur di dekat sini? Biasanya dia tidur agak jauh kesana” gumam Vanya seraya ingin bangun. Namun tangannya diraih oleh Charles. Tak ada kata-kata, namun Vanya dapat merasakan suhu badan Charles tidak seperti biasanya. "Cepatlah," ucap Vanya saat Charles ogah-ogahan pindah ke atas tempat tidur.“Masih judes aja” batin Charles. Ia
Pagi ini Vanya tetap bangun seperti biasa. Meski sekarang telah di rumah saja, ia tetap memperhatikan penampilannya. Memakai skincarenya dan memoles tipis bedak juga lipstiknya. Ia membuka lebar pintu lemari dan memandangi pakaian yang ada di dalam sana. Berpikir, apakah harus menyiapkan baju yang akan dipakai oleh Bapaknya Charlos untuk bekerja."Pagi-pagi sudah rapi dan wangi. Bikin malas pergi kerja deh," ucap Charles menyergap Vanya dalam pelukannya."Gimana kalau sudah di rumah sendiri ya, setiap hari mungkin aku terlambat masuk kerja." Vanya menarik nafas. Bibir Charles mengecap mulai dari telinga sampai pada leher Vanya."Ami …. Ami …." Charlos bersuara dari dalam boxnya."Charlos ini gak bisa lihat Papanya senang sedikit deh," ucap Charles melepaskan bibirnya kemudian berjalan menghampiri Charlos."Ih ketawa lagi." Charles mencium gemas pipi anaknya itu karena tertawa saat diangkat Charles."Sini Charlos sama Ami ya, Papanya mandi dulu mau kerja." Van
Setelah mendapat informasi dari sekretaris bahwa Kepala Cabang tak ada tamu dan kesibukan, pukul setengah empat, Vanya menghadap ke tempat beliau untuk pamit."Terimakasih ya, Vanya, kamu sudah banyak membantu kantor kita. Semoga setelah ini kamu semakin sukses ya," pesan Kepala Cabang sebelum Vanya keluar dari ruangan beliau."Terima kasih ya, Pak."Vanya keluar dari ruangan beliau lantas berpamitan dengan seisi kantor mulai lantai tiga. Beberapa dari mereka bahkan memberikan kenang-kenangan untuk Vanya. Membuatnya merasa senang sekaligus sedih. Beberapa orang yang berpapasan dengannya juga mengucapkan permintaan maaf bila selama bekerja ada salah kata maupun perbuatan. Ia masuk ke dalam mobil Charles dan meletakkan beberapa kenang-kenangan yang diberi tadi di kursi belakang.Ia memandang kantor yang memberikan banyak kenangan melalui kaca spion. Sampai jauh dan tak terlihat lagi, baru Vanya mengalihkan pandangannya.“Akhirnya aku benar-benar berhenti bekerja. B
Setelah melalui perdebatan batin, Vanya mantap mengajukan surat resign nya. Beberapa temannya sangat menyayangkan keputusan resign Vanya, tapi tak sedikit yang ingin mengikuti jejak Vanya."Tapi nanti kalau sudah beneran resign, dana di tabungan jangan dipindah ya, kalau bisa sih ditambahin," ucap Bu Wiwi.Vanya hanya tersenyum.Beneran resign?Isi pesan Yuda. "Iya, Bang." Vanya langsung menghubungi Yuda. "Udah yakin?" tanya Yuda di seberang sana."Iya, Bang. Supaya fokus bisa urus Charlos. Kasihan dia, kalau Vanya kerja.""Kalau keputusan kamu seperti itu, Abang cuma bisa dukung aja. Semoga kedepannya kamu semakin bahagia dan ngasih Charlos, Rafa, dan Rafi teman main baru.""Apaan sih, Bang.""Kalian udah mau dua tahun lo," ucap Yuda. "Iya, iya, iya. Vanya tutup dulu ya. Dadah." Vanya mematikan sambungan teleponnya.***Vanya baru saja selesai membersihkan diri sepulang kerja. Ia menemui Erin juga Charles di ruang tengah.