Share

Bab 9

Author: Phoenixclaa
last update Last Updated: 2025-05-16 00:07:16

Setelah sarapan kerajaan selesai, musik berganti menjadi nada petikan kecapi kuno. Sang penyair istana maju ke tengah aula, membungkuk dalam dan mengumumkan dengan lantang:

“Sebagaimana tradisi agung Azmeria, pada hari purnama, para permaisuri dari darah bangsawan akan mempersembahkan hiburan bagi Raja, Ratu, dan seluruh tamu kerajaan. Persembahan ini lambang seni, kecerdasan, dan kehalusan budi kaum wanita istana.”

Aula kembali hening saat Permaisuri Mireya, istri Pangeran Aldrik, bangkit pertama. Ia mengenakan gaun beludru hitam bertabur emas, menampilkan tarian khidmat dari wilayah selatan, gerakannya tenang dan penuh makna spiritual. Setiap gerakannya menyimbolkan perjalanan cahaya bulan menembus awan-awan perang. Para tamu mengangguk terkesima.

Lalu Permaisuri Casia melangkah anggun. Ia mempersembahkan nyanyian dari daratan Utara, dengan suara rendah dan menggema, mengisahkan kisah dewi salju yang kehilangan kekasihnya dalam perang. Suaranya merambat menyusup, menggugah para pangeran dan bangsawan muda yang pernah merasa kehilangan.

Permaisuri Riselda, yang dikenal pendiam, tampil terakhir di antara tiga. Ia mempersembahkan pertunjukan permainan catur logika, melawan ahli strategi istana. Tanpa berkata sepatah kata pun, ia mengalahkan lawannya dalam dua belas langkah. Gemuruh kagum memenuhi aula.

Setelah ketiga permaisuri tampil menawan dengan tarian dan nyanyian tradisional, Permaisuri Liora melangkah ke tengah aula.

Ia membawa gulungan tua bersulam benang emas.

“Izinkan aku membacakan puisi kuno ‘Alur Bintang Kesedihan’,” ucapnya.

“Dan Selir Elina akan mendampingi bait akhir. Jika ia sanggup,” tambahnya, senyumnya manis namun menyimpan sengatan berduri kearah Elina.

Beberapa tamu bangsawan tertawa pelan, apalagi mengetahui jika negeri Varindra asal Elina hanyalah negeri yang belum berkembang secara budaya apalagi sastra.

Liora membuka puisinya dengan suara lantang dan penuh penghayatan:

Langit menangis pada malam yang bisu,
Bintang-bintang patah tanpa suara,
Takdir berkarat dalam gulungan waktu,
Duka leluhur mengendap di dada raja.

Tepuk tangan terdengar. Aura kemenangan Liora menggantung di udara.

Semua mata berpaling ke Elina. Ia diam di tempat. Tatapannya kosong, tubuhnya tak bergerak.

Detik-detik hening terasa menyiksa.

Liora tersenyum miring. Ia menunduk pada Ratu Amaris dan berbisik cukup keras untuk didengar sebaris:

“Mohon ampun, Yang Mulia. Selir Elina ini tidak memiliki kemampuan mengeja sastra leluhur.”

Ratu Amaris hanya tersenyum tipis, matanya tidak lepas dari Elina. Beberapa permaisuri lain mulai membisikkan komentar.

Pangeran Aldrik menghela napas panjang. Pangeran Arven menyipitkan mata, mengamati Elina dengan pandangan seperti menilai lawan politik.

Dan Pangeran Raeshan yang duduk di bangku utama. Matanya tajam menusuk ke arah Elina. Ia tidak bicara, tapi jemarinya mengepal di lutut.

“Ayolah... katakan sesuatu...” bisiknya nyaris tak terdengar, penuh tekanan batin.

Lalu, perlahan, Elina mengangkat kepalanya.

Ia melangkah maju. Suaranya tak lantang, tapi jernih. Tak ada dramatisasi hanya ketulusan dan keheningan yang mengiringi tiap kata:

Namun dari reruntuhan yang disangkal,
Tumbuh jiwa yang tak lagi takut malam.
Ia tak mewarisi mahkota emas,
Tapi keberanian yang tak bisa dipadamkan.

Beberapa tamu mendongak. Rasa malu merambat pelan di antara mereka.

Liora menegang.

Elina menambahkan bait terakhir. Tak ada naskah. Ini ciptaannya sendiri.

Tak perlu darah biru untuk bersinar terang,
Cukup hati yang jujur menantang bayang.
Jika sejarah ditulis oleh para pemenang,
Biarlah aku jadi luka yang mengubah arah zaman.

Hening. Tapi bukan hening yang mencela dan meremahkan lagi. Ini hening dari rasa kagum.

Pangeran Kael meletakkan cangkir tehnya pelan. “Itu... luar biasa,” gumamnya. Pangeran Arven mengangguk nyaris tak terlihat. Pangeran Aldrik tersenyum kecil, untuk pertama kalinya.

Tapi Raeshan ia menatap Elina dengan mata berbeda. Mata yang selalu memandang dingin kini mulai hangat. Bangga. Tapi juga penasaran. Karena wanita di depannya telah menunjukkan kemampuan hebat lain selain ilmu medis.

Raja Varyen berdiri.

“Tak semua warisan berasal dari istana. Hari ini, aku melihat seni... dan keberanian, hidup kembali. Lewatmu, Elina.”

Elina menunduk anggun, lalu menjawab lembut:

“Terima kasih Yang Mulia. Saya sangat terhormat menerima pujian dari Baginda Raja.”

Tepuk tangan bergema.

Liora menunduk, wajahnya kaku lalu memilih mundur dan duduk di kursinya kesal.

Bagi Elina, puisi seperti itu di dunianya dulu adalah hal yang mudah bahkan anak-anak pun biasa melagukannya dalam pelajaran sastra. Tapi di istana ini, di zaman yang membeku dalam tradisi dan simbol kehormatan, puisi dianggap bait-bait kuno dianggap mahkota intelektual.

Dan dia, seorang asing dari masa lain, telah menampilkannya lebih indah dari para bangsawan berdarah murni. Hingga ia sangat di puji.

Begitu jamuan berakhir dan para bangsawan mulai meninggalkan aula agung, Elina melangkah keluar dengan tenang.

Di pelataran luar, Pangeran Kael berdiri dengan postur tegap dan tubuh atletisnya, rambut hitam legamnya tersisir rapi ke belakang, menonjolkan wajah tirus berkulit cerah dengan mata abu-abu yang tajam dan penuh pesona.

Ia membungkuk ringan menyapa saat Elina lewat, lalu menatap Elina dengan sorot matanya yang teduh.

“Penampilan Anda barusan, sangat luar biasa Putri Elina. Tak banyak yang bisa membuat seluruh aula hening. Dan terlebih lagi, tak ada yang menyangka itu bagian terbaiknya,” ucap Kael dengan nada ringan, tapi penuh makna.

Elina terdiam sejenak, matanya menatapnya dengan hati-hati. Namun dalam benaknya, ia ingat malam itu saat dirinya dikurung Raeshan, lapar dan putus harapan. Kael-lah yang datang diam-diam, membawakan makanan hangat untuknya.

Elina menunduk sedikit, senyumnya tulus dan matanya berbinar cerah, ia baru melihat jelas wajah pangeran ketiga sekaligus adik iparnya tersebut.

Hatinya bertanya-tanya mengapa ia tidak memiliki suami seperti Pangeran Kael saja, tampan dan sangat lembut berbeda jauh dari Pangeran Raeshan.

Elina yang sempat diam sejenak memandang Kael kagum, segera Kael sadarkan dengan melambaikan tangannya lembut di depan wajah Elina. Pemandangan yang di lihat jelas oleh Raeshan.

"Putri Elina, Putri."Suara Kael terus menyapu kesadaran Elina.

“Eh, Iya, maafkan saya Pangeran Kael."

Mereka berbincang singkat, sampai akhirnya Elina mendekat dan berkata, "Terima kasih... juga untuk malam itu,” bisiknya pelan cukup untuk didengar Kael saja.

Kael mengangkat alis, tapi tak berkata apa-apa, hanya tersenyum samar sadar bahwa Elina belum lupa.

Namun sebelum ia sempat menambahkan sesuatu, langkah cepat dan penuh tekanan terdengar dari belakang.

Raeshan.

Pangeran tertua itu datang dengan langkah angkuh dan mata menyala dingin. Tanpa sepatah kata pun, ia langsung meraih tangan Elina dan menggenggamnya kuat.

Kael mencoba menyapa, suaranya sedikit terbata, “Pangeran Raeshan, tunggu—”

Namun Raeshan mengabaikan Kael begitu saja, ia bahkan tak menoleh sedikit pun. Ia menarik Elina dengan tegas.

“Waktunya kembali,” ucapnya pendek, suaranya tak memberi ruang untuk penolakan.

Elina menoleh sekilas ke Kael, yang hanya mengangguk santai dengan senyum kecil di bibirnya.

Raeshan menarik Elina pergi, langkahnya tegas.

Raeshan menyeret Elina melewati lorong istana tanpa sepatah kata. Genggamannya kuat, nyaris menyakitkan.

“Elina!” Sekar dan Kasim Zahar berlari menyusul dari belakang, tapi Raeshan tak peduli.

“Lepaskan!” Elina berusaha melepaskan tangannya. “Kau menarikku seperti tawanan!”

Raeshan berbalik tiba-tiba, mendorongnya ke dinding batu. Wajah mereka hanya sejengkal.

“Jangan lupa siapa dirimu,” desisnya. “Kau—”

Namun sebelum kalimatnya selesai, Elina menarik tangannya dengan kasar dan mundur satu langkah.

“Cukup,” ucapnya tajam, napasnya terengah meletakan jari manis di bibir Raeshan yang kini mengatup.

Saat Raeshan hendak bicara lagi, Elina lebih dulu berbalik dan berlari. Gaunnya berkibar, langkahnya cepat menyusuri lorong marmer, di ikuti sekar yang mengejar dari belakang.

“Elina!” Raeshan berseru, tapi tak dikejar. Hanya diam, menatap punggung yang menjauh.

Kasim Zahar tiba di samping Pangeran Raeshan terengah-engah.

“Yang Mulia... Tuan Putri—”

“Biarkan,” potong Raeshan, suaranya dalam, menahan gejolak. Matanya masih terpaku ke arah Elina pergi, rahangnya mengeras.

Kasim Zahar mendekat, menyipitkan mata. “Yang Mulia jangan-jangan Anda cemburu pada Pangeran Kael?”

Raeshan tak menjawab. Tapi tinjunya mengepal, dan dadanya naik-turun dengan emosi yang tak diucapkan.

Dan dari kejauhan, di antara pilar-pilar batu putih istana, Liora berdiri mematung.

Gaun biru keperakannya berkibar tertiup angin, tapi tubuhnya kaku. Matanya masih menatap ke depan meski punggung Raeshan dan Elina yang beradu pandang sesaat telah menghilang.

Tangannya mengepal di balik lengan bajunya. Ia tidak akan membiarkan Elina merebut posisi dan mempermalukannya lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 182

    Zahira tampak lemah ketika Febri dan Zidan memapahnya memasuki ruang tamu. Napasnya tidak stabil, tubuhnya masih bergetar setelah beberapa hari lalu menerima diagnosis kanker otak—sebuah kenyataan pahit yang masih belum sepenuhnya ia terima.Leo menyusul dari belakang, ragu melangkahkan kaki melewati ambang pintu.“Masuk saja,” kata Zidan pelan.Leo mengangguk. Begitu sampai di ruang tamu, ia langsung berlutut di depan Zahira tanpa ragu, tanpa gengsi, tanpa takut pada siapa pun lagi.“Aku…” suaranya pecah. “Zahira… semua itu salahku. Aku yang menabrak ayahmu. Aku hidup dengan rasa bersalah bertahun-tahun. Aku… aku mohon maaf. Aku tidak pantas kau...”Sebelum Leo bisa melanjutkan, Febri melangkah maju dengan emosi memuncak.“Kau!” Febri menunjuk Leo, suara gemetar menahan amarah. “Orang yang membuat ayahku meninggal tanpa keadilan! Kau pikir satu kata maaf cukup? Harusnya kau mati saja!”Zahira memegang lengan Febri cepat sebelum amarah itu meledak sepenuhnya. Matanya berkaca-kaca namu

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 181

    Leo tidak pernah bisa melupakan insiden kecelakaan yang seharusnya tidak pernah terjadi. Tapi malam itu, ia berkendara sambil mabuk.Mobilnya melaju tak terkendali di tikungan dan bertabrakan dengan truk yang di kendarai ayah Zahira.Leo hampir tak sadarkan diri saat seseorang meraih wajahnya, suaranya terdengar sangat panik.“Tolong! Dia masih hidup! Tolong dia!”Zahira terdengar cemas.Gadis itu berlari ke arah Leo, setelah memeriksaan keadaanya ayahnya yang tergeletak tak bergerak. Tangan Zahira penuh darah, tapi ia tetap menahan tekanan di luka Leo, suaranya bergetar.“Aku mohon… jangan mati.”Padahal Leo yang sudah menabrak ayahnya. Tapi Zahira tetap membantu Leo hingga pria itu dibawa ke rumah sakit.Beberapa hari setelahnya, keluarga Artemis menyewa orang untuk dijadikan kambing hitam, memalsukan laporan, mengubur bukti. Leo dipaksa diam dan dikirim ke luar negeri sebelum kasusnya membesar.Sejak hari itu, Leo hidup dengan beban yang berat apalagi setelah tahu jika Ayah Zahira

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 180

    Raeshan menoleh cepat begitu suara pintu terdengar.“Bagaimana informasi yang ku minta?”Zidan segera menunjukkan map tebal ditangannya. Napasnya sedikit tersengal, sepertinya ia datang terburu-buru. “Ini semua data tentang Dokter Frans dan Dokter Gita yang berhasil saya dapatkan, Bos.”Zahira tersenyum lembut. “Letakkan saja di meja, Zidan. Kau sudah kerja keras hari ini.”Zidan menegakkan badan. “Baik, Kak Zahira.”Ia berbalik hendak pergi, tapi langkahnya terhenti.“Zidan,” panggil Zahira lagi. “Setelah ini, tolong jemput Febri ya. Dia masih di perpustakaan.”Seketika mata Zidan berbinar. “Siap, Dokter! Eeh… maksud saya, siap, Kakak Ipar!”Raeshan menatapnya dengan alis terangkat. “Calon apa?”Zidan panik. “Eh, maksud saya, Kak Zahira, eh… Dokter Zahira! Maksudnya saya kan cuma bercanda.”Zahira tertawa kecil, wajahnya memerah. “Pergi sana, Zidan, sebelum aku berubah pikiran.”Zidan terkekeh gugup dan berlari keluar. Tapi baru beberapa detik, ia kembali lagi sambil menepuk-nepuk sa

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 179

    “Raeshan…” suara Zahira bergetar. “Semua ini… akhirnya masuk akal. Dokter Gita bukan dalang sebenarnya.”Raeshan menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. “Ya. Dalangnya Dokter Frans. Dia juga yang membunuh Prof. Michael dan Raka.”`Zidan yang berdiri di samping mereka tampak berpikir keras. “Apa motif Dokter Frans melakukan semua ini coba?”Zahira terdiam lama. Ia menarik napas tajam, tubuhnya gemetar. “Aku ingat. Waktu aku diculik dulu oleh Mr.X yang ternyata adalah Dokter Frans terus menyebut aku pembunuh.”Raeshan menoleh cepat. “Pembunuh?”“Ya.” Zahira menatap kosong. “Dia terus mengulang kata itu, seolah aku membunuh seseorang. Tapi aku tidak tahu siapa yang dia maksud.”Raeshan merangkul bahu Zahira pelan. “Kita harus tahu kenapa dia menuduhmu begitu.”Ia menatap Zidan tajam. “Selidiki Dokter Frans malam ini juga. Semua data pribadi, pasien, dan riwayat masa lalunya. Jangan biarkan satu pun celah.”“Baik, Bos.” Zidan langsung bergegas keluar.Raeshan menatap Zahira. “Mula

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 178

    “Tidak mungkin…” suara Zahira bergetar. “Tidak mungkin Dokter Gita yang menyuruh orang untuk membunuhku. Selama ini dia yang merawatku, Raeshan. Kau ingatkan kan, dia yang menjaga aku saat aku koma padahal bukan waktu jaganya. Dia yang berusaha menyelamatkan hidupku. Dia bahkan yang menolongku diberbagai kesempatan. Dia tidak mungkin sekejam itu…”Tubuhnya bergetar hebat, matanya memerah. Ia ingin mempercayai kebaikan yang pernah ia lihat pada Dokter Gita, bukan tuduhan mengerikan yang kini menghantam kepalanya.Raeshan mendekat, meletakkan kedua tangannya di pundak Zahira yang masih gemetar, lalu menariknya ke dalam pelukannya. Ia menepuk punggungnya pelan, suaranya rendah namun tegas.“Zahira… aku tahu ini sulit. Tapi aku sudah curiga sejak awal. Ada sesuatu yang tidak beres dengan Dokter Gita,” katanya perlahan. “Gerak-geriknya selalu mencurikan, tapi entah apa alasan dia melakukan ini.”Zahira hanya terdiam dalam pelukannya, air matanya jatuh membasahi dada Raeshan.⋯Sementara it

  • Dari Dokter Ahli Berubah Menjadi Selir Tawanan Dewa Perang   Bab 177

    Raeshan duduk di samping ranjang, matanya tak lepas dari wajah Zahira yang masih pucat.Ia belum tidur sejak pencarian berakhir. Jari-jarinya terus menggenggam tangan Zahira.Suara pintu terbuka pelan. Seorang perawat masuk membawa suntikan dan cairan tambahan.“Permisi, saya perawat yang berjaga, mau menyuntik cairan tambahan ke infus pasien,” katanya sopan.Raeshan mengangkat wajahnya perlahan, menatap curiga. “Cairan apa?”“Vitamin dosis tinggi, Dokter yang minta ini catatan medisnya,” jawab perawat itu cepat.Raeshan mendekat, menatap tangan perawat itu yang mulai membuka suntikan. Saat jarum hampir menyentuh selang infus, matanya melihat tato hitam samar di pergelangan tangan kiri.Gerakannya secepat kilat. Ia langsung menangkap pergelangan tangan perawat itu dan memelintirnya keras ke belakang hingga terdengar bunyi kecil dari sendinya.Perawat itu menjerit tertahan. Jarum suntik terjatuh ke lantai.“Aku tanya sekali,” suara Raeshan rendah tapi tajam. “Kau siapa, dan apa yang ma

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status